Mohon tunggu...
Husein Siregar
Husein Siregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Tertarik dengan artikel politik, sosial, dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Revitalisasi Pertanian Desa Wonosuko: Peran Mahasiswa KKN UMD 132 Dalam Mengolah Pupuk Organik Padat "Eco-Desko"

25 Juli 2024   22:03 Diperbarui: 25 Juli 2024   22:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanian dan Peternakan diketahui memberikan sumbangan emisi gas rumah kaca paling besar kepada lingkungan, bahkan lebih besar daripada gas emisi rumah kaca yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, dengan perbandingan gas emisi rumah kaca yang disumbangkan oleh sektor pertanian dan peternakan yaitu sebanyak 51% dari total emisi gas rumah kaca, sedangkan kendaraan bermotor hanya menyumbangkan 13% dari total emisi gas rumah kaca.

Dalam hal ini, kita akan fokuskan terlebih dahulu ke sektor peternakan, yaitu sapi. Hal tersebut dikarenakan sapi merupakan ternak yang mengeluarkan sekitar 800-1000 liter gas metana. Metana merupakan gas rumah kaca yang menaikkan suhu bumi 20x lebih cepat dibandingkan dengan karbondioksida. Emisi gas rumah kaca inilah yang menyebabkan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim yang ekstrim di masa mendatang.

Selain itu, limbah peternakan berupa kotoran sapi tadi juga menghasilkan gas yang bersifat mencemari lingkungan juga, yaitu gas amonia yang merupakan yang dimana 2/3 dari emisi amonia dunia dihasilkan oleh peternakan. Amonia sendiri merupakan gas emisi yang menjadi penyebab utama dari hujan asam. Hujan asam memiliki sifat destruktif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup, dengan mengubah komposisi kimia yang ada di tanah, yang kemudian merusak dan membunuh tanaman yang tumbuh di tanah tersebut.

Selain menghasilkan gas emisi berupa metana dan juga amonia, kotoran sapi juga memiliki aroma yang tidak enak untuk dihirup, maka dari itu alangkah baiknya kotoran sapi ini tidak dibiarkan begitu saja di lingkungan. Pengolahan kotoran sapi dapat dijadikan menjadi biourine, biogas, dan juga pupu organik padat. Pada artikel kali ini akan dibahas terkait pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik padat  khususnya di Desa Wonosuko, Bondowoso. Oleh mahasiswa KKN UMD 132 Wonosuko.

Limbah kotoran sapi di Desa Wonosuko merupakan salah satu permasalahan yang ada di desa tersebut, dan sampai saat ini belum ada solusi terkait permasalahan tersebut, banyaknya limbah kotoran sapi ini disebabkan oleh banyaknya ternak sapi yang dimiliki oleh warga desa yang dimana hampir setiap rumah di Desa Wonosuko setidaknya memiliki satu ekor sapi, dan juga tidak adanya upaya pengelolaan limbah yang dihasilkan dari ternak sapi tersebut berupa kotorannya. Kotoran sapi tersebut seringkali hanya dibiarkan menumpuk begitu saja, atau dibuang ke selokan di sekitar rumah warga. Bahkan sangking banyaknya kotoran sapi, Desa Wonosuko sampai memiliki TPA khusus kotoran sapi, tentunya hal ini memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan seperti yang sudah dijelaskan tadi. Oleh karena itu Mahasiswa KKN UMD 132 Wonosuko berinisiatif untuk mengatasi masalah tersebut dengan memfokuskan program kerja (proker) kepada pengelolaan kotoran sapi menjadi pupuk organik padat.

Pupuk organik padat merupakan alternatif yang menjanjikan untuk menggantikan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan. Pupuk organik padat dibuat dari bahan-bahan alami seperti kompos, limbah pertanian, dan bahan organik lainnya. Proses pembuatannya biasanya melibatkan fermentasi dan dekomposisi bahan-bahan organik, yang menghasilkan produk akhir yang kaya akan nutrisi penting bagi tanaman. Pupuk organik memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan pupuk kimia, diantaranya adalah; yang pertama adalah pemulihan unsur hara tanah: Pupuk organik padat membantu mengembalikan dan menjaga keseimbangan unsur hara tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Ini membantu dalam meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang tanpa mengandung bahan kimia berbahaya. Yang kedua ramah lingkungan: Proses pembuatan dan penggunaan pupuk organik padat lebih ramah lingkungan daripada pupuk kimia. Hal ini dapat mengurangi risiko pencemaran air dan tanah serta mendukung keberlanjutan sistem pertanian. Lalu yang ketiga adalah peningkatan kualitas tanah: Penggunaan jangka panjang pupuk organik padat dapat meningkatkan struktur tanah, dan meningkatkan aktivitas mikroba yang bermanfaat bagi tanaman.

Penggunaan pupuk di Desa Wonosuko masih didominasi oleh pupuk kimia, hal ini dikarenakan harganya yang terjangkau dan juga tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat digunakan dan juga memberikan dampak yang instan bagi tanaman, berbeda dengan pupuk organik yang memerlukan lebih banyak waktu bagi tanaman untuk menyerap nutrisi dari pupuk organik, hal ini dikarenakan tanaman mendapatkan nutrisi yang ada pada pupuk organik dalam bentuk ion memerlukan dekomposisi lebih lanjut agar dapat diserap oleh tanaman. Berbeda dengan pupuk kimia, nutrisi yang ada sudah dalam bentuk ion dan dapat diserap langsung oleh tanaman.

Selain itu juga, minimnya penggunaan pupuk organik disebabkan karena sedikitnya informasi dan juga penyuluhan terhadap penggunaan dan manfaat pupuk organik di kalangan petani di Desa Wonosuko. Padahal pembuatan pupuk organik sangatlah mudah, dan juga penggunaan pupuk organik mampu mengembalikan kesuburan tanah di lahan pertanian desa Wonosuko. Hal ini tentunya dengan optimalisasi pemanfaatan kotoran sapi yang melimpah di Desa Wonosuko, daripada dibuang begitu saja dan dapat mengotori lingkungan sekitar. Maka dari itu Mahasiswa KKN UMD 132 Wonosuko berupaya untuk mengajak petani di Desa Wonosuko secara perlahan untuk mulai menggunakan pupuk organik guna mengembalikan kesuburan lahan pertanian warga, dan juga mengurangi limbah kotoran sapi yang ada di Desa Wonosuko.

Pada umumnya, petani lebih memilih menggunakan pupuk kimia untuk mengolah sawahnya karena dari segi ekonomi, pupuk kimia lebih murah dibandingkan pupuk organik. Selain itu, jumlah pupuk organik yang dibutuhkan lebih banyak, dan tanaman memerlukan waktu lebih lama untuk menyerap nutrisinya karena nutrisi pada pupuk organik harus diurai menjadi ion terlebih dahulu. Sementara pada pupuk kimia, nutrisi sudah berbentuk ion yang siap diserap oleh tanaman.

Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dapat menyebabkan tanah menjadi keras dan kehilangan porositasnya. Hal ini terjadi karena pupuk kimia meningkatkan kadar asam dalam tanah, seperti asam klorida dan asam sulfat, yang melarutkan mineral dalam tanah. Akibatnya, tanah kehilangan porositas, menjadi padat, dan sulit menyerap air serta mengurangi sirkulasi udara, yang berujung pada ketidaksuburan tanah.

Kurangnya penggunaan pupuk organik oleh petani juga disebabkan oleh minimnya informasi tentang cara membuat pupuk organik. Padahal, pupuk organik sangat bermanfaat untuk kesuburan tanah dan bisa dibuat dari kotoran ternak seperti sapi, yang seharusnya tidak dibuang begitu saja karena dapat mencemari lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun