Kebahagiaan dalam hidup manusia umumnya dipandang sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Seakan-akan seseorang yang mencapai kebahagiaan dalam hidup, ia lah yang paling berhasil dan sukses dalam kehidupan.Â
Karena, dengan tercapainya kebahagiaan dalam hidup, maka sempurnalah hidup seorang manusia, hal tersebut pun secara tidak langsung menghipnotis kehidupan manusia untuk terus mengejar dan bahkan mencari letak kebahagiaan dalam kehidupan. Mulai dari sisi materialis hingga abstrak, kebahagiaan dicari, layaknya komoditas yang langka dan berharga.
Dalam perjalananya pencarian kebahagiaan dalam sejarah peradaban manusia telah berjalan sejak lama dan tentunya tidak berhenti sampai detik ini.Â
Namun, seiring berkembangnya rasio dan pemikiran manusia, pandangan manusia tentang kebahagiaan mulai berubah arah, menjadi lebih realistis dan praktis.Â
Manusia mulai berpikir jika hakikat dari kebahagiaan bukanlah dicari namun dinikmati. Mungkin perubahan pandangan tersebut telah memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam mencari dan menikmati kebahagiaan, tapi fakta berkata lain. Guncangan atau masalah baru muncul seiring berjalanya peradaban manusia yakni hadirnya 'sang pencuri kebahagiaan' yakni "perbandingan".Â
Asumsi tersebut mulai dikenal setelah  Theodore Roosevelt yang merupakan seorang presiden ke-26 bagi Amerika Serikat mengucapkan kalimat bijaknya yang berbunyi  "comparison is the thief of joy".Â
Dalam Bahasa Indonesia sendiri kalimat tersebut berarti "perbandingan adalah pencuri kebahagiaan". Lantas, apa yang menyebabkan seorang Theodore beranggap dengan sedemikian rupa? Apakah memang benar adanya jika perbandingan menjadi "pencuri" dan mampu menghilangkan kebahagiaan dalam hidup seseorang?
Perbandingan dalam kehidupan manusia sebagian besar juga dipercaya sudah terbentuk menjadi sistem yang berada di dalam tatanan kehidupan masyarakat.Â
Salah satunya dalam sistem pendidikan, dengan sistem tes yang terstandarisasi dengan nilai, yang tentu dapat membentuk suasana kehidupan yang dipenuhi dengan sifat anxious.Â
Bukan hanya ujianya saja, akan tetapi dengan konsekuensi yang didapat apabila seorang murid tidak dapat memenuhi standar nilai yang telah ditentukan.Â
Selain itu, kehadiran sosial media layaknya Instagram, Twitter, YouTube, dan lain-lain pun yang cenderung memberikan kemudahan dalam segi akses mampu menambah rasa insecure serta anxious ketika melihat kehidupan orang lain melaluinya, yang tentunya berujung dengan perbandingan kehidupan dengan ragam orang lain di luaran sana.Â
Padahal pada kenyataanya, sosial media hanya menunjukan satu perspektif tentang kehidupan seseorang, yang kadang dibaliknya mampu dimanipulasi dengan sangat mudah baik itu secara digital ataupun secara langsung.Â
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vzquez dkk. (2023) menyebutkan bahwa ternyata perbandingan sosial dalam ruang lingkup akademik (sekolah) tidak hanya mempengaruhi motivasi siswa secara positif tapi, mempengaruhi juga secara negatif akan tetapi, tentu semuanya tetap tergantung pada posisi (hasil ujian) yang siswa tersebut dapat.
Adapun studi lainya dengan objek pembahasan yang berbeda yang dilakukan oleh Dian dkk. (2018)Â memaparkan hasil studi mereka bahwa setiap individu memiliki kecenderungan untuk merespon atau bereaksi secara berlawanan terhadap postingan sosial media yang mereka lihat, bereaksi negatif ketika melihat postingan positif, dan sebaliknya. Misalnya bereaksi negatif terhadap postingan tentang pencapaian orang lain, dan lain-lain.
Terlepas dari apapun itu arti "perbandingan" bagi sebagian orang, memang mulanya keberadaan perbandingan dianggap sebagai tools atau alat untuk mengembangkan diri, memotivasi diri, dan mengetahui progres manusia, sehingga manusia bisa tampil dalam melakukan hal yang lebih baik lagi kedepanya, dalam aspek apapun.Â
Tapi, dalam perjalanan kehidupan manusia yang selalu berbeda-beda setiap harinya, perbandingan ternyata tak selamanya ampuh dan positif bagi kehidupan kita.
Karena akan lelah rasanya bila seorang manusia dengan tak henti-hentinya membandingkan pencapaian dan progres hidupnya dengan kehidupa orang lain, di saat itulah perbandingan mulai menjadi pencuri rasa kepuasan dan kesenangan dan kehidupan kita.Â
Benar, kala kita melakukanya secara berlebihan dan dibuat lupa untuk mensyukuri juga menikmati ragam keindahan yang turun pada hidup.
Akhir kata, ada baiknya seorang manusia mulai membandingkan diri cukup dengan dirinya sendiri, mulai secara perlahan dengan tampil lebih baik dari diri kita yang kemarin. So let's stop comparing and start living!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H