Mohon tunggu...
Dr. Husaini Alif Hasan Ibn Haytar
Dr. Husaini Alif Hasan Ibn Haytar Mohon Tunggu... -

masyarakat biasa yang senang menulis dan tertarik akan sejarah dan perkembangan sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wali Nanggroe, Penguasa Aceh Sesungguhnya?

7 Agustus 2012   02:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:09 7049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13443028532018795903

[caption id="attachment_191741" align="aligncenter" width="500" caption="Wali Nanggroe, Penguasa Aceh sesungguhnya?"][/caption]

Akhir-akhir ini, pasca kenaikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, isu merebak di tengah masyarakat bahwa sesungguhnya pemimpin Aceh yang baru kali ini adalah "boneka" Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud. Proses "pembinaan" yang dilakukan dalam waktu yang relatif cukup lama mulai dari proses rekrutmen hingga pengaturan jabatan dalam lingkup organisasi GAM saat itu, sampai dengan sekarang dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri di Aceh.

Sebagai contoh, Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, 30 tahun lalu adalah pemuda tampan karismatik pilihan Malik Mahmud untuk dikirim belajar dan berlatih ilmu kemiliteran di Camp Tajura, Lybia. Secara akademis intelektual, Muzakkir sangatlah jauh untuk dikatakan cerdas, bahkan prestasi akademiknya selama bersekolah di SMA Negeri Panton labu pun terbilang tidak mengesankan. Namun dalam hal kemiliteran sosok dan figurnya yang simpatik dianggap merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi komandan di lapangan selama konflik antara Indonesia melawan GAM. Bodoh tetapi karismatik, adalah pilihan tepat bagi seorang "Master mind" sekelas Malik Mahmud untuk menjadikan "anak asuh" rekrutannya menjadi pengganti pemimpin GAM karismatik lainnya, yaitu Abdullah Syafei yang dianggap oleh Malik Mahmud sebagai tokoh yang sangat berpotensi menghalang-halangi niatnya untuk "menguasai" Aceh.

23 Januari 2002, Abdullah Syafei gugur dalam suatu penyergapan oleh pasukan TNI. Kisah penyergapan itu sendiri tidak terlepas dari "permainan" dan strategi Malik Mahmud dalam "menjual" informasi tentang keberadaan Abdullah Syafei kepada Pemerintah Indonesia. Setelah wafatnya Abdullah Syafei, Malik Mahmud dengan cepat menjalankan strateginya dengan mengangkat pengganti panglima GAM yang telah disiapkan sejak lama, Muzakkir Manaf. Dan sejak itu, mulailah era kepemimpinan GAM yang tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat Aceh di atas semua kepentingan, namun lebih kepada kepentingan GAM sebagai organisasi dan apa yang diperjuangkannya. Juli 2002 kemudian, Malik Mahmud segera menggagas rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia untuk menegaskan posisinya dalam struktur perjuangan GAM. Disitulah Wali Nanggroe ditentukan oleh Hasan Tiro, dan Malik Mahmud berkedudukan sebagai Pemangku Wali. Dengan strategi dan rekayasa sejarah, tidak seorangpun yang menyadari niat busuk dari Malik Mahmud dalam menyusun rencana kekuasaan bagi kelompoknya, kecuali MP GAM saat itu yang digawangi oleh Dr. Husaini, yang kerap menentang keputusan yang diambil oleh Malik Mahmud yang cederung sentralistis dan otoriter, sementara melalui MP GAM, perjuangan GAM lebih fokus pada kepemimpinan kolektif dengan tetap memperjuangan kepentingan rakyat Aceh sebagai prioritas.

Sedikit melihat ke belakang, MP-GAM sendiri adalah organisasi yang dibentuk di Kuala Lumpur pada tahun 1999, oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan setelah diambil alih oleh Malik Mahmud. Malik Mahmud saat itu telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan di Stockholm dan Malaysia, termasuk di antaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya melalui GAM "baru' hasil rekrutan Malik Mahmud sendiri antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1989. Mungkin banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dijalankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir Mahmud. Menyadari posisinya tersebut, Malik Mahmud mulai "menggembosi" satu persatu pimpinan MP GAM, dengan berbagai rekayasa yang telah kita saksikan sendiri selama ini, mulai dari Guree Rahman, Tgk. Don Zulfahri, Tgk. Daud USman dan lain-lain. Semuanya direkayasa untuk ditangkap hingga dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Sekarang, dengan terpilihnya pemimpin Aceh yang baru hasil dari kesepakatan dan skenario yang telah disusun dengan apik oleh Malik Mahmud, maka kekuasaan Aceh sebenarnya bukanlah di tangan pemimpin terpilih, apalagi rakyat Aceh. Sebab, Sang Wali nanggroe yang baru sedang "bermain" mengkutak-katik struktur dan organisasi pemerintahan demi keuntungan  dan kekuasaan sendiri. Lihatlah apa yang terjadi dengan rekayasa tambang emas di Aceh Selatan yang melibatkan perusahaan Australia dengan penghubung yang tak jelas asal muasalnya apalagi reputasinya (Pedro Limardo), belum lagi rencana pembentukan tim pemantau pembangunan Aceh yang akan melibatkan unsur-unsur KPA atau eks kombatan GAM tanpa dilandasi pada kompetensi namun lebih kepada "balas budi" semata. Mengerikan, namun nyata terjadi. Penguasaan atas sebuah daerah melalui sebuah proses yang demokratis karena melibatkan rakyat di dalamnya, hendaknya terbebas dari segala intervensi kepentingan oleh siapapun dan apapun, janganlah seorang pemimpin tersandera oleh "utang budi" atau utang-utang lainnya, sebab satu-satunya tempat ia berutang adalah kepada rakyatnya yang telah menaruh harapan besar kepada dirinya. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemimpin harus selalu berpedoman kepada kepentingan rakyat dengan menempatkan rakyat sebagai prioritas untuk disejahterakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun