Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membongkar Ketidakadilan Ekonomi dalam Perspektif Amartya Sen

3 Februari 2025   20:25 Diperbarui: 3 Februari 2025   20:25 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amartya Sen adalah seorang ekonom dan filsuf asal India yang dikenal luas atas kontribusinya dalam bidang ekonomi kesejahteraan, teori keadilan sosial, dan pembangunan manusia. Lahir pada 3 November 1933 di Santiniketan, India, ia menempuh pendidikan di Universitas Calcutta dan meraih gelar doktor di Universitas Cambridge. Sepanjang karier akademiknya, Sen mengajar di berbagai universitas terkemuka, termasuk Harvard, Oxford, dan Cambridge. Pemikirannya yang inovatif tentang kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kebebasan ekonomi menjadikannya tokoh utama dalam pengembangan konsep pembangunan berbasis kapabilitas. Karya monumentalnya, Development as Freedom (1999), menekankan bahwa pembangunan bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang peningkatan kebebasan individu. Atas kontribusinya yang luar biasa, Sen dianugerahi Penghargaan Nobel di bidang Ekonomi pada tahun 1998, menjadikannya salah satu pemikir paling berpengaruh dalam ekonomi modern dan kebijakan publik.

Ekonomi telah berkembang dari sekadar pengelolaan rumah tangga dan ladang di era Yunani Kuno menjadi ilmu yang sangat kompleks dan sarat kepentingan. Perkembangan ini, terutama sejak era Neo-Klasik, tidak lagi berfokus pada kerja fisik manusia, melainkan lebih pada fleksibilitas hasrat manusia dalam menentukan nilai barang dan jasa. Akibatnya, ilmu ekonomi yang pada mulanya berlandaskan moralitas kini cenderung mendukung sistem yang mengutamakan akumulasi kekayaan, sehingga melahirkan ketimpangan yang semakin tajam antara kelompok kaya dan miskin. Amartya Sen, melalui karyanya Development as Freedom, mempertanyakan konsep kesetaraan dan keadilan dalam ekonomi dengan mengajukan pertanyaan mendasar: Inequality of What? (Ketimpangan dalam hal apa?).

Ketimpangan ekonomi bukan sekadar tentang perbedaan pendapatan, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lain seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan kebebasan politik. Bagi Sen, persoalan ekonomi harus dilihat dalam konteks kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang layak dan bermartabat. Ketimpangan dalam distribusi sumber daya menyebabkan ketidaksetaraan substansial dalam kehidupan sosial dan ekonomi, yang sering kali dikaburkan oleh model ekonomi yang hanya berfokus pada pertumbuhan tanpa mempertimbangkan pemerataan. Adam Smith sendiri pernah mengungkapkan kemarahannya terhadap sistem yang mengabaikan kepentingan kaum miskin, sesuatu yang juga menjadi perhatian utama Sen dalam analisisnya terhadap kebijakan ekonomi modern.

Persoalan ketidakadilan ekonomi juga terlihat dalam sistem kapitalisme yang menciptakan kesenjangan melalui mekanisme eksploitasi tenaga kerja. Karl Marx melihat fenomena ini sebagai ketidakseimbangan antara buruh dan kapitalis, di mana buruh hanya memperoleh upah sekadar untuk bertahan hidup, sementara pemilik modal terus memperkaya diri dengan nilai tambah yang mereka peroleh dari kerja buruh. Sen mengkritik cara pandang ekonomi yang hanya berfokus pada kepentingan diri, sebagaimana diungkapkan oleh Edgeworth, yang menyatakan bahwa prinsip utama ekonomi adalah egoisme individu. Perspektif ini menurut Sen berbahaya karena mengabaikan dimensi sosial dan moral dari ekonomi itu sendiri.

Kisah pribadi Sen tentang Kader Mia menjadi contoh nyata bagaimana ketidakadilan ekonomi tidak hanya menyebabkan kesulitan finansial tetapi juga berujung pada hilangnya nyawa. Mia, seorang buruh miskin, terpaksa keluar rumah demi mencari nafkah meskipun berada dalam ancaman kekerasan. Kematian Mia memperlihatkan bagaimana kemiskinan dapat menghilangkan kebebasan paling dasar seseorang, yakni hak untuk hidup. Dalam konteks Indonesia, situasi ini tidak jauh berbeda, di mana masyarakat miskin sering kali menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Penggusuran, eksploitasi tenaga kerja, hingga perampasan tanah merupakan realitas yang memperlihatkan bagaimana kebijakan ekonomi sering kali lebih berpihak pada kepentingan elite ketimbang rakyat kecil.

Dalam analisisnya, Sen menunjukkan bahwa ketidakadilan ekonomi dapat diukur melalui pluralitas ruang di mana ketidakadilan terjadi serta perbedaan individu dalam mengakses sumber daya. Faktor-faktor seperti hak, kebebasan, utilitas, kapabilitas, dan sumber pendapatan menjadi indikator utama dalam menilai sejauh mana ketimpangan ekonomi terjadi. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana sistem ekonomi modern lebih sering menilai keberhasilan hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan kualitas hidup individu yang terdampak oleh kebijakan tersebut. Dengan kata lain, ekonomi yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan justru menjadi alat penindasan bagi kelompok marginal.

Salah satu bentuk ketidakadilan ekonomi yang nyata terjadi di sektor agraria. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa konflik agraria terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2022, terjadi 212 kasus konflik agraria yang melibatkan lebih dari satu juta hektar lahan dan ratusan ribu kepala keluarga terdampak. Perampasan tanah, intimidasi, hingga kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara demi kepentingan korporasi merupakan contoh bagaimana negara justru menjadi agen utama dalam melanggengkan ketidakadilan ekonomi. Kapitalisme global telah menciptakan sistem di mana tanah, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan masyarakat, justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh elite ekonomi.

Dalam sistem ekonomi global saat ini, kebijakan sering kali lebih menguntungkan pemilik modal daripada rakyat kecil. Hal ini diperparah oleh peran negara yang tidak netral dalam mengatur distribusi sumber daya. Sen menekankan bahwa ketimpangan ekonomi yang tinggi akan berujung pada pemberontakan sosial. Hubungan antara ketimpangan dan pemberontakan ini berjalan dua arah: ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dapat memicu perlawanan, tetapi di sisi lain, sistem ekonomi yang timpang juga semakin memperkuat ketidakadilan itu sendiri. Tanpa adanya perubahan dalam kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, ketimpangan hanya akan semakin dalam dan sulit untuk diperbaiki.

Dengan demikian, membongkar ketidakadilan ekonomi dalam perspektif Amartya Sen berarti mengkritisi sistem yang hanya berorientasi pada pertumbuhan tanpa mempertimbangkan pemerataan. Sen menekankan pentingnya memperhitungkan aspek kebebasan dan kapabilitas individu dalam menilai keberhasilan ekonomi. Jika ekonomi terus bergerak menuju akumulasi kekayaan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial, maka ketimpangan akan terus membesar, dan masyarakat miskin akan semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan ekonomi yang lebih manusiawi dan berkeadilan agar setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan layak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun