Oleh: Ahmad Syaifullah
Kasus Pagar Laut yang terjadi di wilayah pesisir Indonesia dapat dilihat sebagai contoh konkret dari problema paradigmatik yang dihadapi dalam perencanaan pembangunan wilayah. Pagar laut, yang secara teknis sebenarnya merupakan sistem pemagaran pantai atau laut yang digunakan untuk melindungi daratan dari abrasi atau kerusakan akibat gelombang laut. Namun hal ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang kompleks. Baru-baru ini kasus pemasangan pagar laut yang disertai dengan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Kabupaten Tangerang menjadi sorotan publik karena menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara regulasi hukum pertanahan dan kelautan.
Dari laman ugm.ac.id (24/01/2025) diberitakan bahwa menurut Dr. Rikardo Simarmata, pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), regulasi pertanahan memang memungkinkan pemberian hak atas tanah di perairan sepanjang ada penggunaan tanah di bawah air untuk tujuan tertentu, seperti pembangunan pelabuhan atau fasilitas lainnya. Namun, di sisi lain, regulasi kelautan masih belum memberikan kepastian hukum mengenai hal ini, yang membuat kemunculan pagar laut tersebut terasa ambigu, terutama terkait tujuan dan dampaknya. Hal ini mengundang pertanyaan mengenai legalitas proyek tersebut, yang harus diperjelas melalui izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk menentukan apakah tindakan ini sah secara hukum atau tidak.
Selain persoalan legalitas, panjangnya pagar laut yang mencapai 30,6 kilometer juga menambah kompleksitas masalah ini. Aktivitas pemancangan batas di laut bukan hal yang baru, namun munculnya keluhan dari nelayan terkait berkurangnya hasil tangkapan dan kerusakan alat tangkap akibat serpihan bambu pagar, memicu kekhawatiran akan dampak ekologis dan sosialnya. Oleh karena itu, penting bagi pihak berwenang untuk memastikan bahwa proyek ini dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal, terutama nelayan. Dr. Rikardo menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini harus fokus pada aspek hukum, menghindari politisasi, dan memastikan bahwa aturan terkait pertanahan, tata ruang, serta perlindungan nelayan dipatuhi demi keadilan dan keberlanjutan.
Diluar daripada aspek hukum tersebut diatas, dalam konteks perencanaan pembangunan wilayah di Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyeimbangkan antara pembangunan infrastruktur yang diperlukan dengan kebutuhan pelestarian lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Secara tradisional, perencanaan pembangunan wilayah lebih sering terfokus pada upaya untuk mendongkrak ekonomi dan menciptakan infrastruktur yang modern. Namun, kasus Pagar Laut menggambarkan bahwa seringkali perencanaan ini gagal mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Ketika pembangunan dilakukan tanpa memerhatikan ekosistem pesisir dan kondisi sosial masyarakat, maka justru yang terjadi adalah kerusakan lingkungan yang lebih parah dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.
Paradigma pembangunan yang berfokus pada kemajuan ekonomi semata, seringkali melupakan kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan ekologis yang esensial bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam itu sendiri. Dalam kasus Pagar Laut, misalnya, meskipun pagar laut dapat memberikan perlindungan terhadap abrasi, namun dampaknya terhadap ekosistem laut dan habitat biologis yang ada di sekitarnya seringkali diabaikan. Keputusan yang mengutamakan solusi teknis ini, tanpa analisis mendalam terhadap ekosistem yang terlibat, dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan ekologi yang lebih luas.
Di sisi lain, perspektif yang lebih holistik dalam perencanaan pembangunan wilayah seharusnya memperhatikan keterkaitan antara pembangunan fisik dan sosial, serta melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Ini tidak hanya membantu memperbaiki hasil pembangunan itu sendiri, tetapi juga menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab dari masyarakat terhadap proyek-proyek pembangunan yang ada. Tanpa melibatkan masyarakat lokal, keberhasilan pembangunan wilayah bisa saja terbatas, seperti yang terjadi pada proyek Pagar Laut yang tidak direncanakan dengan memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.
Pentingnya pendekatan berbasis partisipasi dalam perencanaan pembangunan wilayah menjadi sangat jelas dalam kasus Pagar Laut ini. Dengan melibatkan masyarakat, perencana dapat memahami lebih dalam kondisi lokal yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan proyek pembangunan tersebut. Pendekatan ini juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan masalah yang mungkin terlewatkan oleh para perencana atau pembuat kebijakan, seperti keberagaman pola mata pencaharian, kebutuhan akses terhadap sumber daya alam, dan potensi konflik yang dapat muncul akibat ketidakadilan distribusi hasil pembangunan.
Selanjutnya, perencanaan pembangunan wilayah harus dapat mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu, seperti ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum, untuk menghasilkan solusi yang berkelanjutan. Dalam konteks Pagar Laut, ini berarti melakukan kajian komprehensif terkait dampak ekologis yang dapat ditimbulkan, serta merancang sistem mitigasi yang akan menjaga kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat pesisir. Solusi yang berkelanjutan membutuhkan sinergi antara kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan dan kebijakan pembangunan yang memperhatikan kebutuhan masyarakat pesisir.
Paradigma pembangunan wilayah yang sukses harus mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal sambil tetap mempertahankan keutuhan ekosistem. Kasus Pagar Laut mengajarkan bahwa perencanaan pembangunan wilayah tidak dapat mengabaikan potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek infrastruktur besar. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya mementingkan aspek ekonomi, tetapi juga mengedepankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang.