Fenomena penolakan transmigrasi di Papua dapat dianalisis melalui teori pengakuan oleh Axel Honneth. Menurut Honneth (1996), pengakuan adalah kebutuhan mendasar manusia yang menjadi dasar integrasi sosial. Ketika masyarakat merasa identitas mereka direndahkan atau diabaikan, reaksi berupa resistensi adalah sesuatu yang wajar. Dalam konteks Papua, masyarakat asli merasa bahwa program transmigrasi tidak menghormati hak-hak mereka sebagai komunitas adat, baik dari segi identitas, martabat, maupun hak atas tanah.
Honneth juga menyoroti pentingnya solidaritas sosial sebagai fondasi pengakuan. Kebijakan transmigrasi di Papua sering kali menciptakan perpecahan antara penduduk asli dan transmigran, yang berdampak pada menurunnya solidaritas sosial. Ketika ketimpangan ekonomi dan sosial semakin lebar, solidaritas ini menjadi sulit terwujud, sehingga memicu konflik yang berkepanjangan. Sebagaimana dicatat oleh Wing et al. (2023), transmigrasi di Papua sering kali memperbesar segregasi sosial karena minimnya upaya untuk mengintegrasikan pendatang dengan masyarakat lokal.
Dimensi Pembangunan Berkelanjutan dan Keberlanjutan Ekosistem
Penolakan terhadap transmigrasi di Papua juga relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Program transmigrasi yang tidak mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan lingkungan hanya akan menimbulkan resistensi. Dalam banyak kasus, masyarakat adat mengeluhkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam di wilayah mereka. Misalnya, pembukaan lahan untuk transmigrasi sering kali menyebabkan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang berdampak langsung pada ekosistem lokal (Walhi Papua, 2023).
Dalam konteks ini, transmigrasi tidak hanya dianggap sebagai ancaman terhadap identitas budaya, tetapi juga sebagai ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem. Sebagai contoh, di Kabupaten Merauke, pembukaan lahan untuk transmigrasi telah mengurangi habitat satwa endemik seperti burung cenderawasih, yang menjadi simbol budaya Papua (WWF Indonesia, 2024). Fenomena ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam merancang kebijakan pembangunan di Papua.
Solusi Inklusif: Dialog dan Partisipasi Masyarakat Adat
Untuk mengatasi resistensi terhadap transmigrasi, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis dialog. Konsultasi dengan masyarakat adat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil adalah langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga menghormati hak-hak masyarakat lokal. Sebagai contoh, pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan implementasi kebijakan dapat mengurangi resistensi dan menciptakan rasa memiliki terhadap program tersebut (Kusumaryati, 2023).
Selain itu, revitalisasi kawasan transmigrasi yang sudah ada perlu difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk program pelatihan keterampilan, pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat adat. Dengan cara ini, transmigrasi tidak hanya menjadi solusi untuk pemerataan pembangunan, tetapi juga alat untuk memperkuat solidaritas sosial di Papua.
Pentingnya Pengakuan dan Keberlanjutan
Fenomena penolakan transmigrasi di Papua mengingatkan kita akan pentingnya pendekatan pembangunan yang menghormati nilai-nilai lokal, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Tanpa pengakuan yang tulus terhadap hak-hak masyarakat asli, setiap kebijakan pembangunan hanya akan memperdalam jurang ketidaksetaraan dan memperburuk ketegangan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Honneth (1996), pengakuan adalah fondasi dari hubungan sosial yang sehat. Oleh karena itu, kebijakan transmigrasi di Papua perlu dirancang dengan prinsip-prinsip inklusivitas, keadilan, dan keberlanjutan sebagai landasan utamanya.
Pada akhirnya, keberhasilan program transmigrasi di Papua sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat lokal dan mengintegrasikan kebutuhan mereka dalam kebijakan pembangunan. Dengan pendekatan yang inklusif, program ini dapat menjadi alat untuk memperkuat solidaritas sosial dan memajukan kesejahteraan masyarakat Papua secara berkelanjutan.