Hari ini Senin, 2 November 2015 saya membaca artikel di Koran Pikiran Rakyat mengenai Cerita Bahasa Sunda (ditulis oleh Anton Kurnia) yang berisi tentang tokoh-tokoh Sunda yang menjadi penulis buku cerita anak dijamannya.
Pertama melihat artikel tersebut... mata saya langsung tertuju pada gambar cover buku yang berjudul "Carita Budak Minggat" dengan penulis buku Samsoedi.
Dalam artikel tersebut, disebutkan karya-karya Samsoedi (1899-1987) diawali di tahun 1930 oleh "Tjarita Boedak Minggat" dan "Tjarita Si Diroen". Selanjutnya ada lagi buku yang berjudul "Boedak Teuneung" (1930), "Djatining Sobat" (1931), "Babalik Pikir" (1932) dan "Soerat Wasiat" (1935). Tulisan terakhir Samsoedi adalah "Si Bohim Tukang Sulap" (1980).
Karena ketekunannya sebagai pengarang namanya diabadikan sebagai nama hadiah penulisan buku untuk anak-anak dalam bahasa Sunda yaitu "Hadiah Samsoedi"
Saya adalah buyut (cicit) Samsoedi dan memanggil Samsoedi dengan sebutan "Mama" (artinya saya sendiri tidak tahu, yang jelas dari mulai nenek dan orang tua memanggilnya Mama) dan istrinya dipanggil "Embu". Seingat saya, (tolong ralat bila salah) Mama dan Embu mempunyai 8 anak yang terdiri dari 5 laki-laki dan 3 perempuan. Naah, mamih (saya memanggil mamih pada nenek) kalau ga salah anak yang kedua...
Jujur, artikel di koran tersebut, yang ditulis oleh orang lain, menohok kesadaran saya. Kenapa orang lain yang menulis? kenapa bukan keturunannya yang menulis? Apakah ini akibat "pareumeun obor?" Pareumeun obor berarti tidak tahu asal usul karena tidak ada yang memberi tahu. Tapi kalau untuk saya pribadi, peribahasa itu tidak tepat, karena saya tahu dan sangat mengenal Mama. Mungkin istilah yang tepat (kalau ada istilah ini) adalah "mareman obor" yang artinya dengan sengaja melupakan asal usul sendiri (jadi sedih..)
Saya ingat, buku-buku dengan judul di atas sudah saya baca dan ceritanya berkesan sampai sekarang. Rumah mama dan rumah yang saya tempati bersama orang tua berada di halaman yang sama. Rumah mama adalah rumah jaman dahulu dengan kaca patri, jendela khas yang terbuka kiri kanan, ruang tamu yang terpisah oleh pintu antik dengan ruang keluarga yang luas dan bersatu dengan ruang makan, dengan furniture antik, ada goah (gudang), dapur yang terpisah dari rumah utama (sayangnya saat ini kondisinya dalam menunggu kehancuran). Beralamat di Gang Payahya No. 181/90 Jalan K.Natawijaya Bandung (daerah Pagarsih).
Kondisi "Pareumeun Obor" ini banyak terjadi di Indonesia. Dengan kesibukan masing-masing, anak yang tidak mau diajak oleh orang tuanya untuk ikut dalam kegiatan keluarga denga alasan acara orang tua, atau memang orang tua yang sengaja tidak pernah hadir membuat kondisi ini terus berlanjut. Ditambah dengan urbanisasi dan transmigrasi, sehingga hubungan kekerabatan hanya sebatas bertemu di saat lebaran (terima kasih masih ada budaya mudik) atau acara pernikahan dengan komunikasi yang terbatas.
Agar tidak kehilangan asal usul, mungkin kita harus menengok lagi ke belakang, membuat silsilah keluarga beserta prestasinya atau keunikannya, rutin melakukan kumpulan yang disepakati waktunya dan komitmen untuk datang, serta tindakan lain yang membuat kita tidak seperti kacang lupa akan kulitnya.
Saya sendiri mulai mengalami kondisi tidak kenal dengan saudara, apalagi saya termasuk turunan dari keluarga besar. Dari pihak mamah (ibu) 15 bersaudara dan puluhan saudara sepupu... dari pihak papap (ayah) 10 bersaudara dengan puluhan sepupu juga. Yang terjadi anak2nya sepupu banyak yang saya tidak tahu namanya saking banyaknya.
Betul kata Soekarno... Jangan sekali-kali melupakan sejarah, apalagi sejarah keluarga. Dengan mengetahui sejarah keluarga maka kita dapat tahu hal-hal yang terkait dengan silsilah kita dan darimana kita berasal, untuk kemudian dijadikan dasar bersilaturahmi pada saat ini dan menjadi benang merah penghubung antar keluarga dimasa yang akan datang.