Penulis: Dr. Andri Tria Raharja, S.Pd., M.Pd (Dosen Pend. Olahraga, UMKT)
Samarinda - Setiap kali kebijakan pendidikan di Indonesia diubah, perubahan kurikulum selalu menjadi fokus utama. Ini sering disebut oleh pemerintah sebagai tindakan strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun demikian, perubahan kurikulum tidak selalu menyenangkan bagi guru yang bertanggung jawab. Beberapa kurikulum telah diubah dalam dua puluh tahun terakhir. Ini termasuk Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), dan Kurikulum Merdeka, yang dimulai 2022. Membangun pendidikan berbasis karakter atau meningkatkan kreativitas siswa adalah tujuan besar dari perubahan ini. Namun, keberhasilan perubahan ini sangat dipertanyakan, terutama bagi guru yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya di lapangan.
Apakah perubahan kurikulum ini benar-benar solusi atau hanya sekedar narasi yang indah tanpa implementasi nyata?
Data Perubahan Kurikulum di Indonesia
- Jumlah Kurikulum yang Diubah (2000-2023):
- Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
- Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006)
- Kurikulum 2013 (dengan revisi beberapa kali hingga 2020)
- Kurikulum Darurat (pandemi COVID-19, 2020)
- Kurikulum Merdeka (2022)
- Dampak Perubahan pada Guru:
- Laporan Kemendikbud (2023): Sebanyak 70% guru merasa kurang siap saat kurikulum baru diterapkan karena minimnya pelatihan.
- Laporan UNICEF (2021): 45% guru di daerah terpencil merasa tidak mendapatkan fasilitas memadai untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis teknologi.
- Anggaran Pendidikan:
- Anggaran pendidikan mencapai 20% APBN, tetapi alokasi untuk pelatihan guru hanya sekitar 5-7% dari total anggaran.
- Kesenjangan Pendidikan:
- Indeks Pendidikan UNESCO (2022): Indonesia berada di peringkat 60 dari 130 negara, menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam pemerataan kualitas pendidikan.
Tantangan Perubahan Kurikulum
- Beban Administrasi yang Kian BeratÂ
- Setiap kali kurikulum diubah, guru harus beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran dan metode penilaian baru. Dalam kenyataannya, banyak guru yang merasa terbebani oleh banyaknya tanggung jawab administratif. Memenuhi kewajiban administratif seperti membuat perangkat pembelajaran yang kompleks menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk menyiapkan materi dan mendampingi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara realitas lapangan dan kepercayaan kebijakan. Jika perubahan kurikulum hanya membawa beban tambahan tanpa dukungan pelatihan dan pendampingan yang memadai, efeknya dapat merugikan kualitas pendidikan.
- Minimnya Fasilitas dan Pelatihan:Â
- Ini adalah masalah lain yang sering muncul. Guru tidak memiliki cukup fasilitas dan pelatihan. Kurikulum Merdeka, misalnya, membawa semangat pembelajaran yang berbasis proyek dan menekankan kreativitas siswa. Namun, bagaimana pendidik dapat menerapkan strategi ini jika tidak ada fasilitas pendukung, seperti internet atau alat pembelajaran, terutama di daerah terpencil?. Selain itu, banyak pendidik yang tidak menerima pelatihan teknis yang diperlukan untuk memahami pentingnya perubahan kurikulum. Transformasi pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab guru; pemerintah juga harus mendukungnya dengan memberikan fasilitas, pelatihan, dan sumber daya yang tepat.
- Apakah Siswa Mendapatkan Manfaatnya?
- Meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa adalah tujuan utama perubahan kurikulum. Namun, sistem seringkali merusak siswa. Guru yang masih berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru cenderung mencoba memaksimalkan pembelajaran, yang menghilangkan kesempatan bagi siswa untuk benar-benar merasakan manfaat dari perubahan.
- Solusi Nyata, Bukan Sekadar Retorika
- Metode yang lebih realistis diperlukan jika pemerintah benar-benar ingin mengubah kurikulum. Pertama, perubahan kurikulum harus diuji secara menyeluruh sebelum diterapkan secara nasional. Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa semua guru menerima pelatihan intensif dan berkelanjutan. Ketiga, kurikulum baru harus dioptimalkan melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan.
Keterlibatan guru dalam pembuatan kurikulum juga sangat penting. Guru memahami kebutuhan siswa sebagai pelaksana utama di lapangan. Kebijakan pendidikan akan lebih relevan dan efektif jika mereka terlibat.
Perubahan kurikulum seharusnya menjadi solusi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sekadar narasi indah yang berakhir pada tumpukan dokumen administratif. Pemerintah, guru, dan masyarakat harus berjalan beriringan untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan benar-benar membawa manfaat bagi siswa, sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Tanpa itu, perubahan kurikulum hanya akan menjadi cerita berulang yang kehilangan maknanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H