Mohon tunggu...
Humas UMKT
Humas UMKT Mohon Tunggu... Dosen - Humas

UMKT Merupakan Perguruan Tinggi Swasta No 1 di Kaltim-Kaltara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru di Tengah Jerat Penghinaan: Menuju Indonesia Emas Atau Indonesia Cemas

23 November 2024   08:34 Diperbarui: 23 November 2024   08:49 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Januar Abdilah Santoso, S.Pd., M.Or. (Kaprodi Pend. Olahraga, UMKT)

Indonesia memiliki cita-cita besar di tahun 2045, di mana bangsa ini diharapkan memasuki era Indonesia Emas---sebuah visi untuk menciptakan bangsa yang maju, bermartabat, dan sejahtera. Namun, di balik impian besar ini, kenyataan di dunia pendidikan Indonesia justru mencerminkan ironi yang pahit. Guru-guru yang menjadi pilar utama pendidikan menghadapi kondisi yang tertekan, mulai dari penganiayaan hingga tuntutan hukum yang merugikan. Ketika guru, sang pencetak generasi emas, justru terhina dan tidak dihargai, akankah kita benar-benar siap menyambut Indonesia Emas, atau malah terperosok ke dalam bayang-bayang Indonesia Cemas?
Kasus Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menjadi cermin bagaimana profesi guru, yang mulia dan penuh pengabdian, justru berada di bawah ancaman hukum. Guru honorer yang diadukan karena tuduhan penganiayaan terhadap siswa menggambarkan realitas pahit profesi guru di Indonesia. Kasus seperti ini menghancurkan moral guru dan mengirimkan pesan suram tentang masa depan pendidikan kita.

Tantangan Guru di Tengah Penghinaan dan Ancaman Hukum

1. Ancaman Hukum: Guru Dalam Dilema antara Disiplin dan Tuntutan
Kasus Supriyani bukanlah satu-satunya. Di seluruh Indonesia, guru-guru terjebak dalam dilema serupa. Ketika guru mencoba mendisiplinkan murid agar memiliki karakter yang kuat, respons dari pihak orang tua atau masyarakat justru sering kali berlebihan, hingga membawa guru ke ranah hukum. Padahal, mendisiplinkan siswa adalah bagian dari pendidikan karakter yang esensial.
Banyak pakar pendidikan menilai fenomena ini berakar dari kurangnya pemahaman publik akan esensi pendidikan karakter. Disiplin adalah fondasi dalam membentuk siswa yang tangguh, bertanggung jawab, dan siap menghadapi tantangan. Jika guru terus dibayangi ancaman hukum, kemampuan mereka dalam menerapkan disiplin akan melemah, menjauhkan kita dari visi Indonesia Emas 2045.

2. Gaji Minim dan Kesejahteraan Rendah
Di Indonesia, kesejahteraan guru honorer jauh dari harapan. Dengan gaji yang sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup, banyak guru honorer dihadapkan pada pilihan sulit untuk terus bertahan dalam profesi ini. Pakar pendidikan menyatakan bahwa rendahnya gaji guru memengaruhi fokus mereka dalam mengajar, yang akhirnya mengancam kualitas pendidikan.
Para akademisi sepakat bahwa negara yang ingin membangun generasi unggul harus terlebih dahulu menghargai pahlawan pendidikan dengan memberikan kesejahteraan yang layak. Jika kesejahteraan guru tidak diperhatikan, cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 akan semakin jauh dari kenyataan.

3. Minimnya Perlindungan Hukum untuk Guru

Banyaknya kasus tuntutan hukum yang menimpa guru menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi profesi ini. Di negara-negara maju, guru dilindungi oleh peraturan yang ketat sehingga mereka dapat mendidik dengan tegas tanpa takut menghadapi tuntutan hukum berlebihan. Namun, di Indonesia, situasinya berbeda; ancaman hukum bisa menghantui siapa saja yang berani mendisiplinkan siswa.
Para ahli menekankan perlunya kebijakan hukum yang lebih tegas bagi profesi guru di Indonesia. Tanpa regulasi yang kuat, guru akan terus berada dalam bayang-bayang ancaman, kondisi yang sangat jauh dari visi besar menuju bangsa maju pada tahun 2045.

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Karakter Anak

Berbagai kasus yang menimpa guru, seperti Supriyani, menyadarkan kita akan pentingnya peran orang tua dalam pendidikan karakter anak. Guru memang memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik siswa di sekolah, tetapi peran utama dalam membentuk karakter anak tetap berada di tangan orang tua. Sebagian ahli pendidikan berpendapat bahwa banyak orang tua di Indonesia yang hanya "menitipkan" pendidikan karakter anak kepada sekolah. Ketika anak mengalami teguran atau tindakan disiplin di sekolah, mereka malah menyalahkan guru tanpa memahami alasan di balik tindakan tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, para ahli mendukung gagasan adanya sekolah khusus untuk orang tua sebagai bentuk pendidikan pengasuhan. Dr. James P. Comer dari Yale University mengembangkan School Development Program yang menunjukkan pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak untuk meningkatkan prestasi dan perkembangan sosial-emosional siswa. Begitu juga Dr. Joyce L. Epstein dari Johns Hopkins University yang menyusun Framework of Six Types of Involvement, di mana "Parenting" menjadi bagian penting keterlibatan dalam pendidikan anak. Menurut Epstein, sekolah perlu menyediakan program yang membantu orang tua memahami tahap perkembangan anak.
Di Indonesia, beberapa program serupa telah diinisiasi, seperti Program Bina Keluarga Balita (BKB) yang diselenggarakan oleh BKKBN. Program ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada orang tua mengenai pentingnya pengasuhan yang baik sejak dini. Menurut para pakar, sekolah khusus orang tua ini bisa menjadi salah satu solusi efektif untuk memastikan keterlibatan orang tua dalam pendidikan karakter anak, sehingga anak-anak tidak sepenuhnya dibentuk oleh lingkungan sekolah tetapi juga melalui bimbingan keluarga.

Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Cemas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun