JAKARTA – Akuntabilitas keuangan dan kinerja harus terus dilakukan pemerintah dengan memperkuat peran aparat pengawas internal. Pemerintah juga harus mulai membalik logika berpikir yang berfokus pada proses daripada hasil dalam penggunaan anggaran negara.
Demikian benang merah seminar “Peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)sebagai Quality Assurance Pelaksanaan Reformasi Birokrasi”, di Gedung B Lt. 8 Lembaga Administrasi Negara RI, Senin (24/2).
Hadir sebagai pembicara antara lain, Pierrick Le Jaune (Atase Kerjasama Kedubes Perancis), Jacques Serba (Auditor Administrasi Publik), V. Sonny Loho (Irjen Kementerian keuangan) serta Deputi Bidang Inovasi LAN RI, Tri Widodo W. Utomo (moderator).
Auditor Administrasi Publik, Jacques Serba, mengatakan, efektifitas pengawasan dan penggunaan anggaran pemerintah saat ini merupakan isu penting. Krisis ekonomi dan keuangan yang melanda negara-negara Uni Eropa terjadi akibat buruknya sistem pengelolaan dan pengawasan keuangan.
“Krisis ekonomi dan keuangan di belahan Eropa telah mendorong berbagai pemerintah untuk menerapkan sistem pengawasan penggunaan anggaran dengan ketat. Pemerintah pun dipaksa untuk melakukan reformasi administrasi,” kata dia.
Jacques mengakui, krisis eropa memiliki dampak terhadap Perancis. Namun, dengan sistem pengawasan yang dibangun sejak lama, Perancis cenderung siap menghadapi dampak krisis tersebut.
“Perancis telah melakukan reformasi peraturan keuangan pada tahun 2001. Tingkatan peraturan keuangan yang ditetapkan pun bisa disejajarkan dengan Konstitusi,” jelasnya.
Dia mengatakan, pengawasan penggunaan anggaran sebaiknya dilakukan dengan model pengawasan bertingkat. Pola ini terbukti mampu mendorong akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
“Perancis menerapkan pola pertanggung jawaban bertingkat, mulai dari parlemen, kementerian, pejabat tinggi, pegawai, dan pihak otoritas. Audit yang dilakukan pun meliputi audit internal, eksternal, inspeksi, pemeriksaan, sertifikasi. Semuanya saling berkaitan,” jelasnya yang berbagi pengalaman sistem pengawasan keuangan di negaranya tersebut.
Irjen Kemenkeu, V. Sonny Loho, mengatakan, upaya pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Pasca-krisis 1998, Kemenkeu telah mengeluarkan tiga paket UU tentang Keuangan Negara, antara lain, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU N0. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Meski demikian, dia mengakui, upaya mendorong akuntabilitas keuangan pemerintah belum berjalan optimal. Loho merujuk indeks akuntablitas pemerintahan yang saat ini ada di angka 24 persen. Padahal target yang ditetapkan sebesar 80 persen. Di samping itu, indeks efektifitas pemerintah saat ini baseline-nya masih di angka – 0,29 dari target di angka 5. Demikian juga dengan Indeks Persepsi Korupsi yang masih di angka 3,2.
“Memang masih banyak yang harus kita kejar jika merujuk pada berbagai indikator yang ada. Namun kita terus mendorong penguatan akuntabilitas pada aspek kinerja, pelayanan publik, serta monitoring dan evaluasi,” jelasnya. (bp/fat/humas)
Penggunaan Anggaran : Pengawasan Internal Harus Diperkuat
JAKARTA – Akuntabilitas keuangan dan kinerja harus terus dilakukan pemerintah dengan memperkuat peran aparat pengawas internal. Pemerintah juga harus mulai membalik logika berpikir yang berfokus pada proses daripada hasil dalam penggunaan anggaran negara.
Demikian benang merah seminar “Peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)sebagai Quality Assurance Pelaksanaan Reformasi Birokrasi”, di Gedung B Lt. 8 Lembaga Administrasi Negara RI, Senin (24/2).
Hadir sebagai pembicara antara lain, Pierrick Le Jaune (Atase Kerjasama Kedubes Perancis), Jacques Serba (Auditor Administrasi Publik), V. Sonny Loho (Irjen Kementerian keuangan) serta Deputi Bidang Inovasi LAN RI, Tri Widodo W. Utomo (moderator).
Auditor Administrasi Publik, Jacques Serba, mengatakan, efektifitas pengawasan dan penggunaan anggaran pemerintah saat ini merupakan isu penting. Krisis ekonomi dan keuangan yang melanda negara-negara Uni Eropa terjadi akibat buruknya sistem pengelolaan dan pengawasan keuangan.
“Krisis ekonomi dan keuangan di belahan Eropa telah mendorong berbagai pemerintah untuk menerapkan sistem pengawasan penggunaan anggaran dengan ketat. Pemerintah pun dipaksa untuk melakukan reformasi administrasi,” kata dia.
Jacques mengakui, krisis eropa memiliki dampak terhadap Perancis. Namun, dengan sistem pengawasan yang dibangun sejak lama, Perancis cenderung siap menghadapi dampak krisis tersebut.
“Perancis telah melakukan reformasi peraturan keuangan pada tahun 2001. Tingkatan peraturan keuangan yang ditetapkan pun bisa disejajarkan dengan Konstitusi,” jelasnya.
Dia mengatakan, pengawasan penggunaan anggaran sebaiknya dilakukan dengan model pengawasan bertingkat. Pola ini terbukti mampu mendorong akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
“Perancis menerapkan pola pertanggung jawaban bertingkat, mulai dari parlemen, kementerian, pejabat tinggi, pegawai, dan pihak otoritas. Audit yang dilakukan pun meliputi audit internal, eksternal, inspeksi, pemeriksaan, sertifikasi. Semuanya saling berkaitan,” jelasnya yang berbagi pengalaman sistem pengawasan keuangan di negaranya tersebut.
Irjen Kemenkeu, V. Sonny Loho, mengatakan, upaya pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Pasca-krisis 1998, Kemenkeu telah mengeluarkan tiga paket UU tentang Keuangan Negara, antara lain, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU N0. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Meski demikian, dia mengakui, upaya mendorong akuntabilitas keuangan pemerintah belum berjalan optimal. Loho merujuk indeks akuntablitas pemerintahan yang saat ini ada di angka 24 persen. Padahal target yang ditetapkan sebesar 80 persen. Di samping itu, indeks efektifitas pemerintah saat ini baseline-nya masih di angka – 0,29 dari target di angka 5. Demikian juga dengan Indeks Persepsi Korupsi yang masih di angka 3,2.
“Memang masih banyak yang harus kita kejar jika merujuk pada berbagai indikator yang ada. Namun kita terus mendorong penguatan akuntabilitas pada aspek kinerja, pelayanan publik, serta monitoring dan evaluasi,” jelasnya. (bp/fat/humas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H