[caption id="attachment_221376" align="aligncenter" width="432" caption="Suasana Pembukaan Pelatiahan "][/caption] Sistem pemerintahan Sarak Opat yang terdiri dari Reje (Raja/Kepala Kampung), Imem (Imam), Petue (Petua) dan Rayat (Rakyat), pernah memiliki peran esensial dalam perkembangan masyarakat Gayo Aceh Tengah, hingga Pendudukan kolonial mempengaruhi perkembangannya karena mengalami penyesuaian dengan aturan yang mendukung eksistensi penjajahan ketika itu, kemudian aturan pemerintah orde baru bahkan menghilangkan dan menyeragamkan pemerintahan kampung dengan struktur pemerintahan desa. Periodeisasi sejarah tersebut telah memberi dampak yang tidak baik bagi pemerintahan sarakopat, nilai-nilainya pun semakin terkikis dan terdegradasi dari masyarakat setempat. Namun, reformasi pemerintahan nasional sejak tahun 1998 telah memberi ruang dan keleluasaan bagi daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki termasuk mengembalikan karakter asli dan budaya lokal sebagai suatu keberagaman yang harus dihormati. “Otonomi Daerah merupakan momentum bagi kita untuk mengembalikan fungsi dan peran Sarak Opat dalam sistem pemerintahan kampung”, demikian dikatakan Sekda Aceh Tengah, Drs. H. Taufik, MM ketika berbicara dihadapan 295 Petue yang mengikuti pelatihan dan pembekalan, senin (3/12) di Hotel Linge Land Takengon. Pelatihan Petue kampung, menurut Taufik adalah bagian dari komitmen pemerintah daerah untuk membangkitkan dan memberdayakan kembali sistem pemerintahan adat Sarak Opat, salah satunya adalah dengan meningkatkan kapasitas petue sebagai bekal untuk menjalankan tugas dan fungsi dalam menegakkan adat-istiadat yang selaras dengan nilai-nilai keislaman. “Pemberian pelatihan menjadi suatu pilihan yang urgen karena kondisi saat ini berbeda dengan dahulu, jika dahulu segala permasalahan dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui kemufakatan sarak opat, situasi kini harus disesuaikan dengan hukum positif yang berlaku, berikut pula kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum negara, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan”, Jelas Taufik yang menegaskan Posisi petue dalam Sarak Opat merupakan pihak yang berkewajiban meneliti dan menyelidiki masalah yang terjadi dalam masyarakat, atau polisi maupun jaksa di masa sekarang. Peran dan fungsi Petue semakin mendapat legalitas dengan keluarnya Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008, yang mengatur tentang lembaga adat, dalam qanun tersebut Terdapat pemilahan urusan atau kewenangan penyelesaian sengketa yang menjadi bagian dari lembaga adat, sehingga semakin menegaskan kedudukan petue dalam melaksanakan tugas penyelesaian masalah di tingkat kampung. “Hadirnya berbagai ketentuan yang melegalisasi lembaga adat harus kita tindaklanjuti, termasuk terhadap Petue dan Sarak Opat lainnya, kita harus menempuh upaya pemberdayaan lembaga adat ini sebagai bagian dari semangat melestarikan budaya, disamping kemanfaatan yang akan didapat bila Petue dan unsur-unsur Sarak Opat berfungsi dengan baik dalam masyarakat”, urainya. Sebagai perangkat daerah yang memiiki peran utama untuk memberdayakan Petue dan unsur Sarak Opat lainnya, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kampung (BPMPK) Aceh Tengah dituntut untuk membuka tuang yang lebar agar lembaga adat tersebut dafat berfungsi dengan baik. Komitmen untuk itu ditegaskan oleh kepala BPMPK Aceh Tengah,Drs Al Hudri,MM disela-sela acara pelatihan, Menurutnya ”pelaksanaan Pelatihan bagi Petue dimaksudkan untuk menyamakan persepsi dan membangun komitmen dalam kebijakan pemerintahan kampung, khususnya penguatan pemerintahan Sarak Opat”, ujarnya. Pelatihan tersebut, jelas Hudri dilaksanakan dalam 3 angkatan selama 6 hari,”agar efektif, pelaksanaan pelatihan bagi Petue yang berasal dari 295 Kampung dilaksanakan dalam 3 angkatan”,tandasnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H