Kesalahan pengasuhan bagian pertama, sudah sedikit dibahas tentang "tidak dibiasakannya tanggung jawab". Kali ini akan diuraikan sedkit banyak tentang kesalahan pengasuhan bagian dua, yaitu penanaman keyakinan yang salah. Keyakinan ini akan berdampak pada rasa percaya diri pada anak. Kesalahan penanaman keyakinan bermula dari pemberian kisah-kisah dan pernyataan-pernyataan kepada anak yang dilakukan secara sembarangan tanpa memperhiungkan efek kisah tersebut pada konsep bawah sadar anak.
Memberikan cerita dongeng merupakan salah satu bentuk pembelajaran metamorfosis yang memiliki ragam manfaat, hikmah, pujian, teguran dapat disisipkan dalam alur cerita. Kemahiran orang tua dan pengasuh dalam memilih cerita  yang penuh dengan nilai edukasi dan hikmah sangat diperlukan. Kisah teladan dari tokoh-tokoh sejarah dan contoh perilaku baik sehari-hari dapat menjadi pilihan cerita yang baik. Sehingga, orang tua dan pengasuh harus segera meninggalkan cerita-cerita buaya ditipu kancil, kancil menipu anjing, atau kancil mencuri timun, dan lain sebagainya.Sungguh ironi ketika kepandaian dan kepiawaian menipu dinilai sebagai prestasi serta kecerdasan. Menjadi tanda tanya menggelitik, mungkin pejabat yang terjerat problem barang kali semasa kecil sering mendengar dan terinspirasi dari kisah si kancil tersebut. Bertemali dengan hal tersebut, kisah-kisah heroik,peperangan, atau kisah kebaikan melawan keburukan sebaiknya diberikan hingga menjelang anak usia balig.
Penanaman keyakinan yang salah juga tercermin dari para orang tua dan pengasuh yang kerap membuat pernnyataan-pernyataan tanpa didasari dalil dan bukti ilmiah yang benar. Contoh, minum es pasti membuat sakit, berlari pasti jatuh, hujan menyebabkan masuk angin dan pernyataan lain yang senada dengan itu. Pada akhirnya, anak mengalamai "alergi buatan" terhadap es dan hujan, lalu malas melakukan aktivitas fisik. Orang tua juga kerap menularkan keyakinan tak berdaya pada anak secara tidak sadar. Alih-alih mendisiplinkan anak, ayah atau ibu kadang berkata, "Ayo belajar! Matematika itu rumit dan susah lho! Nah, sebenarnya yang beranggapan Matematika itu rumit siapa? Ayah dan ibunya, kan? Lalu jika merasa rumit, lantas mengapa mengajak anak untuk mengkonfirmasi dan meyakini hal yang sama? Belum tentu si anak mengalami kerumitan dalam Matematika, tetapi karena dikatakan berulang kali oleh ayah dan ibunya maka anak akan ikut mengakuisisi keyakinan yang sama. Nah, pola penanaman keyakinan seperti inilah yang harus diperbaiki mulai dari sekarang. Keyakinan tentang potensi diri dan konsep diri perlu ditanamkan pada anak dengan ungkapan-ungkapan positif setiap harinya dari ayah dan ibu serta pengasuhnya. Hal ini juga berlaku ketika menanamkan konsep keyakinan beragama, dimana dalam konteks tersebut orang tua tidak boleh asal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H