Adagium persyarikatan yang dicetuskan KH. Ahmad Dahlan, "Hidup-hidupilah Muhammaiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah", menjadi landasan militansi dan loyalitas pada Muhammadiyah. Hal ini kemudian ditampilkan KH. Ahmad Dahlan yang tetap bersikukuh menjalankan kerja-kerja dakwah dalam keadaan sakit. Ia mengatakan, "Kalau saya hentikan apa yang saya sudah saya mulai, nanti akan berat bagi para pelanjut saya". Nampak seperti altruisme ekstrem, namun demikianlah potret militansi KH. Ahmad Dahlan yang banyak dituliskan dalam sejarah panjang persyarikatan Muhammadiyah. Namun demikian, adagium tersebut tidak tepat jika disuguhkan atas problem-problem guru Muhammadiyah. Alih-alih memberikan semangat dan motivasi, justru yang terjadi hanya akan menjadi bualan yang menumpulkan "growth mindset" kader persyarikatan.
Adagium harus menjadi stimulus yang fungsional dan porposional penggunaanya. Kepala sekolah dan pimpinan Muhammadiyah pada semua level tidak boleh terus-menerus mendalilkan adagium persyarikatan ketika AUM menghadapi problem. Sehingga, pada tahapan ini realisasi growth mindset harus mulai pada masuk pada ranah taktis dan strategis mengurai problem sekolah Muhammadiyah. Apabila problem sekolah adalah masih belum mampu memberikan "upah" yang layak kepada guru, maka stakeholder sekolah Muhammadiyah harus mengupayakan penyelenggaraan pendidikan berkualitas untuk branding sehingga sekolah memiliki daya jual yang tinggi yang pada akhirnya akan turut mensejahterakan guru dan tidak lari pada CPNS/PPPK.
Memulai Growth Mindset
Tidak berhenti pada persoalan branding, kepala sekolah dan stakeholder Muhammadiyah (cabang/ranting) harus mulai memikirkan gerakan-gerakan entreprneur (kewirasusahaan) untuk menopang finansial sekolah, selain sumber dana dari masyarakat. Kepala sekolah harus memulai menginternalisasi gaya-gaya kepemimpinan berpola growth mindset yang berbasis kewirausahaan, dimana kepala sekolah menjadi garda terdepan akan dua hal. Pertama, membuka ruang seluasnya kepada guru untuk berani mengaktualisasikan diri dengan cara menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kapasitas mengajar secara berkesinambungan dan terus-menerus. Kedua, efisiensi tata kelola keungan sehingga mengupayakan ada sisa uang sekolah yang digunakan untuk investasi. Hasil investasi tersebutlah yang kemudian dapat digunakan untuk menambah keuangan sekolah dan meningkatkan "upah" guru dan tendik.
Dua strategi di atas, harus dilandasi dengan keberanian dan sudut pandang yang senantiasa positif. Karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa sekolah Muhammadiyah tertentu sulit mengalami kemajuan dan inovasi senantiasa didalilkan pada kekurangan biaya dan apatisme guru pada sebuah perubahan. Sudah saatnya kepala sekolah dan stakeholder lembaga pendidikan Muhammadiyah berupaya mendayagunakan potensi keuangan sekolah untuk menambah asset. Sudah bukan era-nya lagi sekolah Muhammadiyah menggantungkan pembiayaan hanya berasal dari uang wali murid dan bantuan pemerintah.
Wallahu'alam
Author: Rio Estetika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H