Literatur Al-Quran dalam menguraikan kisah kaum dhuafa (mustadh'afin) terbagi menjadi tiga kutub. Pertama, superioritas penindas (mustadh'ifin). Kedua, kelompok lemah dan tertindas (mustadha'afin). Ketiga, kekuatan pembebas dan pembela kaum tertindas, yang dipelopori oleh para Nabi dan utusan Allah Swt.Â
Ini menunjukkan bahwa Islam berwatak subversif terhadap kekuasan disekitarnya. Karena memang demikianlah cita-cita Islam, mengubah tata nilai lama yang bobrok dan menindas dengan tata nilai baru yang humanis dan memihak kaum lemah. Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa istilah mustadh'afin sendiri tidak hanya terbatas pada golongan orang yang lemah secara ekonomi saja, tetapi juga sosial, politik, maupun pendidikan.
Muhammadiyah dengan didorong teologi Al-Ma'un  (ajaran) pendiri gerakan ini yaitu KH. Ahmad Dahlan, telah memainkan peran kutub ketiga dalam pemberontakan sosial, yaitu membela dan membantu pihak-pihak yang ter-marjinalkan, mereka yang lemah, yatim, dhuafa (mustadh'afin).Â
Melalui pendidikan, Muhammadiyah tidak hanya memberi melain berupaya melakukan pemberdayaan sosial. Mengupayakan agar seorang individu manusia dapat berdaya, baik intelektual, emosional, dan spiritualnya.Â
Konsep pemberdayaan yang dilakukan adalah menempatkan individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek perubahan-transformasi yang menolong mereka sendiri. Maka, hingga saat ini jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah telah mencapai angka fantastis. Merujuk pada data dari Majlis Pendidikan PP Muhammadiyah, jumlah sekolah sebanyak 3.334 (jenjang SD sampai Perguruan Tinggi).
Namun, dari jumlah yang fantastis itu tidak serta merta seluruh sekolah Muhammadiyah mampu tampil apik dalam mengurai problem-problem dhuafa. Ada sekolah Muhammadiyah sangat elite dan mahal, yang hanya mampu diakses oleh kelas ekonomi menengah keatas.Â
Ada pula sekolah Muhammadiyah untuk jalan saja harus terseok berjibaku dengan situasi tak menentu. Biasanya sekolah ini dapat diakses dengan biaya terjangkau, sehingga mereka (yang dhuafa) pun bisa turut mengaksesnya.Â
Dua realitas tersebut menunjukkan bahwa dalam tubuh Muhammadiyah, ada ketimpangan yang curam diantara sekolah milik Muhammadiyah. Hal ini selain menjadi warna khazanah pendidikan di Muhammadiyah, juga menjadi problema dan sisi gelap perguruan Muhammadiyah.Â
Bagaimana pendidikan Muhammadiyah dapat menaikkan kelas dan membebaskan dhuafa, jika masih ada sekolah Muhammadiyah tidak menampakkan kemajuannya.Â
Pola pendidikan sepertia apa yang akan diberikan untuk memberdayakan dhuafa secara intelektual, emosional, dan spiritual. Bukankan sekolah seperti itu justru adalah dhuafa tipe baru? Tentunya, ini adalah pekerjaan rumah bagi Muhammadiyah keseluruhan yang harus segera dituntaskan. Mengingat lembaga pendidikan adalah salah satu sarana unggulan Muhammadiyah dalam merealisasikan tujuan dan cita-cita besar persyarikatan.