Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kamera dan Berbagi Praktik Baik Dunia Pendidikan

12 November 2023   20:55 Diperbarui: 12 November 2023   21:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan Indonesia akhir-akhir ini riuh dengan jargon dan adagium berbagi praktik baik. Yakni sebuah proses men-sharekan dan membagikan praktik-praktik baik di sekolah, baik pembelajaran, manajemen sekolah, budaya baca, dan lain sebagainya. Semua itu dibagikan dan diviralkan agar mendapatkan perhatian dan umpan balik dari berbagai pihak. Membagikan pengalaman pembelajaran, bentuk-bentuk budaya nilai disekolah, program-program literasi bisa menjadi suatu khazanah tersendiri dalam dunia pendidikan. 

Guru yang membagikan praktik pembelajaran berdeferensiasi akan memberikan dampak positif tentang pemahaman pembelajaran berdeferensiasi lebih komprehensif. Kepala sekolah yang membagikan praktik manajemen keuangan yang baik, akan memicu keterbukaan finansial lembaga. Sekolah menampilkan program-program literasi di akun media sosial milik sekolah, akan mendorong keberhasilan meningkatkan literasi masyarakat.

Memang sejatinya, berbagi praktik baik merupakan suatu keharusan dan mungkin kodrat yang harus dilakukan oleh stakeholder pendidikan sedari dulu. Mungkin dulu jargon "berbagi praktik baik" tak seramai masa kini karena dahulu media sosial yang belum masif. Namun, hari ini begitu banyak tampilan pendidikan berupa video, gambar, animasi , dan lainnya bermunculan dengan tagline "berbagi praktik baik". Lihat saja guru-guru konten kreator begitu fasih dan luwes menyuguhkan konten-konten pembelajaran, ice breaking, assesment di media sosial (facebook, tiktok, instagram, dll). Bahkan konten-konten dinamika perjuangan guru dalam mengajar , keluhan guru atas tingkah polah peserta didiknya, dan beban administratif guru begitu banyak menghiasi lini media sosial. Semuanya dibranding dan diramaikan dengan tagline "berbagi praktik baik".

Praktik baik apapun namanya memang bertujuan baik, saya tidak menolak hal tersebut. Namun, ketika sebuah praktik baik pendidikan masuk dalam bingkai kamera dan kemudian tayang di media sosial dengan jumlah yang fantastis dan duplikasi yang masif. 

Nalar skeptisme saya bergolak. Bukankah praktik baik seperti itu penuh dengan penataan, pengkondisian,skenario, dan editing. Artinya, wahai guru konten kreator? Praktik baik yang anda post di media sosial itu sebenarnya untuk apa dan siapa? Kerap kali untuk mengambil take video yang bagus, entah berapa kali harus mengkondisikan murid-murid hanya untuk sekedar konten media sosial. Alih-alih berbagi praktik baik, justru yang ada hanyalah proses pengkondisian yang temporal dan tidak berdampak. Jadi, hari ini akan sangat sulit menemukan sebuah "berbagi praktik baik" di dunia pendidikan yang benar-benar orisinil tanpa pengkondisian, duplikasi dan bermain peran di hadapan camera.

 Iya mungkin subjek dan objek melakukan praktik baik, namun apakah kontinu dan menjadi sebuah perilaku tanpa di suruh. Atau jangan-jangan menjalankan praktik baik dalam pembelajaran, metode pengajaran, assesment , manajemen sekolah hanya didepan kamera saja. Dengan tujuan meramaikan akun media sosial dan meningkatkan jumlah like dan follow, yang pada akhirnya pada link bio akan tertulis "Open Endors: DM". Atau bahkan untuk memenuhi akun belajar. id dalam PMM (Platform Merdeka Mengajar), saya tidak anti pati dengan aplikasi tersebut. Justru saya apresiasi telah ada sebuah wadah untuk belajar dan menambah pengetahuan bagi guru-guru di Indonesia melalu platform terintegrasi seperti PMM. Namun, kembali lagi bahwa konten berupa "Aksi Nyata" dalam platform tersebut yang juga mengusung "berbagi praktik baik" kerap kali terdapat aksi nyata duplikasi dari guru-guru lain. 

Menjadi temuan bagi saya, bahwa konten "Aksi Nyata" tidak sepuhnya orisinil dan tanpa kurasi yang ketat. Para guru kerap mengerjakan aksi nyata karena tuntutan dari pengawas dan ancaman tunjangan tidak cair. Maka, yang terjadi hanyalah "Aksi Nyata" duplikasi berbalut berbagi praktik baik, yang pada akhirnya menjadikan PMM seperti tempat sampah digital kerena menerima upload dokumen aksi nyata duplikasi yang penuh pengkondisian, skenario, dan editing.

Saya jadi bertanya andaikan camera dan internet lenyap dari dunia ini apakah "berbagi praktik baik" pendidikan akan tetap eksis dan orisinil ? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun