Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjual Domain Agama, Untuk Apa?

4 Oktober 2023   22:50 Diperbarui: 4 Oktober 2023   22:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Freepik

Dalam kalimat lainnya, dengan menjual "domain agama" sekolah Islam bisa memiliki murid yang fantastis, sehingga secara alami akan mempengerahui pada tingkat kesejahteraan para guru-gurunya. Dinama hingga saat ini sering kali kesejahteraan guru belum nampak jelas dalam lingkup kuasa negera maupun lembaga sendiri yang bersangkutan.

Domain agama yang terus dibranding tentunya akan menjadi satu nilai positif pada kekuatan khazanah Islam dalam kehidupan. Akan tetapi, menjadi kekhawatiran mendalam ketika  sekolah memposisikan "domain agama" sebagai "citra" demi mendongkrak kebutuhan praktis lembaga pendidikan, misalnya seperti mendongkrak angka kenaikan PPDB, memperbanyak deretan piala, menaikkan pamor dan prestise. 

Memang alasan ekonomisnya adalah demi kemajuan lembaga dan kesejahteraan. Hal tersebut logis dan masuk akal, mengingat roda finansial sekolah swasta masih banyak mengandalkan pembiayaan pendidikan dari masyarakat (orang tua). 

Dalam konteks kualitas keilmuan, menjadikan domain agama sebagai citra adalah sebuah kepalsuan dan kemunafikan. Misalnya saja, sekolah menyelenggarakan pendidikan Tahfidz  Al Quran dengan garansi hafal sekin juz. Hal ini baik, namun perlu diperhatikan bahwa tahfidz Al Quran juga memiliki standar keilmuan, metode, proses yang tidak sebentar, dan cost yang cukup banyak untuk mendapatkan kualitas maupun kuantitas hafalan Al Quran yang baik. 

Problemnya, kadang sekolah Islam kerap sibuk mencari "wah" dan viralitas, sehingga menyelenggarakan tahfidz Al Quran dengan terburu-buru penargetan sekian juz yang kerap kali tidak diimbangi dengan pendalaman tajwid, pemilihan guru Al-Quran yang berstandar, serta kejelasan kurikulum tahfidz. Sehingga yang terpenuhi hanyalah jumlah hafalan yang fantastis, lalu akan dipajang dan difoto untuk branding sekolah. Bukankah hal tersebut mencederai keilmuan? 

Menunjukkan capaian kompetensi peserta didik dalam beragama adalah kebaikan tersendiri dan merupakan nilai positif. Tetapi, mengabaikan proses dan tidak menjalankan standar keilmuan bukankah justru menciptakan generasi gagap? Mengambil domain agama sebagai nilai branding, kini juga mulai dilakukan oleh sekolah-sekolah Negeri. 

Lihat saja, habituasi ibadah-ibadah ritual, baca tulis Al-Quran, dan tahfidz telah banyak berkembang di sekolah negeri. Tentunya, ini hal positif dan membanggakan bahwa di sekolah negeri pun juga terdapat penguatan keagamaan dan spiritual yang kontinu. Namun, sekali lagi adalah hal yang utama adalah mengajarkan "agama" perlu dengan standar keilmuan yang ada. 

Jangan asal mengajarkan demi citra dan viralitas semata. Fokus utamanya adalah bagaima sekolah-sekolah itu mampu memberikan pemahaman agama secara teoritis dan praktis berdasarkan standar keilmuan yang benar. Urusan citra dan viralitas adalah nilai plus, jangan sampai justru malah menjadi fokus utama.

Author: Rio Estetika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun