Bergulir sebuah wacana kebijakan "New Normal" menghadapi Covid-19 yang hingga kini belum juga minggat. New normal, sebuah kelonggaran untuk beraktifitas seperti biasa namun tetap patuh protokol kesehatan. Segala skenario dipersiapkan untuk suksesi "New Normal" .
Simbolis pun digelar, mall dan bisnis elit mulai dipersiapkan untuk kembali dibuka. Sementara tempat-tempat ritual ibadah masih diaharuskan tutup.
Sebagai rakyat awam tentunya hal yang wajar jika diri ini mempertanyakan. "New Normal" untuk siapa? Untuk keselamatan rakyat dan hajat hidup orang banyak? Untuk perputaran ekonomi kelas bawah?
Aku ragu mengatakan "iya". Kok jadinya mikir, ini pasti hanya untuk segelintir kepentingan kelompok. Ya pastinya demi kepentingan para elit kapitalis agar roda bisnis dengan modal besar itu tidak merugi karena sepinya pengunjung. Agar korporasi-korporasi busuk tetap melenggang.
Soal new normal, sebenarnya negera tetangga, Korea Selatan sudah memberikan warning bahwa New Normal justru meningkatkan laju penularan covid-19 meningkat di negara mereka. Itu disana lho yang orangnya cukup disiplin aja kayak begitu, lha bayangin aja itu di negeri tercinta kita ini yang kebanyakan semau-maunya.
Kok gitu sih, pemerintah kok nggak peduli rakyatnya? Bukannya tidak peduli, melainkan tak mampu peduli. Sedari awal mereka berkuasa atas modal para pemilik modal, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pun sarat dengan pesanan. Terus gimana dong? Usaha sendiri dong kita.Â
Ya gimana lagi pengurus negara ini pada suka guyonan kok. Ku tahu memang berat dan susah berjuang distuasi ini. Tapi, berputus asa dan pasrah juga bukan sikap yang ideal.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah:286)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Al Insyirah: 5-6)
Jadi, berbekal motivasi dan janji Allah, kuy tata mindside kita soal "New Normal". Yang punya duit banyak, kuy investasi dan tak usah lagi kita tuh mubazir materi untuk belanja di mall-mall, nongkrong di cafe2 mahal, bergaya dengan produk-produk bermerek yang harganya langitan. Cukuplah belanja di warung tetangga, biar ekonomi kelas bawah ikut bergerak. Jangan pakai dalih "harga teman".