Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagia Menikah, Cek Kembali Ekspektasi Menikahmu

20 Maret 2020   06:27 Diperbarui: 20 Maret 2020   06:36 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humaniora Aesthetic-- Ada yang bilang nikah itu enaknya 10%. Yang 90% itu enak banget. Tapi masa sih sebegitu enaknya? Sebetulnya pernyataan itu muncul untuk memotivasi orang-orang yang belum menikah agar timbul dorongan segera menikah. Atau sebenarnya merupakan bentuk iming-iming, karena biasanya kalimat itu keluar dari perkataan orang yang sudah menikah. 

Hal itu tidaklah salah karena memotivasi.Di sisi lain hal itu juga mendatangkan efek negatif, yaitu meunculnya sebuah ekspektasi atau harapan terlampau tinggi terhadap sebuah pernikahan. Lantas bagaiman ukurang ekspektasi yang idela?

Jadi gini, orang yang belum menikah lalu dimotivasi dengan menyebut angka 90% enak banget. Otomatis akan terbayang hal-hal indah setelah pernikahan di benak para jombli-jombli (sebutan untuk para jomblo). Bayangan indah romantisme suami-istri. Terbayang suatu ketika akad, pertama kali memegang dan mencium tangan pasangan halal. Kebahagiaan bersanding di pelaminan, moment malam pertama, jalan-jalan berdua, dan sebagainya.

Orang sering kali muncul keinginan menikah karena jenuh dengan rutinitasnya. Mulai dari beratnya pekerjaan, kuliah yang tak kunjung selesai. Mereka berpikir bahwa dengan menikah akan mengobati itu semuanya. Sebab akan hadir pasangan yang mengobati gundahnya hati.

Kenyataannya dengan menikah, maka tanggung jawab akan bertambah. Tidak lagi memikirkan diri sendiri dan memenangkan ego diri. Ada pasangan yang harus dibahagiakan. Ada nafkah yang harus dicari. Ada kewajiban yang harus ditunaikan. Untuk membahagiakan pasangan, terkadang harus berkorban diri. Walaupun pada akhirnya, kebahagiaan pasangan juga akan menjadi kebahagiaan diri yang berharga nilainya.

Maka tanamkanlah kuat-kuat dalam hati dan pikiran, bahwa kehidupan setelah pernikahan adalah liku dan perjuangan. Ukur ekspektasimu bahwa menikah bukan hanya soal senang dan romantisme tapi perjuangan menyatukan dua hati yang berlawanan, jalan pikir yang berbeda, dan perjuangan membangun rumah tangga rabbani.

Sumber: Dinukil dari "Menikah Saja" karya Said Rosyadi dan Armyta D.Pratiwi diterbitkan oleh Qultum Media, 2017. Dengan penambahan penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun