Pukul setengah tujuh, matahari telah menampakkan sinarnya. Semua orang memulai aktivitasnya mencari penghidupan. Begitupun Sunaryo, pemuda 22 tahun fresh graduate dari perguran tinggi swasta ternama di kota Solo.Â
Memulai harinya pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Menunggu bis kota sebagai tumpangan menuju sekolah adalah cara termudah yang bisa ia lakukan.Â
Dari sekian banyak guru muda, mungkin Sunaryo adalah Oemar Bakri muda di era milenium. Sunaryo mengawali kariernya sebagai pendidik dengan idelisme dan integritas kaum muda.Â
Bagi Sunaryo pendidikan adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan taraf kehidupan. Oleh karenanya, semenjak mahasiswa Sunaryo belajar giat demi menjadi guru yang ideal dan profesional. Teori-teori pendidikan, model pembelajaran dan metodologi klasik hingga modern ia coba kuasai demi menjadi guru profesional yang beridealisme tinggi.
18 bulan mengajar Sunaryo mulai merasakan gegelisahan, dimana realitas pendidikan yang ada kadang tak sejalan dengan apa yang dikehendaki semasa kuliah dulu. Mulai dari tingkah anak yang tak lagi wajar disebut sebagai tingkah anak sekolah dasar. Leluasanya orang tua memberikan akses gadget, menurut Sunaryo adalah akar masalahnya. Anak-anak banyak disibukkan dengan gadgetnya dan dunia mayanya, tebar sensasi, eksis goyang dua jari "Tik-Tok". Sunaryo jenuh dengan tidak berubahnya sikap anak-anak dan ketidakpekaan orang tua. Hal ini membuat Sunaryo frustasi, semangatnya mulai kendor idealisme mulai goyah. Sunaryo mengajar sekedarnya, yang penting anak dapat materi, ulangan, dan kemudian dapat nilai. Seolah kepekaannya untuk mengajarkan nilai-nilai ukhrawi dan kebajikan mulai redup.
Ditambah dengan cibirian orang terdekat dan tetangga terkait karier yang dijajakinya. Maklum, Sunaryo mengajar dengan status GTT (Guru Tidak Tetap) yang secara ekonomi gajinya tak setinggi gaji profesi lainnya. "Pak Aryo (sapaan akrabnya di sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya), kok ya sampeyan ki kuat dadi GTT ? Tanya seorang tetangganya, bernama Pak Agung. "Lha pripun malih pak Agung, jenenge nggih pengabdian", jawab Pak Aryo dengan nada datar agak kesal.Â
"Oh iya ya pantes.. wong GTT...Guru Tetap Tabah ha..ha..", celoteh Pak Agung seraya meledek. "Maksude, Pak Agung?", tanya Pak Aryo memaksa. "Dipikir mawon pak Aryo, jenengan ngajar serius mangkat esuk bali sore kesel karo kesel, tapi penghargaan teng panjengan gak enek blas sekedar kelayakan upah yo gak ono. Sedangkan, pabrik fikur koyo artis, penyanyi, pelawak mung tampil celelekan gak menehi teladan apik digaji luar biasa layak". "Oh ngoten, jawab Pak Aryo seolah bersepakat dengan argumen Pak Agung.
Obrolan dengan Pak Agung, membuat Sunaryo semakin bimbang. Memikirkan perkataan Pak Agung membuat Sunaryo si Oemar Bakri muda berburuk sangka pada realitas masa kini. Ia berpikir bahwa dunia tidak berpihak pada pendidikan dan dirinya. Logikanya mulai bermain untung dan rugi. Sunaryo mulai khawatir dengan urusan masa depan ekonominya. "Rasane ora adil, bener omongane pak Agung kae pabrik figur, artis, lawak sing kadang ngrusak moral digaji serius. Lha aku  sing kerja serius didik anak, minterke anak digaji guyon", ("Rasanya tidak adil, benar kata Pak Agung, mereka pabrik figur, artis, pelawak yang merusak moral digaji serius. Sedangkan saya bekerja serius mendidik anak, membuat anak pintar digaji lelucon"), gumam Sunaryo sambil memikirkan keadaannya kini. Ia bingung dengan kondisinya sekarang, semangat dan idealismenya dulu kian runtuh dengan egoisme dan mindside negatifnya.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar!" , adzan Isya' berkumandang. Sunaryo berpikir untuk shalat di masjid. Ia berpikir mungkin dengan shalat di masjid hatinya akan tenang dan Allah memberikan pencerahan terhadap kondisinya kini. Sunaryo memutuskan untuk mencari masjid dengan suasana berbeda, kemudian ia pergi ke Masjid Al-Ikhlas di kampung Dipotrunan tak jauh dari tempatnya tinggal yang mana masjid tersebut adalah masjid baru yang telah diresmikan beberapa waktu lalu. Iqomah pun dikumandangkan namun imam belum datang, Sanaryo pun didorong muadzin untuk menjadi imam. Dengan kegundahan di dalam hatinya Sunaryo akhirnya menjadi imam shalat Isya' pada waktu itu menggantikan imam tetap yang tak datang.
Ba'diyah shalat Isya' seorang bapak menghampiri Sunaryo memintanya mengajari ngaji. Karena menurut bapak tersebut ngajinya Sunaryo bagus ketika mengimami tadi. Akhirnya, Sunaryo dan bapak tersebut mulai berusaha saling mengenal sebagai ikhwal baik bahwa Sunaryo setuju mengajarinya ngaji. Bapak tersebut mengenalkan namannya sebagai Sutono. "Nak, perkenalkan saya Sutono biasa dipanggil Pak Tono," seraya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. "Saya Sunaryo panggil saja Aryo, membalas jabat tangan Pak Tono.
"Nak Aryo saya itu cuma sekolah tamat SD dan saya ini sudah 56 tahun, tapi saya pengin bisa baca Al Quran dengan baik dan benar. Jadi, minta tolong saya diajari. Saya sudah belajar pakai metode Tsaqifa sampai halaman 28." kata pak Tono dengan suara iba. "Baiklah bapak kita langsung saja mulai. Saya beri contoh cara membacanya nanti bapak tirukan", pungkas Sunaryo. Pelan-pelan Sunaryo mengajari pak Tono mengucapkan huruf-huruf hijaiyah sembari mengoreksi kesalahan makhorijul huruf yang diucapakan oleh pak Tono. Tiga puluh menit berselang, Sunaryo mulai melihat raut wajah lelah pak Tono. "Pak, sebaiknya belajar ngajinya kita sudahi dulu bapak terlihat lelah", pinta Sunaryo. Pak Tono pun  mengikuti saran Sunaryo untuk berhenti.
"Wah, ternyata sulit sekali nak Aryo," keluh Pak Tono. "Sabar pak, pelan-pelan Insya Allah diberi kemudahan", ucap Sunaryo sembari menghibur. "Insya Allah nak, walaupun bapak ini cuma lulusan SD dan sudah tua begini nak, tapi bapak pengin bisa baca Al Quran supaya bisa mendidik anak-anak lebih baik.", ungkap pak Tono. Dari sinilah pak Tono mulai menceritakan dirinya dan proses kehidupannya kepada Sunaryo. Hal ini membuat Sunaryo heran, karena dirinya tidak meminta pak Tono menceritakan dirinya. Sebagai bentuk rasa hormat, Sunaryo pun mendengarkan cerita pak Tono.