Tantangan dan Peluang Implementasi Sistem Informasi di Rumah Sakit
Implementasi sistem informasi di rumah sakit telah menjadi salah satu topik hangat dalam dunia manajemen kesehatan modern. Artikel yang ditulis oleh Liette Lapointe dan Suzanne Rivard pada tahun 2007, berjudul A Triple Take on Information System Implementation, membahas bagaimana implementasi sistem informasi (IS) di rumah sakit dapat mempengaruhi berbagai tingkatan organisasi, mulai dari individu, kelompok, hingga tingkat organisasi secara keseluruhan. Penelitian ini sangat relevan mengingat pada tahun yang sama, hanya 25% dari implementasi IS di rumah sakit yang berjalan sukses, sementara sisanya menemui tantangan besar baik dari segi adopsi oleh pengguna maupun resistensi kelompok kerja (Lapointe & Rivard, 2007).
Dengan menggunakan tiga model analisis yang berbeda yaitu kognitif, politik, dan organisasi. Penelitian ini mampu menunjukkan bahwa faktor manusia dan politik memainkan peran yang sangat krusial dalam keberhasilan atau kegagalan sistem informasi. Misalnya, dalam salah satu studi kasus di sebuah rumah sakit komunitas, penolakan penggunaan sistem oleh para dokter mencapai 75%, memaksa pihak manajemen untuk menarik kembali sistem yang sudah diimplementasikan.
Keberhasilan implementasi sistem informasi di rumah sakit tidak hanya bergantung pada aspek teknis tetapi juga pada dinamika kekuasaan dan struktur organisasi. Rumah sakit dengan struktur desentralisasi, seperti yang sering ditemukan pada institusi kesehatan profesional, mengalami tantangan signifikan dalam mengintegrasikan sistem baru ke dalam rutinitas sehari-hari. Tantangan ini, menurut penelitian Lapointe dan Rivard, membutuhkan pendekatan yang lebih strategis, terutama dalam hal melibatkan para pemangku kepentingan utama, seperti dokter dan perawat, dalam proses implementasi.
Penelitian oleh Lapointe dan Rivard (2007) mengungkapkan bahwa implementasi sistem informasi di rumah sakit seringkali mengalami berbagai kendala yang berasal dari perbedaan kekuasaan dan kepentingan antar kelompok. Salah satu studi kasus yang menarik adalah di sebuah rumah sakit komunitas di mana sistem informasi klinis (CIS) gagal diadopsi secara efektif. Dari 12 dokter yang disurvei, sebanyak 75% menolak menggunakan sistem tersebut, meskipun perawat dan administrator rumah sakit memberikan dukungan penuh. Penolakan ini menunjukkan bahwa implementasi teknologi baru sering dianggap sebagai ancaman terhadap status quo oleh kelompok tertentu, terutama ketika sistem tersebut mengubah distribusi kekuasaan dan tanggung jawab.
Dokter, sebagai pemangku kepentingan utama di rumah sakit, sering kali memiliki otonomi yang tinggi dalam praktik medis mereka. Dalam kasus ini, sistem informasi yang mewajibkan dokter untuk secara langsung memasukkan resep dan instruksi medis dipandang oleh banyak dokter sebagai "birokrasi digital" yang memperlambat kerja mereka. Mereka merasa peran administratif yang sebelumnya dilakukan oleh perawat kini dialihkan kepada mereka, menciptakan beban tambahan. Sebaliknya, perawat justru menyambut sistem ini karena mengurangi pekerjaan manual dan meningkatkan efisiensi mereka dalam merencanakan perawatan pasien. Dari perspektif ini, jelas bahwa resistensi terhadap implementasi sistem informasi tidak hanya soal kegunaan teknologi, tetapi juga soal perubahan kekuasaan dan tanggung jawab dalam organisasi.
Lebih jauh, di tingkat kelompok, teori interaksi politik yang digunakan oleh Lapointe dan Rivard menjelaskan bahwa ketika satu kelompok merasa kekuasaannya terganggu oleh sistem baru, mereka cenderung menunjukkan resistensi. Ini jelas terlihat pada studi kasus di mana dokter-dokter senior menggunakan pengaruh mereka untuk menekan manajemen agar membatalkan implementasi sistem tersebut. Dalam satu kasus ekstrem, kelompok dokter mengancam akan mengundurkan diri massal jika sistem tidak dihapuskan. Pada akhirnya, rumah sakit tersebut terpaksa menghentikan sistem informasi, membatalkan investasi besar yang telah dilakukan.
Namun, penelitian ini juga menunjukkan sisi positif dari implementasi CIS di rumah sakit universitas, di mana keterlibatan para pemimpin kelompok seperti kepala departemen medis terbukti efektif dalam mengatasi resistensi. Dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, manajemen mampu membangun rasa kepemilikan dan dukungan terhadap sistem baru. Hal ini tercermin dari tingkat adopsi yang lebih tinggi di rumah sakit ini, di mana 75% dari fungsi sistem berjalan lancar dan digunakan oleh hampir semua staf.
Data ini menunjukkan bahwa kunci sukses implementasi sistem informasi di rumah sakit terletak pada pengelolaan perubahan organisasi, terutama bagaimana kekuasaan didistribusikan dan bagaimana pemangku kepentingan utama dilibatkan dalam setiap tahap implementasi.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Lapointe dan Rivard (2007), jelas bahwa kesuksesan implementasi sistem informasi di rumah sakit tidak hanya tergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada bagaimana organisasi mengelola dinamika kekuasaan dan partisipasi pemangku kepentingan. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah resistensi dari kelompok yang merasa perannya terancam oleh sistem baru, terutama dokter yang memiliki otonomi tinggi. Angka kegagalan 75% pada kasus di rumah sakit komunitas menegaskan bahwa teknologi yang tidak diadopsi dengan dukungan penuh dari seluruh tingkat organisasi hampir pasti akan gagal.
Sebaliknya, di rumah sakit universitas yang melibatkan pemimpin kelompok sejak awal, tingkat adopsi mencapai 75%, menunjukkan pentingnya pendekatan kolaboratif. Oleh karena itu, rumah sakit yang ingin mengimplementasikan sistem informasi perlu fokus pada manajemen perubahan yang efektif dan memastikan bahwa setiap kelompok merasa memiliki peran dan keuntungan dari sistem tersebut.