Mohon tunggu...
Humaira Shifwah Kaamilah
Humaira Shifwah Kaamilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gen Z dan LGBT : Sikap Insklusif Untuk Masa Depan Indonesia

2 Januari 2025   14:07 Diperbarui: 2 Januari 2025   14:07 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Generasi Z, yang juag dikenal sebagai Generasi Internet, mencakup individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Mereka adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam era digital, dengan akses luas ke internet, media sosial, dan teknologi canggih sejak usia dini. Kehadiran teknologi tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan mereka, tetapi juga membentuk cara mereka berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi dengan dunia.  

Sebagai generasi yang hidup di tengah perubahan sosial dan budaya yang pesat, Generasi Z memainkan peran penting dalam mendorong tren baru. Mereka dikenal sebagai kelompok yang inklusif, toleran terhadap keberagaman, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Pandangan mereka tentang isu-isu seperti Hak Asasi manusia, perubahan iklim, dan dalam menyikapi komunitas pelangi (LGBT) sering kali lebih progresif dibandingkan generasi sebelumnya. 

Menurut survey negara pertama yang melegalkan LGBT dan pernikahan sesama jenis adalah Belanda pada tahun 2001. Kemudian disusul oleh Belgia pada tahun 2003 yang telah mengesahkan UU mengenai pernikahan sesama jenis pada saat itu, dan pada saat itulah negara-negara lain ikut turut melegalkan LGBT dan pernikahan sesama jenis, sehingga penyimpangan ini terus bertambah setiap tahunnya. 

Bahkan, negeri yang biasa disebut dengan Paman Sam atau yang biasa kita kenal Amerika Serikat (AS) pada 26 Juni  2015 lalu mengeasahkan bahwa negaranya resmi melegalkan LGBT dan perenikahan sesama jenis.

Tetapi disisi lain banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa LGBT adalah kaum berdosa dan menyimpang, bahkan ada beberapa negara yang melarang adanya LGBT ini, diantaranya ada negara rusia yang baru-baru ini mengesahkan UU anti-LGBT dimana warga yang melanggarnya nanti bisa di denda sebesar 103 juta rupiah untuk individu  dan 1,2 miliar rupiah untuk badan hukum. 

LGBT ini tergolong sebagai masalah kejiwaan seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita F Moeloek saat berkunjung ke Kota Padang, Sumatera Barat pada Februari 2016 lalu. "Dari sisi kesehatan, LGBT itu masalah kejiwaan. beda dengan gangguan kejiwaan, kalau gangguan mereka yang tergabung  di dalamnya tidak bisa berinteraksi".

LGBT di Indonesia sendiri tidak dapat diterima di masyarakat dikarenakan memang menurut  nilai-nilai agama, budaya, UU di negara Indonesia sangat bertentangan dengan LGBT apalagi negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan, yang dimana LGBT dan pernikahan sesama jenis dialarang di semua agama yang ada di indonesia. karena pada dasarnya LGBT dan pernikahan sesama jenis tergolong dosa besar, sebab manusia diciptakan oleh tuhan sudah berpasang-pasangan dimana laki-laki dengan perempuan dan perempuan perempuan dengan laki-laki, sidah seharudnya kita sebagai manusia yang diciptakan tuhan bisa mengikuti aturan tersebut dan tidak bertindak melawan kodrat. 

Generasi Z adalah generasi yang dapat membawa perubahan, adanya kita sebagai generasi yang  lebih progresif kita dapat menggunakan akal dan kecerdasan kita untuk mengingatkan masyarakat dan memberi edukasi terkait hal tersebut. Ada beberapa faktor  seseorang sehinngga mereka mengambil jalan sebagai seorang LGBT. Biasanya yang sering terjadi dari faktor keluarga yang menyebabkan seseorang memiliki masalah kejiwaan dan kurang kasih sayang, faktor didikan orang tua  dan lingkungan juga sangat  berpengaruh besar. Maka dari itu mereka lebih memilih untuk mencari kebahagiaan dari hal-hal yangmenurut mereka dapat menjadi tempat pulang.

Sebagai Generasi Z yang tumbuh dalam era keterbukaan dan akses informasi, kita seharusnya tidak menyudutkan atau membatasi hak asasi komunitas LGBT. Sebaliknya, kita perlu menciptakan ruang yang inklusif dan aman agar mereka dapat mengekspresikan diri tanpa rasa takut atau diskriminasi. Karena kita tahu bahwa LGBT adalah penyakit yang dapat disembuhkan dengan cara tidak  menyudutkan  dan memberikan ruang berekspresi untuk kaum tersebut, sehingga nantinya ia nyaman dan keluar dari lingkaran LGBT yang ia masuki, sehingga kaum-kaum tersebut dapat kembali ke dalam perilaku yang normal dan tidak menyimpang serta tidak melanggar aturan batasan yang sudaa ditetapkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun