Jika anda memutuskan untuk tenggalam bersama novel Laut Bercerita, bijaknya anda menyiapkan 1-2 hari paling patah hati. Tergantung banyaknya hari yang anda lewati untuk menyelesaikan novel ini. Â Yang besar kemungkinan akan tandas hanya dalam sehari.
Novel ini membuat history googling terbaru saya  berkutat seputar Orba, Soeharto, dan kasus penculikan aktivis tahun 97-98. Kisah yang cuma pernah saya dengar lewat obrolan orang tua, paman dan bibi kala mereka  berkumpul dan topik pembicaraan mulai melipir pada jaman pak Harto. Soal petrus, tetangga kampung sebrang yang tengah malam hilang, anak saudara jauh yang katanya dimasukan ke dalam karung lalu dibawa entah kemana. Begitu kiranya obrolan yang saya dengar sewaktu SD.
Ternyata informasi modal eardropping sekilas jalan itu tidak hanya kabar burung dan nyata faktanya. Lewat novel ini kisah para aktivis kembali dihidupkan. Lewat Winatra dan Wirasena. Winatra artinya yang merata dan Wirasena berarti sang pemberani. Perjuangan para mahasiswa untuk mendampingi dan memihak rakyat miskin karena tertindas diktator harus dibayar mahal dengan terintimidasinya keluarga dekat mereka, kekasih dan nyawa mereka sendiri jadi korban praktik desaparasidos (penghilangan orang secara paksa).
Tokoh utama di novel ini adalah Biru Laut. Yang ternyata laki-laki, ssya cukup kaget saat tau kalau Laut ternyata laki-laki. Karena bab ke-1 novel ini menggunakan sudut pandang Laut langsung, Â di awal terasa bahasa Laut sangat halus, kemudian saat dia bertemu Ratih Anjani dan terpana terkena percikan asmara, saya masih merasa pesona Anjani bisa membuat wanita pun jatuh hati. Ternyata saya salah kaprah.
Terlepas dari hal itu, novel ini masuk ke salah satu list buku yang wajib dibaca sebelum mati, apalagi untuk orang Indonesia. Sejarah kelam itu masih di sana, 13 aktivis yang hilang dan tak pernah kembali masih tetap hidup kisahnya. Mereka bukan sekelompok mahasiswa yang hanya modal pamer orasi tapi mereka bergerak dari nasib rakyat yang cuma punya 2 pilihan waktu itu : miskin atau mati. Mereka tak punya senapan, tidak juga punya ratusan rupiah, tapi mereka berkobar dengan semangat dari sajak seonggok jagung. Mereka bukan PKI, hanya sekelompok mahasiswa kritis yang rindu demokrasi tanpa dikebiri.
Ini tentang cerita Laut dan kawan-kawannya dari dasar laut nun gelap dan hening di sana, mencoba bercerita soal negeri yang mereka damba.
Tokoh-tokoh di novel ini menakjubkan. Dan saya dibuat sangat penasaran pada nasib salah satu tokohnya : Kasih Kinanti. Kalau para mahasiswa yang pria seperti Laut, Alex, Daniel, Naratama, Gala dan yang lain disiksa dengan ditendang, dijnjak, disetrum, direndam ke dalam air es selama berjam-jam, tak bisa dibayangkan kepedihan apa yang  diterima sosok Kasih Kinanti sebelum ia hilang ditelan kematian.
Terima kasih banyak untuk Winatra dan Wirasena, kisah kalian mengajarkan saya to see the bigger picture about this country.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H