[caption id="attachment_145092" align="aligncenter" width="620" caption="Jembatan Mahakam yang melintasi Sungai Mahakam dan membentang antara Kota Tenggarong dan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, Sabtu (26/11/2011) sore runtuh. Sedikitnya empat orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut. (TRIBUN KALTIM/DWI ARDIANTO)"][/caption]
“Rupanya Saya Tak Cukup Mengenangnya Sebagai Orang Baik”
Akhirnya, ia korban hilang yang ditemukan pertama kali di Sungai Mahakam.Ia yang hendak menyelamatkan Cinta, namun pergi untuk selamanya dalam dekapan Sang Maha Cinta . Dia hendak menyelamatkan Cinta (5), puteri semata wayangnya. Namun ia harus pergi selamanya dalam dekapan Sang Maha Cinta yang Sejati. Sungguh telah ia temukan Cinta sejati meski ia gagal menyelamatkan Cintanya.
Saya mengenalnya sebagai orang baik. Itu saja. Tak perlu merinci bagaimana baiknya ia menjalani hidup. Andai tak ada musibah yang memilukan ini, mungkin saya hanya akan mengenangnya sebagai mantan pimpinan yangmampu menjadi teman baik bagi saya. Dengannya, saya bisa bercanda soal apa saja tanpa menyisakan sedikit jarak.
Kabar itu saya terima lewat fesbuk. Pria ini menjadi salah satu korban ambruknya jembatan Kutai Kartanegara. “Mohon doa, Bang Kondoi terkena musibah. Istrinya selamat. Ia dan anaknya belum ditemukan sampai kini”. Seorang teman mengirimkan info ini ke fesbuk saya. Kabar yang sungguh mengejutkan.
Nama lengkapnya Muh. Iskandar. Kami semua akrab memanggilnya dengan sebutan Bang Kondoi. Dari puluhan orang yang dinyatakan hilang setelah kejadian, ia korban yang pertama kali ditemukan. Sekitar pukul 21.30 Wita malam tadi, jenazahnya ditemukan cukup jauh dari jembatan yang runtuh. Hanyut terbawa arus Mahakam yang terkenal deras.
Saya bergegas ke ruang jenazah RSUD Parikesit begitu mendengar kabar penemuan jenazahnya. Sayang, Cinta, puteri satu-satunya yang baru berusia 5 tahun itu belum juga ditemukan hingga tadi malam dan masih dinyatakan hilang.
Saya tahu almarhum orang baik. Bahkan teramat baik. Namun, rupanya saya tak cukup hanya dengan mengenalnya kemudian mengenangnya sebagai orang baik. Di pintu ruang jenazah itu saya hanya duduk dan malas berbicara banyak. Saya hanya membatin, “Orang yang heroik, pemberani, dan begitu mencintai”.
Saat jembatan ambruk, almarhum, beserta istrinya Ema, dan buah hatinya Cinta, sedang berada di tengah jembatan Sungai Mahakam. Antrean kendaraan begitu padat karena diberlakukan satu jalur akibat perbaikan jembatan. Mereka baru pulang menghabiskan weekend di Kota Samarinda menggunakan motor.
Tiba-tiba jembatan ambruk dalam hitungan detik. Semua yang berada di atasnya berjatuhan ke sungai. Dengan heroiknya, Bang Kondoi menyelamatkan sang istri hingga ke tepi sungai. Hingga kini sang istri selamat dan dirawat di RSUD Parikesit Tenggarong. Meski sampai kini perempuan itu masih begitu berat menerima kenyataan pahit. Begitu istrinya selamat, tanpa pikir panjang ia kembali ke tengah sungai mencari Cinta, hendak menyelamatkan buah hatinya yang baru berumur 5 tahun itu,
Sayang, aksi heroik yang kedua kali itu gagal. Pria ini tak lagi muncul ke permukaan. Ia menjadi satu dari puluhan orang yang dinyatakan hilang bersama Cinta, puteri kesayangannya. Saya tahu persis bagaimana ia begitu menyayangi Cinta. Ia memang tipikal pria yang begitu mencintai keluarga. Saya nyaris tidak menemukan satu kesempatan di mana pria ini berjalan-jalan tanpa membawa Cinta, puterinya itu. “Cinta....Cinta..! Ia memilih nama itu untuk puterinya karena ia memang sungguh lelaki yang teramat mencinta.
Saya tak akan pernah bisa lupa bagaimana cara Bang Kondoi menyapa saya. “Mau kemana, Daeng?” “Beres, Daeng!” Yah, ia satu-satunya orang di kantor di tempat saya pernah bekerja dulu, memanggil dengan sebutan Daeng, sebutan khas dari daerah asal leluhur saya, Sulawesi Selatan. Ia tak pernah memanggil nama saya. Karena itulah, saya merasa begitu akrab dengan almarhum semasa hidup.
Musibah runtuhnya jembatan membuat saya kembali memungut satu persatu kenangan tentang pria yang satu ini. Pria yang tak hanya baik. Tapi heroik, pemberani serta begitu mencintai. Sampai detik ini, saya tak berani membayangkan, bagaimana jika saya adalah dirinya ketika jembatan itu runtuh. Apa saya akan seheroik dia, seberani dia? Sumpah. Saya pernah melihat bagaimana caranya ia menciumi kepala Cinta, puterinya itu. Dan sungguh saya cemburu kepadanya. Betapa ia begitu mampu menerjemahkan rasa syukur atas anugerah Tuhan lewat kasih sayang dan cintanya kepada anak.
Satu hal lagi, kemana-mana ia tak pernah melepaskan kopiah. Ia begitu bergairah mengurusi Majelis Taklim Makrifatullah wa Makrifaturrasul yang bermarkas di Sambutan, Samarinda. Sebuah majelis yang sependek pengetahuan saya, sarat dengan ajaran-ajaran tariqat dan sufisme. Almarhum adalah pengurus cabang di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Saya lalu tersenyum ketika seorang kawan yang ikut menunggui jenazah almarhum bilang, “Katanya kopiah beliau tetap lengket saat ditemukan.” Saya tak butuh percaya atau tidak. Cukup bagi saya untuk mengenang, ia orang baik, heroik, pemberani, dan begitu mencintai. Ia memang gagal menemukan Cinta dan menariknya dari kedalaman sungai Mahakam. Tapi saya yakin ia telah bertemu Cinta dalam dekapan Sang Maha Cinta. “Selamat jalan, Daeng. Engkau sebenarnya seorang kakak. Engkau teladan bagaimana harusnya seorang Ayah dan suami yang sebenarnya. Beristrahatlah dalam damai. Semoga Allah swt melapangkan rumahmu di alam sana.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H