Mohon tunggu...
Huldi Amal
Huldi Amal Mohon Tunggu... -

kerap menulis tapi tak terlalu rutin. kadang puisi dan sesekali menulis hal yang tak penting.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gemuruh Jembatan KUKAR Runtuh Terdengar Hingga ke Kontrakan Kami

26 November 2011   17:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_151930" align="aligncenter" width="620" caption="Jembatan KUKAR Runtuh (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption] Suara gemuruh dan teriakan tetangga di luar rumah membuyarkan perhatian saya. Sore itu, saya sepenuhnya hanya ingin berkutat di depan TV menonton final Inter Island Cup. Persipura vs Persisam Samarinda. "Jembatan Kukar runtuh!" Teriakan itu begitu jelas di telinga. Saya berlari keluar dan setengah tidak percaya. Apalagi ketika melihat dua pilar penyangga tali bentang jembatan masih berdiri perkasa, dari tempat saya berdiri. "Bagaimana mungkin?" batin saya. Sesaat sebelumnya, kami berpikir ada pesawat jatuh. Saya bergegas naik ke atas motor. Berboncengan dengan seorang tetangga. Sekitar lima menitan, kami tiba di lokasi. Segera saya mendapati pemandangan mengerikan dan menyedihkan. Seorang pria, kakinya berlumur darah, sepertinya patah kaki, masih mengenakan helm, dibopong beberapa orang. "Mobil...mobil, sini. Tolong....tolong!" Para pembopong berteriak agar pengendara mobil berhenti dan membawa pria malang itu ke rumah sakit. Saya juga melihat beberapa orang dikeluarkan dari kaca jendela mobil. Sebelum akhirnya mobil itu tenggelam di sungai Mahakam. Saya mencoba mendekat sebelum akhirnya ikut berlarian menjauh ketika satu pilar jembatan bergoyang ditiup angin. Kuatir pilar itu roboh dan tali bentang atas putus lalu menimpa orang-orang di bawahnya. Saya terus bertanya-tanya, mengapa jembatan ini bisa runtuh nyaris tak bersisa hanya dalam sekejap mata? Apa yang salah dengan jembatan ini. Kenapa ambruknya sebegini rupa. Bagian tengah jembatan sama sekali tak terlihat. Semakin ngeri ketika saya dengar orang-orang bilang, banyak kendaraan berada di tengah jembatan saat ambruk. Saya tak paham soal hitung-hitungan kostruksi. Tapi dari segi usia, jembatan ini memang masih muda. Jembatan di Samarinda lebih awal dibangun. Saya ingat ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kota Tenggarong pertengahan tahun 2005, gemerlap lampu-lampunya membuat saya berdecak kagum. Kebetulan saya tiba malam hari. Lampu-lampu ini kemudian mulai dipadamkan sebagian ketika terbit Instruksi Presiden tentang hemat energi. Cukup lama saya berdiri di tepi sungai menatap bagian tengah jembatan yang hilang. Bila banyak korban yang jatuh di situ, tenggelam, kemana tim SAR yang seharusnya menolong mereka? Yang ada Cuma sejumlah warga menggunakan perahu tradisional mencoba menyisir lokasi dengan peralatan seadanya. Tapi, mereka tak punya kemampuan untuk menyelamatkan korban yang tenggelam. Jadinya, mereka lalu lalang saja. Siapa tahu ada korban yang bisa ditolong. "Jembatan ini sedang diperbaiki. Jalur yang dipakai tadinya cuma satu arah. Makanya, kendaraan antre. Para pekerjanya juga pasti jatuh ke sungai. Saya tahu karena saya baru melintas. Ada sekitar 20 puluhan orang pekerja," tukas tetangga yang memboncengi saya tadi. Tetangga saya ini patut bersyukur. Ia nyaris jadi korban. Begitu tiba di rumah, baru saja ia turun dari mobil, melepas sepatu dan hendak masuk rumah, suara gemuruh terdengar. Ia berteriak begitu tahu gemuruh itu bersumber dari jembatan runtuh. "Saat melintas, saya rasakan jembatan ini bergoyang," tuturnya lagi. Saya hanya menahan nafas membayangkan sejumlah orang bersama kendaraan dan para pekerja jembatan itu jatuh tepat di tengah jembatan. Berapa persis kedalaman sungai, saya tak pernah tahu. Yang saya tahu di situ kapal-kapal ponton bermuatan batu bara ribuan, mungkin puluhan ribu metrik ton melintas tanpa pernah bermasalah dengan kedalaman sungai. Mungkin terlalu dini untuk mencari kesalahan atau menyalahkan siapa pun. Tapi, ini perkara yang melibatkan keselamatan banyak nyawa. Jembatan ini fasilitas publik dan satu-satunya yang bisa mendekatkan jarak Kota Tenggarong dan Kota Samarinda. Wajar rasanya jika kita tak hanya sekadar menyalahkan takdir. Saya terusik ketika seseorang berpakaian dinas pegawai negeri sipil, dari warna pakaian dinasnya saya tahu pasti dia pegawai Dinas Perhubungan, berbicara lewat telepon. Sepertinya dia menepon temannya. "Jembatan sudah putus, tuh!" Dia berdiri tepat di samping saya. Tanpa basa-basi, ia bicara soal perbaikan jembatan yang sedang dilakukan. "Jembatan ini memang rusak," tukasnya, santai. Saya penasaran dan coba mengorek lebih jauh. "Sebenarnya, jembatan ini sudah akan kami tutup total dalam minggu ini," jawab pria itu. "Kenapa tidak ditutup, Pak," tanya saya lagi. Dia menjawab, "banyak masyarakat yang belum mau," bebernya. Ya ampun! Jika jembatan ini seharusnya sudah ditutup, kenapa tidak ditutup saja. Apa harus menunggu jatuh korban? Ini soal keselamatan nyawa manusia. Bukan perkara kecil. Saya pulang sembari terus memantau berita lewat TV. Tiga menteri ditugaskan Presiden SBY untuk datang langsung ke Kukar. Ini sedikit menghibur saya. Karena sejak tadi, benak ini dibebani sesuatu; nyawa manusia sepertinya terlalu murah di negeri ini. Mungkin, mengalami masalah mesin perahu yang mati di tengah sungai Mahakam sudah biasa bagi penduduk di sini. Tapi, jembatan rusak dan sudah mengancam nyawa banyak orang, sungguh perkara luar biasa besarnya. Jika pemerintah daerah sangat punya kemampuan untuk membebaskan warganya dari hal 'luar biasa' ini, seharusnya tidak jatuh banyak korban. Ingatan saya melayang pada seorang peneliti Sosiologi kekerasan, Prof. Johan Galtung. Kalau tidak salah, ia juga membangun asumsi bahwa Negara (baca: pemerintah) tidak hanya bisa melakukan kekerasan terhadap warganya melalui mekanisme represif (aparat militer, polisi, dll). Represive State Aparatus (RSA), meminjam bahasa seorang pemikir Marxis, Louis Althusser. Thesis Galtung, ketika pemerintah mampu mencegah resiko yang mengancam nyawa warganya, tapi tidak melakukannya, maka itu adalah sebuah bentuk kekerasan. Semoga, tiga menteri datang tak sekadar anjangsana. Harus ada tindaklanjut yang jelas. Apa benar, telah terjadi praktik kekerasan seperti yang disitir Galtung. Jika benar, harus ada yang bertanggung jawab agar nyawa manusia tak terkorban sia-sia. Mulai malam ini, saya mulai akan membiasakan diri tanpa kerlap-kerlip dan binar lelampu jembatan Golden Gate Teggarong yang biasa terlihat dari depan rumah kontrakan. Jembatan kebanggaan itu kini tampak muram, dipaksa bersahabat dengan kegelapan malam yang selalu dikalahkan oleh kemegahannya. Jarak tempuh Tenggarong-Samarinda kini semakin memanjang tanpa kehadirannya. Yang membuat saya paling trenyuh, tak ada yang tahu persis berapa jumlah korban sebenarnya. Sebab, saat kejadian, lalu lintas dalam keadaan padat. Pencarian harus dilakukan tanpa informasi siapa dan berapa korban yang harus dicari. Karena itu, saya masih sangsi soal jumlah korban tewas 4 orang yang diberitakan semua stasiun TV. Duh......! Mohon doa semoga musibah tak selalu mampir di negeri ini di sudut mana saja. Utamanya musibah yang tak perlu terjadi hanya karena 'salah urus' dan ketidakbecusan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun