Mohon tunggu...
Hukman Reni
Hukman Reni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Anak Rantau

Anak Rantau

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aspek Hukum Penyerobotan Tanah

12 Oktober 2024   19:23 Diperbarui: 12 Oktober 2024   19:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Dr. Nicholay Aprilindo, SH., MH., MM. 

1. Pendahuluan:

Tanah merupakan salah satu faktor penentu dalam perekonomian. Menyadari arti pentingnya tanah bagi kehidupan, maka para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (founding fathers) merumuskan tanah di dalam konstitusi, sebagaimana diatur pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini memberikan hak kepada negara untuk mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi tanah. Hak menguasai negara atas tanah ini juga memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tanah untuk kepentingan umum.

Selain diatur dalam konstitusi, tanah juga diatur dalam UUPA -- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. UUPA adalah dasar hukum yang mengatur hak atas tanah di Indonesia. UUPA memberikan perlindungan terhadap hak-hak pemilik tanah, baik tanah pribadi maupun tanah adat. Di dalamnya, hak milik atas tanah harus diakui dan dilindungi oleh negara, dan setiap tindakan yang melawan hak tersebut dapat digugat di pengadilan.

Di samping itu, masih terdapat peraturan pelaksana lainnya yang mengatur mengenai tanah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini mengatur tentang proses pendaftaran tanah di Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait kepemilikan tanah.

Meski terdapat berbagai aturan seperti disebutkan di atas, dalam praktiknya, persoalan terkait tanah masih sering menjadi persoalan. Salah satu isu yang paling menonjol adalah masalah penyerobotan tanah. Persoalan ini melibatkan pelanggaran terhadap hak-hak seseorang atas tanah atau lahan, baik secara sah menurut hukum maupun berdasarkan penguasaan adat atau tradisional.

Penyerobotan tanah, selain menjadi permasalahan sosial, juga merupakan pelanggaran hukum yang dapat ditinjau dari dua perspektif utama dalam sistem hukum Indonesia: hukum pidana dan hukum perdata.

Dalam hukum pidana, penyerobotan tanah termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara atau denda. Di sisi lain, dalam hukum perdata, penyerobotan tanah dapat dipandang sebagai sengketa kepemilikan atau penguasaan atas tanah, yang penyelesaiannya lebih diarahkan pada pemulihan hak pemilik yang sah.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana penyerobotan tanah ditangani dari perspektif hukum pidana dan perdata di Indonesia. Kajian ini akan menguraikan konsep-konsep hukum yang relevan, dasar hukum yang digunakan, serta contoh kasus yang berkaitan dengan penyerobotan tanah.

2. Penyebab Penyerobotan Tanah:

Secara umum, penyerobotan tanah adalah tindakan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyerobotan tanah di Indonesia, antara lain:

  • Ketidakjelasan Status Hukum Tanah. Banyak tanah di Indonesia yang tidak memiliki sertifikat atau dokumen kepemilikan yang sah, sehingga menimbulkan kerancuan dalam hal hak atas tanah. Ketidakpastian ini sering kali dimanfaatkan oleh pihak yang ingin menguasai tanah secara illegal;
  • Konflik Agraria. Indonesia sering kali mengalami konflik agraria antara masyarakat adat, petani, dan pihak korporasi atau pengembang. Penyerobotan tanah sering kali terjadi dalam situasi di mana pihak yang lebih kuat, baik dari segi ekonomi maupun politik, memaksakan kehendaknya atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat lokal atau adat;
  • Tumpang Tindih Regulasi. Sistem hukum pertanahan di Indonesia sering kali ditandai dengan tumpang tindih regulasi antara undang-undang agraria, kehutanan, perkebunan, hingga tata ruang. Hal ini menciptakan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mengklaim tanah secara illegal;
  • Lemahnya Penegakan Hukum. Meski Indonesia memiliki kerangka hukum yang relatif lengkap terkait dengan tanah dan agraria, penegakan hukum dalam kasus penyerobotan tanah sering kali dianggap lemah. Proses penyelesaian kasus agraria yang berlarut-larut, kurangnya pengawasan, dan dugaan adanya praktik korupsi dalam proses penegakan hukum menjadi faktor yang memperparah masalah ini;
  • Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang pesat sering kali mendorong terjadinya konflik pertanahan, terutama di wilayah pedesaan atau pinggiran kota. Tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat adat atau petani kecil sering kali menjadi incaran pengembang untuk proyek infrastruktur atau properti;
  • Spekulasi Tanah. Spekulasi harga tanah juga menjadi salah satu penyebab penyerobotan. Pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari kenaikan harga tanah sering kali melakukan penyerobotan tanah dengan harapan dapat menjual kembali tanah tersebut dengan harga yang jauh lebih tinggi.

3. Kerangka Hukum yang Mengatur Penyerobotan Tanah:

Penyerobotan tanah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kerangka hukum ini meliputi:

  • UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA adalah dasar hukum yang mengatur hak atas tanah di Indonesia. UUPA memberikan perlindungan terhadap hak-hak pemilik tanah, baik tanah pribadi maupun tanah adat. Di dalamnya, hak milik atas tanah harus diakui dan dilindungi oleh negara, dan setiap tindakan yang melawan hak tersebut dapat digugat di pengadilan;
  • KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). KUHP mengatur penyerobotan tanah sebagai tindak pidana, terutama di bawah Pasal 385 jo Pasal 167 KUHP. Ini memberikan dasar bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pelaku secara pidana;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini mengatur tentang proses pendaftaran tanah di Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait kepemilikan tanah. Meski demikian, dalam praktiknya, banyak tanah yang belum terdaftar sehingga menjadi salah satu penyebab munculnya konflik penyerobotan;
  • Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997. Peraturan ini lebih lanjut menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa tanah dan prosedur pengaduan yang dapat diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar;
  • Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini mengatur pelaksanaan reforma agraria di Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi konflik agraria, redistribusi tanah, dan memperkuat hak-hak masyarakat atas tanah;
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 11 Tahun 2016. Peraturan ini mengatur penanganan pengaduan terkait sengketa tanah dan konflik agraria. Dalam peraturan ini, ada mekanisme mediasi dan penyelesaian konflik melalui jalur non-litigasi yang diharapkan bisa mengurangi beban pengadilan.

4. Konsep Dasar Penyerobotan Tanah dalam Hukum Pidana:

Dalam hukum pidana, penyerobotan tanah sering kali dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan melawan hukum, di mana seseorang secara sengaja dan tanpa hak memasuki, menguasai, atau menggunakan lahan milik orang lain. Perbuatan ini dianggap melawan hak dan dapat menimbulkan kerugian bagi pemilik lahan yang sah.

Penyerobotan tanah bisa mencakup berbagai bentuk tindakan, seperti mendirikan bangunan di atas lahan orang lain, mengolah lahan tanpa izin, atau bahkan menjual tanah yang bukan miliknya. Dalam konteks pidana, penyerobotan tanah dipandang sebagai tindakan kriminal yang dapat diproses melalui jalur hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

5. Dasar Hukum Penyerobotan Tanah dalam KUHP

Pasal 167 KUHP:

Pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum berupa memasuki pekarangan atau lahan milik orang lain tanpa izin dari pemilik yang sah. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat diancam dengan pidana penjara hingga sembilan bulan atau denda. Rumusan dalam pasal ini menyatakan bahwa: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak masuk atau tetap berada di tanah atau bangunan milik orang lain tanpa izin, dapat dikenakan pidana.

 

Untuk dapat dikenai pasal ini, unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah adanya masuknya pelaku secara sengaja ke lahan orang lain, dan tindakan tersebut dilakukan tanpa izin dari pemilik lahan yang sah. Bukti fisik seperti batas lahan atau sertifikat tanah sering kali digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan.

Pasal 385 KUHP:

Pasal 385 KUHP mengatur tindak pidana terkait penyerobotan tanah dengan unsur penipuan atau pemalsuan dokumen. Pasal ini umumnya digunakan ketika pelaku penyerobotan tidak hanya menguasai lahan, tetapi juga berupaya untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum dengan menjual, menggadaikan, atau menukar tanah yang bukan miliknya.

Pasal 385 KUHP memberikan sanksi lebih berat, terutama jika pelaku dengan sengaja menipu atau memalsukan dokumen untuk memperdaya pemilik asli atau pihak ketiga.

Sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penyerobotan tanah dapat berupa:

  • Pidana penjara sembilan bulan untuk pelanggaran pasal 167 KUHP, atau lebih lama jika melibatkan pemalsuan dokumen sesuai dengan pasal 385 KUHP.
  • Denda. Selain hukuman penjara, pelaku juga dapat dikenakan denda yang jumlahnya ditentukan oleh hakim berdasarkan berat ringannya kasus.

Dalam beberapa kasus, pelaku juga dapat dijatuhi pidana tambahan, seperti perintah untuk mengembalikan tanah kepada pemilik yang sah atau membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh korban.

Unsur-Unsur dalam Pasal 385 KUHP:

 

Secara ringkas, Pasal 385 KUHP menyatakan bahwa tindakan yang sengaja menjual, menyewakan, menggadaikan, menukar, menjadikan sebagai tanggungan utang, serta memanfaatkan properti milik orang lain demi keuntungan pribadi/ orang lain secara tidak sah adalah perbuatan melanggar hukum dan bisa dipidanakan.

Semua tindak kejahatan yang tercantum dalam pasal 385 KUHP dikategorikan sebagai stellionaat, artinya, kejahatan tersebut berkaitan dengan penggelapan hak atas harta atau barang tidak bergerak milik orang lain, contohnya tanah, sawah, rumah, dll. Yang mempunyai nilai pembuktian berupa Hak Milik, HGU, HGB, dll.

Pasal 385 KUHP juga memiliki dua unsur penting di dalamnya, yaitu unsur subjektif dan objektif.

Unsur subjektif: Mengacu pada kata "dengan maksud" yang artinya dilakukan dengan sengaja dan ada niat dan/atau kehendak jahat untuk menguasai, lalu menjual/menyewakan/ menukar/menggadaikan tanah milik orang lain demi kepentingan pribadi.

Unsur objektif: Perbuatan menguasai dan menjual atau menyewakan, menukar dan/atau menggadaikan tanah milik orang lain demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Seseorang atau pelaku penyerobotan tanah baru bisa dikenai pasal 385 KUHP dan mendapatkan sanksi pidana apabila kedua unsur tersebut terpenuhi.

Di samping KUHP pengaturan tindak pidana penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 2 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya

Memakai tanah adalah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak. Memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana kurungan dan/atau denda.

Ancaman Pidana berlaku juga terhadap Seorang Pegawai Negeri dan/atau setingkatnya seperti Kepala Desa, sampai pada level diatasnya dalam hal mengeluarkan sesuatu Surat Keterangan Tanah Secara tidak sah.

Bahwa didalam Perppu 51/1960, kepala desa tersebut bisa juga diancam pidana berdasarkan KUHP. Kepala Desa merupakan orang yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan desa.

Perbuatan penyerobotan tanah yang dilakukan dapat juga dikenai Pasal 424 KUHP, yang berbunyi:

Pegawai negeri yang dengan maksud akan menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hak serta dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya menggunakan tanah Pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiputera, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

Yang dimaksud dengan pegawai negeri atau ambtenaar menurut R. Soesilo (hal. 100) adalah orang yang diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Unsur-unsur yang termasuk di sini adalah:

  • Pengangkatan oleh instansi umum;
  • Memangku jabatan umum, dan
  • Melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Kepala desa dan para pegawainya termasuk salah satu dari golongan ambtenaar atau pegawai negeri.

6. Kasus Penyerobotan Tanah yang Diproses Melalui Jalur Pidana:

Salah satu contoh kasus yang menonjol adalah kasus penyerobotan tanah di desa Wanakerta, Kecamatan Sindangjaya, Kabupaten Tangerang.

Korban penyerobotan tanah di desa Wanakerta, Kecamatan Sindangjaya, Kabupaten Tangerang mengaku mengalami kerugian hingga Rp 2,1 miliar setelah tiga bidang tanahnya dicaplok oleh Kepala Desa Wanakerta Tumpang Sugian.

Tumpang yang telah ditetapkan tersangka kini ditahan di Polda Banten. "Selain rugi sampai 2 M lebih, saya juga sakit hati dengan Tumpang yang mencaplok tanah saya. Makanya saya mau dia dipenjara, dihukum berat," ujar Ending, 68 tahun, warga Kampung Sarongge, Desa Wanakerta, saat memberikan keterangan kepada awak media, Jumat 20 September 2024.

Ending menyatakan tidak akan mau berdamai apalagi mencabut laporan. Hal ini ia sampaikan karena disinyalir Tumpang ingin berdamai agar bisa lepas dari jeratan hukum."Ada sejumlah orang yang menemui saya untuk mengajak berdamai. Tapi saya maju terus, gak mau mundur, dia harus dipenjara," katanya.

Ending mengatakan, sama sekali tidak menyangka jika Tumpang yang merupakan sahabat karibnya sejak tahun 1980-an tega menyerobot tanah miliknya dengan cara yang licik.

Tumpang, kata dia, menyerobot tiga bidang tanah miliknya dengan cara menyulap dokumen kepemilikan tanah milik Ending seluas 4000 meter di Kampung Sarongge, Desa Wanakerta menjadi milik Tumpang.

"Saya kaget kok bisa, seketika semua dokumen hingga sertifikat tanah itu diubah atas nama Tumpang," ujar Ending.

Ending menuturkan, mengetahui jika lahan miliknya diserobot Tumpang ketika ada Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada 2022 lalu. Dia mengaku memanfaatkan program pemerintah yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tanah secara gratis itu karena status tanahnya saat itu masih dalam bentuk akte jual beli (AJB). "Sebagai kepala desa Tumpang menawari saya ikut program PTSL ini dan dia sebagai koordinator," kata Ending.

Ending akhirnya ikut program PTSL. Ia menunggu sertifikat tanahnya keluar. Namun, hingga 2024 dokumen resmi kepemilikan lahan itu tidak kunjung ia dapatkan.

"Ketahuannya pada Maret 2024, saya cek ke BPN ternyata tanah saya sudah atas nama Tumpang," ujar Ending. Saat itu Ending kaget dan tidak percaya jika orang yang ia anggap sahabat sejak tahun 1982 itu telah menyerobot tanahnya.

Akhirnya Ending melaporkan Tumpang ke Polda Banten. Pada 3 september 2024, Sub Direktorat Harta Benda dan Bangunan Tanah Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Banten menangkap dan menahan kepala desa Wanakerta itu atas dugaan pemalsuan surat tanah.

Setelah 20 hari ditahan, Polda Banten memperpanjang masa tahanan Kepala Desa Wanakerta Tumpang Sugian, tersangka kasus pemalsuan surat tanah seluas 4000 meter di kampung Sarongge, Desa Wanakerta, Kecamatan Sindangjaya, Kabupaten Tangerang. "Ada perpanjangan masa penahanan 40 hari lagi," ujar Kasubdit II Harda dan Bangda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Banten Ajun Komisaris Besar Mirodin saat dihubungi, Jumat 20 September 2024. 

Tumpang Sugian mulai ditahan sejak 2 September 2024 hingga 20 hari atau sampai 21 September 2024. "Perpanjangan 40 hari dari 22 September sampai 31 Oktober 2024," kata Mirodin. 

Menurut Mirodin, perpanjangan masa tahanan Kades Wanakerta itu untuk kepentingan penyidikan dan melengkapi berkas perkara menuju P21, sebelum dilimpahkan ke kejaksaan. "Sudah tahap 1 , sedang menuju P21," ujarnya. 

Dia memastikan Tumpang saat ini masih ditahan di Polda Banten. Mirodin mengatakan, hingga saat ini belum ada tersangka baru dalam kasus pidana dugaan pemalsuan surat tanah tersebut. "Untuk tersangka baru engga ada, masih kades ini," ujarnya.

Polisi menjerat tersangka dengan pasal 266 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 7 tahun dan atau Pasal 263 dengan ancaman pidana 6 tahun.  

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Banten telah mengungkap motif dan modus yang dilakukan tersangka Tumpang Sugian dalam kasus pemalsuan surat tanah tersebut. 

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Banten Ajun Komisaris Besar Dian mengatakan motif dan modus pelaku adalah untuk menguntungkan dirinya sendiri. "Motif tersangka adalah menguntungkan diri sendiri dengan modus membuat atau menggunakan surat yang isinya tidak benar atau palsu untuk proses penerbitan Sertifikat Hak Milik," ujar Dian.  

Dian menjelaskan penangkapan tersangka ini berawal dari laporan korban, Nurmalia pemilik 3 bidang tanah di Kampung Sarongge, Desa Wanakerta yang diduga diserobot kepala desanya sendiri.   

Nurmalia mengetahui jika surat kepemilikan tanah seluas 4000 meter itu berganti nama Tumpang ketika mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat tanah melalui program ajudikasi PTSL yang dilaksanakan di Desa Wanakerta pada tahun 2022. "Akan tetapi permohonan sertifikat tersebut tidak terbit sertifikat," kata Dian.  

Pada sekitar maret 2024, Nurmalia mengajukan permohonan pengukuran ke kantor pertanahan Kabupaten Tangerang terhadap ke 3 bidang tanah miliknya tersebut. Kemudian dilakukan pengukuran oleh Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB), dengan hasil ternyata 3 bidang tanah tersebut telah terbit Sertifikat Hak milik atas nama Tumpang Sugian yang terbit melalui program ajudikasi PTSL 2022.  

Dian mengatakan, diduga proses penerbitan sertifikat menggunakan surat yang isinya palsu. "Diduga proses penerbitan sertifikat hak milik atas nama tersangka TS yang juga menjabat sebagai kepala Desa Wanakerta, menggunakan surat yang isinya tidak benar atau palsu," kata Dian. (Sumber: Tempo.co, Sabtu, 21 September 2024)

7. Konsep Penyerobotan Tanah dalam Hukum Perdata:

Dalam hukum perdata, penyerobotan tanah dipandang sebagai sengketa kepemilikan atau penguasaan tanah. Pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan penyerobotan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk memulihkan hak-haknya. Penyelesaian kasus penyerobotan tanah melalui jalur perdata umumnya berfokus pada penentuan siapa yang memiliki hak atas tanah yang dipersengketakan, serta upaya untuk mengembalikan tanah tersebut kepada pemilik yang sah.

  • Dasar Hukum dalam KUHPerdata:
  • Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melawan Hukum)

Pasal ini mengatur tentang tanggung jawab perdata bagi pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam konteks penyerobotan tanah, tindakan pelaku dianggap sebagai perbuatan melawan hukum karena mengambil atau menguasai hak milik orang lain tanpa izin.

Pemilik tanah yang sah dapat mengajukan gugatan berdasarkan pasal ini, menuntut pengembalian tanahnya serta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya, seperti hilangnya keuntungan dari penggunaan tanah atau kerugian material lainnya.

Di sisi lain dalam hukum perdata, jika pihak yang berhak atas tanah tersebut merasa dirugikan atas penyerobotan tanah, maka langkah hukum yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum.

Yang disebut dengan penyerobotan tanah adalah pendudukan tanah yang sudah dipunyai oleh orang lain.

Yang dimaksud dengan pendudukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan menduduki (merebut dan menguasai) suatu daerah dan sebagainya.

Jadi penyerobotan tanah tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan merebut dan menguasai atau menduduki tanah yang dimiliki oleh orang lain.

supaya dapat dikenakan pasal ini, maka terdakwa harus nyata berbuat hal-hal sebagai berikut:

  • Pelaku ada maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak (secara tidak sah);
  • Pelaku telah menjual, menukar atau membebani dengan credit verband hak pakai bumiputera atas tanah milik negara atau tanah milik partikulir, atau gedung, pekerjaan, tanaman atau taburan di atas tanah hak pakai bumiputera;
  • Pelaku mengetahui, bahwa yang berhak atau ikut berhak di situ adalah orang lain;
  • Pelaku tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa di situ ada credit verbandnya;
  • Pelaku tidak memberitahukan  kepada pihak lain, bahwa tanah itu sudah digadaikan;
  • Pelaku telah menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain;
  • Pelaku telah menjual atau menukarkan tanah yang sedang digadaikan pada orang lain dengan tidak memberitahukan tentang hal itu kepada pihak yang berkepentingan;
  • Pelaku telah menyewakan tanah buat selama suatu masa, sedang diketahuinya, bahwa tanah itu sebelumnya telah disewakan kepada orang lain.

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek ("BW"), dalam Buku III BW, pada bagian "Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang", yang berbunyi: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:

a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);

b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;

c.    Ada kerugian;

d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;

e.    Ada kesalahan.

8. Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960

Pasal ini menegaskan tentang pentingnya pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah. Dalam konteks sengketa tanah, pendaftaran tanah menjadi alat bukti utama untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut.

Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki kekuatan hukum sebagai bukti kepemilikan yang sah. Dalam kasus penyerobotan tanah, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat dengan dasar sertifikat tanah yang dimilikinya.

Proses Penyelesaian Sengketa Perdata:

Penyelesaian sengketa penyerobotan tanah melalui jalur perdata dimulai dengan pengajuan gugatan ke pengadilan negeri oleh pihak yang dirugikan. Gugatan tersebut bisa berupa:

  • Gugatan pembatalan sertifikat. Jika pelaku berhasil mendapatkan sertifikat tanah secara tidak sah.
  • Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH), Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
  • Gugatan pengembalian hak. Pihak penggugat menuntut pengembalian tanah yang diserobot oleh pelaku.

Selama proses perdata, hakim akan mempertimbangkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang diajukan oleh kedua belah pihak, seperti sertifikat tanah, peta lokasi, dan bukti-bukti transaksi lainnya. Jika pengadilan memutuskan bahwa penggugat adalah pemilik yang sah, maka pelaku akan diperintahkan untuk menyerahkan kembali tanah tersebut kepada pemilik yang sah.

Ganti Rugi dalam Sengketa Perdata:

Selain pengembalian tanah, penggugat juga dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya akibat penyerobotan. Ganti rugi ini bisa meliputi:

  • Kerugian material. Seperti hilangnya pendapatan dari lahan yang diserobot.
  • Kerugian immaterial. Seperti kerugian emosional atau psikologis akibat kehilangan hak atas tanah.

Ganti rugi ini ditentukan oleh pengadilan berdasarkan berat ringannya kerugian yang dialami oleh penggugat.

  • Perbandingan Penanganan Penyerobotan Tanah dalam Hukum Pidana dan Perdata :

Fokus Hukum Pidana:

Dalam konteks pidana, fokus utama adalah pada penghukuman pelaku penyerobotan tanah. Penyerobotan dipandang sebagai tindakan kriminal yang merusak ketertiban dan melanggar hak individu atau negara. Oleh karena itu, tujuan dari hukum pidana adalah memberikan sanksi kepada pelaku, baik berupa hukuman penjara, denda, maupun pidana tambahan lainnya.

Dalam hal ini, aspek pembuktian sangat penting, terutama untuk menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan sengaja. Bukti-bukti seperti peta tanah, sertifikat kepemilikan, dan saksi mata sering kali menjadi penentu dalam proses persidangan pidana.

Fokus Hukum Perdata:

Sebaliknya, dalam hukum perdata, fokusnya lebih pada pemulihan hak pemilik tanah yang sah. Sengketa perdata lebih berfokus pada kepemilikan tanah dan bagaimana cara mengembalikan hak tersebut kepada pemilik asli. Selain itu, hukum perdata juga memberikan opsi untuk menggugat ganti rugi, yang tidak terdapat dalam hukum pidana.

Proses perdata umumnya melibatkan pembuktian yang lebih rinci terkait hak milik, dan sering kali melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah yang menjadi dasar gugatan.

Efektivitas Jalur Pidana dan Perdata:

Kedua jalur ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jalur pidana lebih efektif dalam memberikan efek jera kepada pelaku, terutama jika tindakan penyerobotan dilakukan dengan sengaja dan melibatkan kekerasan atau penipuan. Namun, jalur pidana tidak selalu memberikan solusi jangka panjang untuk masalah sengketa kepemilikan tanah.

Di sisi lain, jalur perdata lebih tepat untuk menyelesaikan masalah kepemilikan dan hak atas tanah, serta memberikan pemulihan kepada pemilik yang sah. Namun, proses perdata sering kali memakan waktu lebih lama dan memerlukan biaya yang lebih besar, terutama jika kasusnya melibatkan gugatan ganti rugi.

9. Kesimpulan:

Penyerobotan tanah merupakan persoalan hukum yang dapat ditangani melalui jalur pidana maupun perdata, tergantung pada konteks dan motif penyerobotannya. Dalam hukum pidana, penyerobotan tanah dipandang sebagai perbuatan melanggar hukum dan melawan hukum yang dapat dikenai sanksi pidana,

Pasal 385 KUHP juga memiliki dua unsur penting di dalamnya, yaitu unsur subjektif dan objektif.

Unsur subjektif : Mengacu pada kata "dengan maksud" yang artinya dilakukan dengan sengaja dan ada niat dan/atau kehendak jahat untuk menguasai, lalu menjual/menyewakan/menukar/menggadaikan tanah milik orang lain demi kepentingan pribadi.

Unsur objektif: Perbuatan menguasai dan menjual atau menyewakan, menukar dan/atau menggadaikan tanah milik orang lain demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Sementara dalam hukum perdata, kasus ini lebih dianggap sebagai sengketa kepemilikan tanah yang penyelesaiannya berfokus pada pemulihan hak pemilik yang sah, dimana harus ada unsur PMH (Perbuatan Melawan Hukum) yang menimbulkan suatu kerugian secara perdata.

Didalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu:

1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3.    Bertentangan dengan kesusilaan

4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Dari uraian diatas antara hukum Pidana dan hukum Perdata dalam persoalan Penyerobotan Tanah memiliki tujuan yang sama, yaitu hukum pidana bertujuan memberikan efek jera kepada pelaku, sedangkan hukum perdata bertujuan untuk mengembalikan hak yang dirampas dan memberikan ganti rugi kepada korban.

Penulis: Praktisi Hukum, Alumnus PPSA XVII LEMHANNAS RI 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun