Prihatin sekali melihat saudara kita kebanjiran di Jakarta. Mungkin Anies sendiri tidak menduga bahwa air akan datang merendam warganya di berbagai penjuru Jakarta. Tidak mungkin pula Anies Baswedan sengaja tahajjut , agar mobil dan springbed dll, harta warga Jakarta, terapung di air keruh.
Lantas, apakah banjir Jakarta itu karena Ahok tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI? Belum tentu juga. Sebab, pada awal Februari 2015, banjir sampai ke kawasan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara. Ketika itu DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Setahun kemudian, pada Februari 2016, kawasan Istana Merdeka dan jantung Jakarta terendam banjir lagi. Kali ini Ahok menyodorkan bukti adanya sampah bekas kulit kabel yang menumpuk di saluran air, sehingga mengganggu drainase.
Oleh sebab itu, tentu tak elok rasanya jika banjir ketika itu disebut kesalahan Ahok. Sebab ada tumpukan bekas kulit kabel yang bisa dijadikan tersangka.
Jika ditarik ke belakang Ahok, hanya sekitar dua bulan setelah Joko Widodo dilantik menjadi Gubernur DKI, pada 22 Desember 2012 sejumlah ruas jalan utama Ibu Kota seperti Sudirman-Thamrin dan daerah Grogol terendam air.
Di belakang Joko Widodo, banjir juga tarjadi pada 10 Februari 2010, ketika DKI Jakarta dipimpin Fauzi Bowo alias Foke. Di belakang Foke, ada lagi banjir pada tahun 2007, ketika Sutiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta. Banjir pada masa penghujung kepemimpinan Sutiyoso ketika itu, malah cukup dahsyat karena hampir 70 persen wilayah Jakarta terendam air.
Jika kisah banjir Jakarta itu belum cukup, maka anda boleh menambah sendiri catatan banjir di belakang Sutiyoso menjadi gubernur, karena sejak zaman Tarumanegara, kemudian saat bernama Jayakarta, Batavia, Jakurata, sampai Djakarta, banjir selalu menyapa.
Jadi, Anies Baswedan adalah Gubernur DKI yang kesekian, yang berhadapan dengan banjir. Karena banjir Jakarta ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak Jan Pieterszoon Coen pada awal abad 17 silam mendirikan Batavia dengan konsep kota air (waterfront city). Namanya juga kota air, tentu rentan terhadap resiko kebajiran.
Menurut catatan merdeka.com, sejak pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918 hingga 1909, banjir sudah menggenangi permukiman warga karena limpahan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.
Belanda sendiri telah berupaya untuk mengatasi banjir dengan membangun proyek banjir kanal Barat, Timur, Lingkar Kota dan sistem polder yang didesain oleh Van Breen, namun tidak sampai selesai. Apakah itu berarti banjir Jakarta adalah warisan kolonial, yang tak rampung? Jangan kesusu menjawabnya.
Menurut catatan BMKG Kwitang, banjir Jakarta kemarin akibat curah hujan yang cukup tinggi dan tertinggi sejak 154 tahun sebelumnya. Dalam cacatan BMKG Kwitang, curah hujan tertinggi pernah terjadi tahun 1866, yaitu 185,1 mm/hari.