[caption caption="www.liputan6.news"][/caption] Sungguh sulit posisi para menteri koordinator (menko), mereka mempunyai tugas mengkordinasi tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menteri di bawahnya untuk tunduk pada keputusannya. Tugas koordinasi dimaksudkan untuk membantu presiden untuk memastikan bahwa kebijakannya selaku kepala pemerintahan dilaksanakan oleh para menteri. Jumlah menteri yang banyak, 30 orang lebih, menyulitkan presiden untuk memantaunya, sementara tugas presiden sendiri sebagai kepala negara juga cukup banyak. Contoh tugas sebagai kepala negara adalah menjadi tuan rumah OKI beberapa waktu yang lalu. Menghadiri Pertemuan Tahunan Kelompok Negara G-20 adalah juga tugas presiden sebagai kepala negara yang harus dilaksanakannya. Sedangkan tugas-tugas meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mendorong perkembangan daerah terbelakang adalah tugas presiden sebagai kepala pemerintahan.
Di banyak negara lain, jumlah menteri tidak lebih dari 20 orang, jadi kepala pemerintahannya tidak memerlukan bantuan menteri koordinator. Di negeri ini, jumlah menteri yang banyak menuntut adanya beberapa orang menko. Mengapa jumlah menteri banyak dan mengapa presiden perlu membentuk menko, itu urusan Parlemen yang membuat undang-undang khusus mengenai Kementerian Negara. Bagi presiden, itu adalah peluang yang sayang kalau disia-siakan. Undang-Undang no 39 tahun 2008 memungkinkan dibentuknya kementerian dan kementerian koordinator seperti yang ada saat ini.
Dengan kementerian yang banyak dan ditambah adanya menko, secara teori, akan tugas presiden akan lebih ringan. Presiden bisa mencurahkan perhatian pada hal-hal yang lain, misalnya bagaimana bisa menjalin kekuatan negara-negara berkembang untuk menghadapi negara-negara maju yang ingin memonopoli perdagangan komoditas tertentu, atau bagaimana bisa membuat Indonesia kembali jaya dalam olahraga bulu tangkis, dsb. Dengan jumlah formasi kementerian yang banyak itu, presiden juga dapat membalas budi pada partai-partai, penyumbang dana, dan relawan yang mendukungnya dengan memberikan jabatan menteri.
Namun, para menteri dan menko itu tentunya bukan robot yang bekerja sesuai dengan program komputer yang dibuat presiden. Mereka memang berjanji untuk membantu presiden menjalankan amanah rakyat dalam lingkup tupoksi masing-masing. Namun mereka juga orang-orang yang sadar politik, apalagi sebagian dari mereka memang disodorkan namanya oleh parpol pendukung presiden saat pemilu. Para menteri itu tentunya tidak lupa pada partainya. Jadi ada agenda tambahan disamping agenda yang diberikan oleh presiden. Demikian juga menko, mereka bisa mempunyai agenda sendiri karena mempunyai keinginan untuk ditunjuk lagi oleh presiden jika menang pada periode berikutnya. Jabatan menko sendiri adalah aset yang dapat dimanfaatkan untuk menaiki anak tangga kekuasaan berikutnya, apakah sebagai wakil presiden atau bahkan presiden sendiri, seperti yang dilakukan oleh beberapa mantan menko.
Pendeknya, para menteri dan menko masing-masing bisa mempunyai agenda yang berbeda. Disini letak masalahnya, yaitu agenda seorang menteri bisa berbeda dengan agenda menkonya, walaupun keduanya seharusnya bekerja secara kompak dengan agenda yang sama. Masalahnya menjadi lebih serius jika menko dan menteri-menteri dibawah koordinasinya tidak berasal dari satu partai atau kelompok atau latar belakang yang sama. Ketidakcocokan agenda antara menteri-menteri yang berada di bawah menko yang berbeda, tentunya lebih mungkin lagi terjadi. Masing-masing beralasan untuk melaksanakan tugas dari presiden, sehingga tidak mau kebijakan dan programnya diganggu oleh menteri lain. Disini permainan jumlah nol (zero sum game) menjadi asumsi yang dipegang teguh: “Kalau saya dukung program anda, maka anda yang dapat pujian, bukan saya. Jadi lebih baik kita kerjakan tugas masing-masing, dan jangan ganggu tugas saya”, demikian mungkin pikiran menteri terhadap menteri lain maupun terhadap menkonya.
Maka, kembalilah persoalannya kepada presiden. Ia harus bisa membuat keputusan yang jelas dan kemudian mengawasi implementasi keputusan tersebut. Ia berharap agar menteri-menteri patuh pada kebijakannya, dan juga agar para menko menjalankan fungsi koordinasinya dengan efektif. Jika tidak terjadi, maka dialah yang harus melakukannya. The show must go on successfully.
Gaduh para menteri saat ini menunjukkan alangkah malangnya nasib presiden kita, berharap agar tugasnya lebih ringan, ternyata harus memutuskan sendiri masalah-masalah besar yang dihadapi karena menteri-menterinya mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Demikian juga antara menko dengan menteri yang berada di bawah koordinasinya, masing-masing mengajukan solusi yang berbeda, sehingga Presiden sendiri yang harus memikirkannya. Untunglah presiden dilengkapi dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang dapat dimintai saran bagaimana mengatasi suatu masalah besar. Tidak hanya itu, presiden juga memiliki Kantor Staf Presiden yang tugasnya mengevaluasi pelaksanaan kegiatan prioritas semua instansi pemerintah. Kedua lembaga terdekat ini tentunya siap memberikan masukan kepada presiden, diminta atau tidak. Tidak hanya itu, presiden juga mempunyai wakil presiden yang dapat diajak untuk mengambil keputusan-keputusan besar, tidak hanya menyampaikan pidato pembukaan acara ini-itu saat presiden berhalangan. Namun percaya tidak, presiden masih mempunyai segudang lembaga pemerintahan lain yang dapat memudahkannya menjalankan tugas, sebut saja Bappenas, Lemhanas, Komite Ekonomi dan Industri, LIPI, BPK, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan masih banyak lagi. Semuanya dapat dimanfaatkan oleh presiden secara gratis dan konstitusional, mulai dari memperjelas ide dasar, menyusun perencanaan, mengimplementasikan, melakukan pemantauan dan pengawasan, dan lain-lain.
Kesimpulannya, presiden negeri ini adalah kepala pemerintah yang paling beruntung karena dilengkapi dengan banyak perangkat kenegaraan yang mestinya handal dan mumpuni. Namun kembali kepada masalah awal, presiden bisa terbantu oleh berbagai perangkat pemerintahan ini selama mereka memiliki loyalitas tegak lurus pada presiden, dan tidak mempunyai agenda sendiri-sendiri.
Persoalannya kini kembali pada presiden, bagaimana agar semua pihak itu, khususnya para menko dan menteri-menteri, dapat meringankan tugasnya. Kalau malah membuatnya kesulitan, tidak ada salahnya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Tidak perlu ada keraguan bagi presiden untuk membuat keputusan yang tegas, selama itu bisa mewujudkan Nawacita, program kerja yang dijanjikannya kepada rakyat. Dan tentunya presiden sendiri harus bisa meyakinkan bahwa semua keputusannya adalah untuk bangsa dan negara, tidak untuk menjalankan lakon sebagai petugas partai.
Hanya saran kecil untuk negara tercinta...