[caption caption="http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2012/11/27/181564_spanduk-raksasa-di-gedung-kpk_663_382.jpg"]
Hari Jumat 26/2/2016 yang lalu dunia demokrasi Indonesia ditempa berita ‘cetar membahana’, meminjam istilah Syahrini, yaitu pernyataan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief bahwa KPK tidak akan terlibat dalam pelaksanaan Munas Golkar saat ini. Alasannya, KPK tidak berwenang mengawasi proses internal partai politik. Meski demikian, “… KPK berharap tidak ada praktik politik uang”, demikian kata Laode.
Pernyataan Laode Muhammad Syarief itu muncul setelah Ketua Umum DPP Golkar Aburizal Bakrie menyatakan bahwa Golkar akan mengundang KPK dan Bareskrim Polri untuk hadir pada Munas Golkar yang rencananya akan digelar pada April 2016. Tidak hanya Aburizal Bakri, tokoh Golkar yang lainpun, seperti Agung Laksono, menhrapakna KPK terlibat dalam pelaksanaan Munas Golkar itu. Alasannya, Munas yang bersih dari politik uang bisa dijadikan momentum memperbaiki citra Golkar.
Tentunya mengundang KPK (dan Bareskrim Polri) tidak untuk menyaksikan seremoni Munas, melainkan untuk pekerjaan yang besar, yaitu mengawasi aktivitas selama pelaksanaan Munas, khususnya mengantisipasi terjadinya politik uang, yang sehari-harinya merupakan atau sangat dekat dengan pekerjaan KPK.
Sekedar informasi, tatacara pemilihan Ketua Umum Golkar adalah sebagai berikut. Seorang bakal calon Ketum Golkar (balon ketum) harus mendapat surat dukungan minimal 30 persen dari 529 suara DPD I dan II serta organisasi sayap Golkar. Apabila balon ketum ada yang mendapatkan suara 50 persen plus satu, maka ia ditetapkan secara aklamasi. Bila hanya ada satu calon, maka juga ditetapkan secara aklamasi. Nah, apabila balon ketum ada lebih dari satu orang maka dilakukanlah voting secara tertutup. Adanya ketentuan bahwa balon ketum harus mendapat dukungan 30 persen suara itulah yang menyebabkan para bakal calon Ketum Golkar sibuk mondar mandiri ke DPD I dan II untuk menjajakan program kerjanya agar mendapat dukungan. Disini muncul fenomena suap setiap kali pemilihan ketua umum partai dilakukan.
Harga dukungan DPD itu diperkirakan sekitar Rp 5 juta sampai Rp 200 juta, bahkan ada balon ketum yang menjanjikan Rp 1 miliar-Rp 2 miliar per suara, atau menurut Plt Ketua DPD I Golkar Sumatera Utara Nurdin Halid, DPD II dijanjikan 10.000 Dollar Singapura untuk memberi surat dukungan (Kompas.com, 18/2/2016).
Hanya sebuah harapan?
Apakah KPK hanya bisa berharap seperti yang dinyatakan oleh Laode Muhammad Syarief di atas? Padahal beberapa minggu sebelumnya, Wakil Ketua KPK yang lain, Saut Situmorang, mengatakan bahwa KPK menangkap sinyalemen adanya peredaran uang di dalam penyelenggaraan munas Golkar. KPK akan mengawasi dinamika yang terjadi di internal partai tersebut (Kompas, 30/1/2016).
Seharusnya KPK berada di barisan terdepan dalam urusan pemberantasan korupsi, termasuk suap dalam pemilihan Ketua Umum (Pilketum) Golkar, partai tertua dan salah satu partai terbesar di Indonesia. Jika Pilketum Golkar berlangsung bersih, tanpa ada kasus suap, maka Golkar bisa menjadi contoh bagi partai-partai lain, dan secara moral bisa menekan pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus suap-menyuap setiap pemilihan ketua umum suatu partai dilakukan.
Apa susahnya menerima permintaan Golkar sendiri untuk ikut mencegah adanya kasus suap dalam Pilketum Golkar? Bukankah ini ajakan yang sangat serius dan simpatik dari Golkar sendiri? Setidak-tidaknya KPK dapat merekomendasikan untuk mengubah tatacara Pilketum Golkar dengan menghapus ketentuan adanya dukungan 30% suara dari DPD I dan II. Dengan menyatakan ini saja, KPK sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik, yaitu mencegah terjadinya korupsi, tanpa mencari-cari alasan apakah permintaan Golkar itu sesuai atau tidak dengan kewenangannya.
Mudah-mudah pernyataan KPK tadi segera dikoreksi oleh KPK dan kemudian ikut hadir dalam Munas Golkar dengan sebelumnya memberikan rekomendasi sehingga Pilketum Golkar berlangsung dengan bersih, damai dan berkualitas.
[/caption]