Dua hari terakhir ini, masyarakat dan akademisi dihebohkan dengan penyampaian Jubir kepresidenan, Fadjroel Rachman yang menyatakan bahwa opsi terakhir dari penanganan Covid19 di Indonesia adalah pembatasan sosial berskala besar dengan pemberlakuan darurat sipil yang diadopsi dari Perpu No 23 Tahun 1959.Â
Lalu timbul pertanyaan kritis, kenapa harus darurat sipil ? Kenapa tidak karantina wilayah saja ? Sementara pada tataran Implementasi dan Goals yang diharapkan keduanya hampir sama.
Intinya begini, jika pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown, maka pemerintah pusat diwajibkan untuk menanggung beban hidup, baik manusia maupun hewan ternak selama masa karantina.Â
Begitu kurang lebih bunyi Undang-undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 55. Sementara dengan menggunakan perpu darurat sipil, tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hewan ternak tidak ditentukan, artinya dengan menggunakan perpu darurat sipil  maka hilanglah tanggung jawab pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan rakyat selama masa darurat sipil diberlakukan.Â
Dengan kata lain, jika masa darurat sipil diberlakukan selama kurang lebih dua bulan maka rakyat harus sejak dini mempersiapkan kebutuhan makanan dan lainnya untuk dua bulan ke depan karena semua aktivitas jual beli akan berhentikan sementara.Â
Tentu dalam kondisi seperti itu, kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi, salah satunya produsen akan menaikan harga bahan pokok dan lainnya akibat dari ekspektasi meningkatnya permintaan.Â
Atau terjadi kelangkaan akibat dari penimbunan bahan pokok, maka akan terjadi penjarahan dan ketidakstabilan keamanan. Secara esensial, kedua strategi dalam upaya meminimalisir penyebaran covid19 itu sebenarnya memiliki implementasi dan goals yang sama, physical distancing berskala besar dengan penekanan yang represif.Â
Tim peneliti dari Universirtas Gadjah Mada (UGM) memang menyarankan intervensi skala besar untuk menekan virus spread di kalangan masyarakat.Â
Dengan intervensi ketat melalui parsial lockdown dan physical distancing diprediksi bahwa total penderita adalah sebesar 185 pasien/hari pada pertengahan april dan akan menurun setelahnya.Â
Konsekuensi ekonomi politik dari kedua kebijakan tersebut, yaitu karantina wilayah dan darurat sipil berbeda, meskipun secara esensial hampir mirip. Dengan karantina wilayah, cost yang ditanggung pemerintah pusat jauh lebih besar dibanding dengan opsi darurat sipil.
Kedua, dengan kebijakan darurat sipil, pemerintah pusat terkesan berpihak pada korporasi dan investor, khususnya pada pasar modal, karena masih dimungkinkan untuk membuka jalur distibusi skala besar di pelabuhan, bandara atau terminal.Â