Pada dasarnya, pendidikan lahir sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia. Secara praksis, pendidikan cenderung dibentuk oleh tatanan formil maupun semi-formil dalam kelompok masyarakat tertentu, baik masyarakat komunal maupun modern. Perkembangan dunia pendidikan pun begitu dinamis sesuai dengan tuntutan perubahan zaman, namun tetap eksis pada konsep dasar yang mutlak, yaitu fundamen untuk membangun peradaban.Â
Salah satu point penting dari Sustainable Development Golds (SDGs) yaitu peningkatan terhadap akses dan kualitas layanan dasar pendidikan untuk memotong rantai ketimpangan sosial, khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Salah satu indikator untuk melihat serapan terhadap akses pelayanan dasar pendidikan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sejak tahun 1990 hingga 2017 IPM Indonesia hanya meningkat sebesar 0.16 poin dengan pertumbuhan IPM tercepat ke empat di dunia setelah Oman, China dan Nepal. Sayangnya, IPM justru tumpul pada wilayah-wilayah timur Indonesia. Sumbangan IPM terbesar di Indonesia masih tinggi pada wilayah barat dengan ciri perkotaan yang padat modal dan ditopang oleh industri-industri ekstraktif dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Pembangunan yang bersifar sentralistik dengan seluruh kapital mengelompok pada satu basis wilayah industri, maka barang tentu pemusatan sektor pendidikan kian pasti. Secara teori, akumulasi kapital dalam satu wilayah industri akan menyebabkan Home market capital, yaitu sebuah kondisi di mana ekuilibrium terjadi hanya pada market tertentu, wilayah diluar market akan terkena imbas kelangkaan, kenaikan harga dan berujung pada konflik vertikal bahkan horizontal. Konsekuensi dari pemusatan sektor pendidikan ini akan menghasilkan ketimpangan pendidikan atau bias knowledge of region.Â
Secara empiris kita dapat menampilkan data yang menunjukkan ketimpangan pendidikan di wilayah timur dan barat Indonesia. Dilansir dari data Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (PAUDNI) Setidaknya terdapat 800 anak putus sekolah di Indonesia timur. Selain itu angka buta huruf tertinggi ada di Provinsi bagian timur Indonesia, yaitu Sulawesi Barat dengan rata-rata sebesar 10,33 persen, NTB 16,48 persen dan Papua sebesar 36,31 persen. Tidak hanya itu, riset tentang daya saing Provinsi-provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew Shool of Public Policy menunjukkan bahwa hampir semua wilayah di Indonesia timur tidak kompetitif dalam hal pendidikan. Selain merupakan sebab dari kesenjangan pendidikan, kesenjangan sosial pun merupakan akibat dari kesenjangan pendidikan tersebut. Keduanya memiliki hubungan kausalitas yang erat.Â
Secara etnografi kita dapat katakan bahwa kesenjangan pendidikan antar wilayah di Indonesia merupakan dampak dari fanatisme budaya dan tradisi. Kasus ibu tak boleh memberikan ASI kepada bayi yang baru lahir di Atambua NTT merupakan salah satu sebab rendahnya kemampuan anak untuk menyerap pelajaran dan tinigginya prevalensi stunting di NTT. Outcame dari fanatisme budaya ini menyebabkan anak berpotensi terkena stunting atau gangguan tumbuh kembang anak. Dalam jangka panjang, anak akan sulit beradaptasi dengan kompetisi global karena asupan gizi saat bayi tidak cukup untuk meningkatkan IQ. Namun secara ekonomi-politik tentu kita punya argumen lain, yaitu ketidakampuan penentu kebijakan dalam menghasilkan layanan pendidikan yang mampu diakses oleh semua elemen masyarakat. Hierarki dari kegagalan pemerintah tentu kita bisa tarik turunannya semisal, maraknya korupsi, sentralistis pembangunan, rendahnya pendapatan daerah dan eksplorasi sumber daya lokal yang tidak maksimal, di mana hampir sebagian besar eksplorasi daerah dikuasai oleh pemerintah pusat, sehingga daerah tak punya kemandirian fiskal. Hal ini juga penting sebagai prioritas daerah dalam memecahkan persoalan yang sifatnya otonom.
Pemerataan pendidikan selalu memiliki relasi yang kuat dengan kemampuan negara untuk hadir melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan pada lembaga kementerian (LK) atau non kementerian yaitu dengan dana otonomi khusus, dana desa, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan sejenisnya sebagai sebuah intergovernmental fiscal relation. Peningkatan pendapatan negara dan daerah dalam praktek memang cukup membantu dalam meningkatkan potensi pemerataan pendidikan, tentunya hal itu juga tidak luput dari prioritas alokasi belanja pemerintah pada sektor pendidikan. Tapi tidak boleh dilupakan pula bahwa pengambilan kebijakan yang tepat dan pengelolaan kelembagaan tidak dapat dikesampingkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H