Setelah akad di depan penghulu selesai, sepasang pengantin baru sewajarnya memiliki gambaran pesta pernikahan impian di kepalanya. Entah itu pesta private nan romantis atau pesta meriah dengan mengundang banyak tamu dan band penghibur.
Namun, tidak selamanya impian bisa terlaksana. Realita kehidupan itu kejam, kata sebagian orang.Â
Ketika isi rekening tidaklah sebesar rasa gengsi di dada, maka utang dianggap sebagai pintu keluar.
Mengapa sebagian orang berani berutang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan? Apa sih yang diharapkan dari pesta besar? Apa tidak cukup akad di KUA dan menggelar resepsi sederhana saja? Simak ulasannya berikut!
Gengsi sosialÂ
Pernikahan tidak hanya menyatukan kedua insan, tetapi juga dua keluarga. Maka, tidak semua pengantin bisa mewujudkan keinginan untuk menikah secara sederhana.
Bahkan, ada ungkapan sederhana yang populer di kalangan masyarakat, pengantin hanyalah pajangan saat pesta pernikahan.
Ungkapan tersebut muncul bukan tanpa dasar. Dari ribuan tamu undangan, khususnya untuk pengantin muda, hanya segelintir yang mereka kenal.
Tamu yang hadir mayoritas berasal dari undangan orang tua pasangan pengantin. Mulai dari teman, rekan kerja, tetangga, kawan seangkatan, kawan tongkrongan, sohib reuni, dan daftarnya masih panjang lagi.
Panjangnya daftar tamu undangan, tentu membuat tuan rumah tidak ingin kehilangan muka. Lalu, impian pernikahan sederhana bagi sepasang pengantin pun melayang.
Sah-sah saja sih, mengingat jargon ‘pernikahan hanya seumur hidup sekali’. Apalagi jika kedua keluarga mempelai dari kalangan berada. Namun, bagaimana jika tidak seperti itu keadaannya?