Mohon tunggu...
Marselia Ika
Marselia Ika Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis lepas

Introvert yang senang menulis, mendengarkan musik dan mengamati.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Dilema Pesta Penikahan Impian: Ketika Gengsi Lebih Besar dari Isi Rekening, Utang Jadi Jalan Keluar

12 Mei 2023   16:54 Diperbarui: 14 Mei 2023   22:46 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah akad di depan penghulu selesai, sepasang pengantin baru sewajarnya memiliki gambaran pesta pernikahan impian di kepalanya. Entah itu pesta private nan romantis atau pesta meriah dengan mengundang banyak tamu dan band penghibur.

Namun, tidak selamanya impian bisa terlaksana. Realita kehidupan itu kejam, kata sebagian orang. 

Ketika isi rekening tidaklah sebesar rasa gengsi di dada, maka utang dianggap sebagai pintu keluar.

Mengapa sebagian orang berani berutang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan? Apa sih yang diharapkan dari pesta besar? Apa tidak cukup akad di KUA dan menggelar resepsi sederhana saja? Simak ulasannya berikut!

Gengsi sosial 

Pernikahan tidak hanya menyatukan kedua insan, tetapi juga dua keluarga. Maka, tidak semua pengantin bisa mewujudkan keinginan untuk menikah secara sederhana.

Bahkan, ada ungkapan sederhana yang populer di kalangan masyarakat, pengantin hanyalah pajangan saat pesta pernikahan.

Ungkapan tersebut muncul bukan tanpa dasar. Dari ribuan tamu undangan, khususnya untuk pengantin muda, hanya segelintir yang mereka kenal.

Tamu yang hadir mayoritas berasal dari undangan orang tua pasangan pengantin. Mulai dari teman, rekan kerja, tetangga, kawan seangkatan, kawan tongkrongan, sohib reuni, dan daftarnya masih panjang lagi.

Panjangnya daftar tamu undangan, tentu membuat tuan rumah tidak ingin kehilangan muka. Lalu, impian pernikahan sederhana bagi sepasang pengantin pun melayang.

Sah-sah saja sih, mengingat jargon ‘pernikahan hanya seumur hidup sekali’. Apalagi jika kedua keluarga mempelai dari kalangan berada. Namun, bagaimana jika tidak seperti itu keadaannya?

Apalagi anggapan bahwa tidak menggelar pesta setelah menikah bisa berarti sang pengantin wanita telah hamil duluan, sehingga pihak keluarga malu untuk menunjukkannya di muka umum.

Duh, sadis memang penghakiman dari masyarakat kita. Bisa jadi, alasan orang tua ngotot untuk menggelar pesta pernikahan walau tidak memiliki dana memadai adalah menghindari gunjingan tetangga.

Pesta pernikahan adalah investasi

Entah darimana persepsi menyesatkan ini datang. Pesta pernikahan dianggap sebagai investasi. Kado atau amplop dari tamu undangan diharapkan mampu menambal kosongnya pundi-pundi keuangan pasca pesta pernikahan.

Contoh nyatanya adalah tetangga saya pribadi, seorang bos pengepul barang bekas, yang menyelenggarakan 3 pesta pernikahan dalam kurun waktu 2 tahun.

Mengingat statusnya sebagai seorang juragan, pesta untuk anak-anaknya ini terhitung cukup meriah. Mengundang hiburan band, menyewa panggung dan tenda, belum lagi ratusan kilo ayam dan daging serta menu lainnya.

Hasilnya? ia jatuh bangkrut. Petugas bank, tetangga, dan orang-orang silih berganti mendatang rumahnya untuk menagih utang.

Usut punya usut, ternyata si boss meminjam uang dari tetangga dan bank untuk membiayai pernikahan. Dengan harapan amplop dari tamu undangan, akan cukup untuk mengganti semuanya dan menutupi ongkos untuk membayar tukang masak dan biaya lain-lain.

Malangnya, isi amplop yang didambakan berisi lembaran Soekarno-Hatta 100 ribuan, berganti menjadi lukisan Frans Kaisiepo dan Sultan Mahmud Badarudin di uang 10 ribuan. Bahkan, beberapa amplop tidak berisi alias nihil.

Tuan rumah gigit jari, ketakutan dihampiri para penagih utang, ia sekeluarga memanfaatkan uang amplop untuk kembali ke kampung halaman. 

Kebiasaan berutang

Yups, satu kebiasaan jelek yang menjamur dimana-mana. Terlebih di era digitalisasi kemudahan berutang makin meninabobokan masyarakat. Mulai dari pinjaman tanpa agunan hingga pinjaman bermodal sertifikat, semua bisa dijumpai dengan mudah. 

Di lain sisi, pesta pernikahan membutuhkan biaya besar. Sebut saja biaya gedung, catering, undangan, hiburan. Lain cerita jika menikah lalu mengadakan resepsi secara sederhana, mengundang kerabat dan teman terdekat, jamuan terbatas, dan menu sederhana.

Terutama di kota-kota besar, dimana pernikahan menggunakan jasa EO atau vendor. Parahnya, tanpa persiapan keuangan yang matang, utang menjadi pintu keluar bagi sebagian orang. 

Jamak kejadian di sekitar penulis sendiri, setelah pesta pernikahan maka tagihan utang pun berdatangan. Entah itu dari vendor, bank, atau personal.

Jika ingin menggelar pesta pernikahan, hendaknya kedua calon mempelai dan keluarga menyiapkan dananya dari jauh-jauh hari. Jangan sampai pesta usai, penagih utang pun terbit. 

Bijaklah dalam mengelola keuangan, batasi kebiasaan mudah berutang untuk sesuatu yang bukan kebutuhan utama. Hidup tanpa dililit utang itu nikmat dan surga bagi yang pernah merasakan pahitnya terjerat utang.

Ingat utang itu bukan mantan yang harus dilupakan, pesan spam yang harus dihapus atau diblokir, atau sedekah dari dermawan yang cukup dibalas dengan doa. Utang adalah kewajiban yang harus dibayar atau dibawa mati. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun