Lapisan permukaan aspal selama ini terpapar sapaan hangat matahari dan hembusan sejuk udara, saat terjamah air maka terjadi oksidasi. Akibatnya, aspal makin menua, lapisannya terkelupas dan retak semakin parah.
Drainase perkotaan yang buruk dan air laut yang pasang, memperparah keadaan. Genangan air muncul dimana-mana, terkadang malah sampai banjir.
Tidak apa-apa, nanti surut jua. Begitu tanggapan sebagian orang. Namun, kemana perginya air itu?
Air merayap masuk ke celah-celah aspal, bertemu batuan, tanah, atau logam di bawahnya. Tanpa drainase yang baik, air akan terperangkap di sana.
Cuaca malam yang dingin, suhu pun berubah. Air di bawah aspal membeku dan mengembang, di atasnya aspal sebagai pengikat bahan-bahan menjadi pecah dan retak.
Saat suhu naik, air kembali mencair. Ia akan menguap, mengempis, dan meninggalkan ruang kosong di bawah aspal. Permukaannya kemudian menurun.
Ketika truk dan kendaraan melintas, muncullah lubang. Berulang-ulang terjadi, lubang yang semula kecil, lambat laun menjadi lebar dan besar.
Aspal tak kunjung dirawat dan dipelihara, mulailah manusia mengumpat saat melewatinya. Aspal pun menangis melihat tubuhnya terluka dimana-mana. Sementara, di daerah jalan bertanah kuning tertawa melihatnya.
Dasar penduduk kota memang lemah, kalah oleh truk. Tanah kuning malah gembira jika hujan turun, kubangan air bisa menjadi tempat hidup bagi kecebong dan lele.
Bahkan hebatnya, si kuning liat ini bisa menjungkalkan truk dan bus yang lewat. Tak percaya? “Mampirlah kemari,”serunya. ***