Kejadian ini baru saja saya alami, sebenarnya kecelakaan kecil dalam berkendara, terutama di jalan raya yang padat itu biasa. Maksudnya, kemungkinan untuk terjadi cukup besar, entah kita menabrak atau ditabrak.
Nah, sore tadi saya mengajak adik saya untuk jajan sore di kawasan dekat rumah. Memakai kaos oblong, celana training, jilbab rumahan, plus helm jadul, meluncurlah kami.
Suasana jalanan pada jam 5 sore kurang, memang ramai, tapi tak sepadat jam 5 ke atas saat para pekerja pulang.
Saya menyalakan lampu sein sebagai pertanda belok kiri sekitar 100 meter sebelum berbelok.
Dan tiba-tiba, BAM!
Motor saya terdorong keras dari belakang, saya refleks langsung menepi, dan ketika melihat ke belakang, ada mbak-mbak yang jatuh terduduk, motornya terbaring dan segera ditolong 3 orang mas-mas yang sedang jogging sore.
Saya syok karena ditabrak dari belakang, dan menghampiri si mbaknya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut saya adalah, “Mbak, gak ngelihat lampu sein saya?” Sebenarnya saya mau memastikan kalau saya tidak lupa memasang lampu sein, atau lampu sein saya mati.
Si mbak menjawab, “Lihat kak, cuma tadi saya menghindari mobil.” ucapnya.
Oh, cuma itu yang saya ucapkan dalam hati. Dan saya tidak ada masalah sama mbaknya, melihat dia duduk kesakitan, saya juga kasihan.
Lalu salah satu mas itu menyahut,
“Mbak terlalu mepet dan pelan di depan.” katanya.
Dalam pikiran saya langsung terlintas ‘What the Heck?’ emang saya harus menikung seperti Valentino Rossi gitu?.
Saya kaget, karena baru kali ini mendengarnya. Setahu saya yang menjaga jarak untuk tidak mepet adalah kendaraan yang di belakang. Lagipula, saya juga harus mengimbangi kecepatan motor di depan yang juga berbelok.
“Mas, saya kan belok, udah pakai sein, gimana ceritanya?”
“Saya lihat loh, mbak. Saya saksi mata.”
Lalu saya tidak mengindahkan si mas tersebut, dan pergi mencari air mineral untuk si mbak.
Saat saya kembali, mas-mas itu sudah pergi, tinggal si mbak dan adik saya yang menemani.
Setelah beristirahat sejenak, mbak itu melanjutkan perjalanan pulang.
Adik saya bercerita, kalau salah satu mas tersebut membantu si mbak karena mau pdkt, ia bersikeras mau mengantar si mbak pulang, yang ditolak si mbak.
Oh, mungkin benar, mungkin tidak. Mengingat tampilan kami yang jomplang dengan mbaknya yang rapi, baru pulang kerja.
Saya freelancer yang setiap hari mendekam di kamar untuk menulis artikel, tidak akan mau repot-repot berdandan untuk sekadar membeli es dan jajanan sore.
Namun, ada satu yang mengganjal di pikiran saya, ‘mepet dan terlalu pelan?’ Memang untuk berbelok harus seperti apa sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H