Sambungan dari: Janji Hati
Sejak awal pagi, hujan rintik-rintik menimbulkan riak-riak kecil pada genangan air sisa hujan di malam hari. Akhir-awal tahun memang sering diwarnai hujan deras hampir setiap hari. Terkadang sepanjang malam hingga pagi. Atau sepanjang siang hingga sore. Bagi anak-anak sekolah, hal ini menyebalkan. Terkadang mereka sudah basah saat tiba di sekolah. Atau terlambat. Untung saja selama musim hujan sekolah mereka sedikit lebih longgar soal waktu. Guru-guru juga tak sedikit yang terlambat. Hari Senin terkadang tidak ada upacara bendera. Beberapa kali di tengah-tengah upacara, barisan terpaksa dibubarkan karena hujan mulai turun.
Ada hal yang cukup mengganggu sebenarnya kalau hujan setiap hari. Pertama karena mereka jadi sering mengantuk dalam kelas. Kedua, pelajaran yang diterangkan guru sulit ditangkap karena guyuran hujan sepanjang pelajaran. Ketiga, ini yang paling buruk. Murid-murid yang pulang kehujanan, sepatu mereka sudah pasti ikut basah. Dan kalau dipakai keesokan harinya, bau terasi menyebar ke mana-mana. Beberapa murid ada yang pakai sandal. Pertama karena takut bau. Kedua, mungkin kerena sebetulnya mereka lebih suka pakai sandal ke sekolah. Tapi kalau pakai sandal pasti dimarahi guru. Katanya tidak sopanlah, tidak enak dilihat matalah, dan sebagainya.
Jerry sedikit meringkuk dan kakinya dilipat mendekati dadanya. Rupanya pakai sandal saat musim hujan begini, dinginnya cukup menggelitik kaki. Kemarin setelah mengantar Julia, hujan deras turun mengguyur. Dia basah sepenuhnya begitu tiba di rumah.
Julia duduk dibungkus sweater warna merah mudanya. Dulu dia sering memakainya sewaktu masih di Bandung. Tapi di Sibolga, dia enggan juga. Terlalu panas katanya. Tapi karena sekarang musim hujan, dia kembali memakainya lagi.
Bel istirahat berbunyi dan seluruh kelas bergerak dengan keenganan yang tak semestinya. Di luar, hujan gerimis sekecil jarum turun dengan kecepatan rendah. Arahnya berubah-ubah tergantung angin yang menerpanya. Tapi beberapa murid tetap keluar kelas. Gerimis tidak akan membuat mereka benar-benar basah. Paling-paling rambut mereka akan tampak seperti berketombe.
“Mau turun ke bawah?” ujar Jerry pada Julia.
Julia melihat sekilas ke arah luar. Dia lalu menggeleng.
“Kamu saja, Jer. Gerimis begini aku malas.”
Jerry mengangguk dan keluar kelas. Dia melangkah hati-hati pada anak-anak tangga yang basah terkena siraman hujan. Kemudian dia berlari menyeberang ke kantin. Lalu menepis butiran-butiran gerimis di rambutnya.
Kantin masih cukup penuh dengan murid-murid yang tidak sarapan di rumah. Selama hujan, mereka mengurangi berebutan duluan. Semua berusaha berlindung dari rintik hujan.
Jerry kembali berlari menyeberang menuju gedung sekolahnya. Di tangannya menggenggam sekotak teh krisan. Namanya teh kembang. Ini adalah minuman kesukaan Julia. Selama di Bandung dia tak pernah melihat minuman seperti ini.
Lini sedang bersama Julia ketika Jerry masuk ke kelas. Kemudian Jerry meletakkan teh kembang di meja Julia. Julia menoleh dan menatapnya sambil tersenyum.
“Wah, teh kembang. Mau juga, Jer,” Ujar Lini menatap Jerry penuh harap.
“Beli sendiri,” sahut Jerry.
“Kita bagi dua saja, Lin. Hujan-hujan begini kalau terlalu banyak minum bisa sering ke belakang. Boleh kan, Jer?”
“Boleh. Tapi nanti Lini harus mentraktir kita berdua.”
“Enak saja! Aku cuma mau traktir Julia.”
Jerry dan Julia saling menatap dan tersenyum. Kemudian Jerry berjalan ke arah tempat duduknya. Wennendy tampak sudah pulas dengan wajah di atas kedua tangannya. Wandy tak ada di kelas. Dia juga tak melihatnya di kantin. Mungkin di kelas sebelah mengunjungi Yunni. Andre masih di kantin. Tadi dia melihatnya. Hendrik ..., dia memang tidak datang hari ini. Kemarin dia masuk ke sekolah dengan hidung penuh hingus. Dia sudah dua kali kehujanan sebelumnya. Mungkin hari ini dia benar-benar sakit dan tak bisa datang. Suatu kebosanan yang sudah sering terjadi ketika dia tak tahu harus berbuat apa, kembali menghinggapinya. Melihat Wennendy yang begitu nyaman memejamkan mata, dia jadi ikut-ikutan. Tapi itu tak lama. Bel masuk berbunyi saat dia mulai memejamkan mata. Dan dia mengikuti pelajaran hari ini tanpa suatu gairah.
*****
Jerry duduk diam menunggu di ruang tamu. Dia masih sering gugup bila bertemu Ibu Julia. Untung saja Ayah Julia baru pulang dari kerja setelah jam setengah lima. Dan, adik Julia paling kecil, Rico, sedang pergi les juga. Jadi hanya ada Ibu Julia yang tadi disapanya. Juga Ryo yang pendiam dan sering berada di kamarnya.
Heran juga dia Julia memintanya datang ke rumahnya. Biasanya mereka sama-sama merasa kurang nyaman kalau pacaran di rumah Julia. Saat lagi mesra-mesranya, tiba-tiba telepon berbunyi dan Ibunya selalu yang dicari. Biasanya percakapan Ibunya juga cukup lama. Membuat mereka jadi salah tingkah.
Suara gemuruh di langit terdengar seperti kegaduhan di seberang jalan. Belum satu menit dia duduk sendiri, dia sudah mulai merasa bosan. Julia sedang ke belakang. Mengambil minum untuknya.
Jerry menoleh saat mendengar suara langkah mendekat. Wajah cerah itu selalu menenangkan hatinya. Julia seolah tersenyum sepanjang saat untuknya. Kemudian Julia duduk di sebelahnya. Memberikan minum padanya.
“Aku tak haus, Lia.”
“Tak apa. Aku tau kamu jarang minum.”
“Tau dari mana? Aku baru dari rumah.”
“Tau. Pakai feeling.”
Julia menyodorkan gelas dan Jerry segera meneguknya habis. Setelah itu dia meletakkan gelasnya. Julia tersenyum begitu manis padanya.
“Kamu kenapa, Lia? Hari ini kamu sedikit aneh.”
“Aneh? Aneh apa? Kamu tak suka aku perhatikan?”
“Bukan. Bukan begitu. Kamu dari tadi tersenyum terus. Membuatku tak mengerti.”
“Aku lagi senang.”
“Senang kenapa?”
“Senang karena kamu ada di sini.”
Jerry tak meneruskan perkataannya. Dia menatap ke dalam mata Julia. Timbul rasa sayang yang begitu besar dalam dirinya. Kemudian dia membelai rambut Julia yang kini bersandar di dadanya. Perlahan tangannya menyentuh cuping telinga Julia. Telinga Julia sempurna. Tidak ada bekas lubang tindik seperti kebanyakan perempuan seumurnya. Katanya dia alergi ditindik sewaktu kecil. Makanya sekarang telinganya mulus dan sempurna. Entah kenapa Jerry begitu suka menyentuh cuping telinganya. Dan Julia selalu mengeluskan pipinya dengan lembut ke tangan Jerry. Rasanya seperti terbang ke awan.
Julia menunggu Jerry menyalakan mesin motor dan melambai padanya. Dia baru berbalik setelah Jerry tidak kelihatan lagi. Sekarang sudah cukup sore. Dan hujan gerimis mulai turun membasahi Jalan yang tadi sempat mengering. Sebenarnya dia enggan berpisah dengan Jerry. Suatu perasaan aneh membuatnya tak nyaman bila tak melihat Jerry.
Dia perlahan berjalan memasuki rumahnya. Kaki telanjangnya menginjak genangan air dan dia mengesetkannya sebentar pada keset kaki di depan pintu masuk rumahnya. Kemudian dia berjalan masuk, langsung menuju kamarnya.
Hujan sudah semakin deras. Dia sedikit cemas kalau Jerry belum sampai rumahnya dan kini kebasahan. Bergegas dia keluar lagi dan mengangkat gagang telepon. Nada sambungan terasa bergitu lama.
“Halo, cari siapa?”
“Halo, Jerry ada?”
“Belum pulang. Ini dari siapa? Eh, sebentar, dia baru pulang.”
Julia kemudian menunggu. Suara Jerry berbicara dengan adiknya tidak tedengar jelas.
“Halo, ini siapa?”
“Aku, Jer. Kamu baru sampai? Basah tidak?”
“Ya baru sampai. Sedikit ....”
“Kamu cepat mandi dan ganti baju. Nanti masuk angin.”
“Ok,ok. Apa lagi?”
“Ehm .... Tak ada. Itu saja. Bye!”
“Bye!”
Julia menjadi sedikit lebih tenang setelah mendengar suara Jerry. Sudah hampir setengah tahun sejak dia pertama bertemu dengannya. Dan, perasaan suka pada Jerry tidak pernah layu meski sehari. Kenapa dia bisa begitu menyukai Jerry? Dan kenapa, belakangan ini dia sering gelisah tiba-tiba? Padahal sebelum-sebelumnya dia tak pernah merasa begitu. Ini aneh, ujarnya pada diri sendiri. Dia sering bermimpi berpisah dengan Jerry. Dan mimpi ini terjadi beberapa kali. Pernah juga dia terbangun dan hampir tak mengenal lagi kamarnya sendiri. Semua yang dialaminya, mau tak mau membuatnya gelisah. Karena dia tak tahu apa arti semua itu.
*****
Pemandangan laut sebenarnya sudah terekam dalam kepalanya. Bahkan dengan memejamkan mata, dia bisa membayangkan letak pulau-pulau, warna air atau tiupan dan aroma laut. Tapi beberapa hari ini dia selalu menemani Julia berdiri di sini. Dia tak tahu kenapa. Tapi sikap Julia belakangan ini aneh. Dia lebih pendiam dari biasanya. Dan terkadang matanya berkaca-kaca. Hanya setiap kali di tanya, dia tersenyum dan menggelengkan kepala.
Jerry menoleh ketika Julia keluar dari wc di belakangnya. Julia tetap memperlihatkan senyumnya yang manis. Kemudian dia berdiri di samping Jerry. Biasanya tidak terlalu dekat. Mereka masih menjaga jarak bila di sekolah. Malu kalau dilihat terlalu mesra oleh murid-murid lain. Tapi beberapa hari ini, Julia menempel begitu dekat dengannya. Seolah tak ingin berpisah. Jerry sedikit merasa gelisah dengan perubahan ini. Bukan karena dia tak suka, atau takut dikomentari murid-murid lainnya. Dia hanya merasa ada sesuatu yang disimpan Julia darinya. Dia bisa melihatnya. Karena terkadang tatapan mata Julia terlihat seperti orang yang sedang melamun.
“Bagus ya?” ujar Julia sambil matanya terus menatap laut. Dia entah sudah berapa kali mengatakan hal ini sejak beberapa hari yang lalu. Jerry menoleh padanya. Ditatapnya Julia. Tapi Julia tampak terhanyut dengan pemandangan di hadapannya.
“Ya,” ujar Jerry akhirnya.
Jerry menarik napas dalam. Kemudian dia menatap ke bawah. Ke lapangan basket yang di lewati beberapa orang. Kantin tampak ramai seperti biasa. Dia melihat lagi ke arah laut. Lalu ke arah langit. Tidak cerah juga tidak mendung. Awan-awan putih tebal mencekal sinar matahari langsung mengenai kulit bumi.
“Hah?!” ujarnya spontan karena mengira Julia bicara padanya. Tapi tidak. Begitu dia perhatikan, Julia seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Sepertinya, saat seperti ini tak akan terulang lagi .... Ya, aku mungkin akan berada jauh sekali ....”
“Kamu bicara apa, Lia?” ujar Jerry menyadarkan Julia.
“Eh?” Julia menoleh. Sedikit kaget.
“Kamu bicara sendiri.”
“Oh ya?! Ya ampun!” ujarnya tersenyum. Lalu kedua tangannya menutupi wajahnya. Perlahan dia mengusap wajahnya hingga ke dagu. Kemudian tersenyum, “tidak apa-apa,” lanjutnya.
Bel istirahat berbunyi. Jerry menggenggam tangan Julia.
“Yuk masuk ke kelas!”
Julia mengangguk dan tersenyum. Seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa. Pun begitu saat murid-murid lain menyapanya. Dia tampak begitu ceria. Kalau tidak bersamanya sepanjang waktu, Jerry tentu tak akan mengira Julia sedang gelisah. Dari wajahnya tampak segalanya seperti biasa. Tak ada raut kesedihan seperti yang tadi dilihatnya. Dia memang pintar menyembunyikan perasaannya. Benar-benar membuat orang bingung.
*****
Motornya melaju dengan pelan sekali. Julia memeluknya dengan begitu erat. Tiba-tiba Jerry teringat arti pelukan yang dulu diutarakan Julia padanya. Pertama, supaya dia hati-hati. Kedua, pelan-pelan, ya. Ketiga, aku sayang kamu, Jerry. Jerry tidak sadar menyunggingkan senyum di bibirnya. Lucu juga mengingat kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Tiba-tiba dia merasa punggungnya sedikit basah dan hangat. Bisa dibayangkannya kepala Julia sedang menyandar di sana. Itu sering di lakukannya. Dan karena itu juga, Jerry berpikir karena itulah punggungnya menjadi hangat dan berkeringat. Tapi, begitu Julia turun, tahulah dia. Tadi itu air mata Julia yang membasahi punggungnya.
“Kenapa? Kamu kenapa?”
Julia tidak segera menjawab. Dia memejamkan matanya dan menggeleng. Air mata kembali menggucur hingga dagunya, lalu jatuh ke lantai. Dia tampak begitu menyedihkan.
“Ayolah! Belakangan ini kamu selalu murung dan terlihat sedih. Aku juga ikut sedih melihatmu begitu, Lia.”
Julia membuka mulutnya tapi tak jadi bicara. Dia terlebih dulu menghapus air matanya.
“Jer, nanti sore, kita bolos ekskul ya?” ujarnya kemudian.
Ekspresi khawatir di wajah Jerry berubah menjadi keheranan. Dia sedikit tak percaya mendengar perkataan Julia. Julia yang selama ini rajin dan tak pernah bolos, kini mengajaknya bolos. Tapi Jerry tidak mengatakan pemikirannya yang tiba-tiba terlintas itu. Tatapannya menjadi lembut dan dia mengangguk. Julia tersenyum. Terlihat sedikit lebih ceria.
“Kamu jangan bersedih lagi. Ya?”
Julia mengangguk dan tersenyum. Air mata masih belum kering dari pipinya. Butir-butir kecil air menempel di ujung bulu-bulu matanya yang hitam dan lentik. Dia tampak begitu rapuh belakangan ini. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Saat dia begitu manja dan ceria saat bersama Jerry.
*****
Begitu selesai mengeringkan tubuhnya dengan handuk, Jerry mengenakan kembali seragam sekolahnya. Dia mulai mengancing beberapa kancing atas bajunya. Kemudian dia menyadari kekeliruannya. Dia membuka lagi bajunya dan menggantinya dengan kaos biasa. Dia memang seharusnya ke sekolah sebentar lagi. Ada esktrakurikuler kimia hari ini. Tapi tadi Julia mengajaknya bolos. Dan dia menyetujuinya.
Dia berjalan ke arah ruang keluarga. Semua jam dinding di rumahnya sama saja. Masih jam tiga kurang sepuluh menit seperti yang dilihatnya tadi di kamarnya. Dan itu artinya dia baru bisa berangkat ke rumah Julia setidaknya tiga puluh menit lagi. Itu memang paling aman. Kalau dia berangkat sebelum ekstrakurikuler dimulai, ada resiko dia bertemu murid-murid lain di jalan. Dan dia akan ketahuan bolos. Paling parah kalau bertemu guru. Besok sudah pasti dipanggil ke kantor menghadap guru BP.
Jam dinding bergerak perlahan. Sekarang sudah jam tiga lebih mungkin tujuh atau delapan menit. Jerry menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan matanya. Dia tersenyum-senyum sendiri. Teringat kejadian siang tadi. Wennendy ‘si raja tidur’, tadi tertangkap basah di balik bukunya yang berdiri terbuka menutupi wajahnya. Teman-teman yang lain, termasuk dirinya, ternyata lupa memanggilnya sewaktu guru berjalan mendekati barisan mereka. Dia dibentak dan tampangnya terlihat bodoh benar. Seluruh kelas tertawa melihatnya. Tapi kasihan juga dia. Ujung-ujungnya ke kantor guru BP dan membuat surat perjanjian.
Dengan kesadaran yang semakin menipis, Jerrry tiba-tiba membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkannya beberapa kali. Hampir saja di tertidur. Dia melihat jam dinding yang sekarang sudah hampir menyentuh angka lima. Kemudian dia menggaruk-garuk kepalanya. Lalu berdiri.
Ketika Jerry tiba, Julia sedang duduk menunggunya di depan teras rumah. Wajahnya masih muram seperti tadi. Hanya tak ada air mata di pipinya. Jerry menunggunya hingga naik ke boncengan lalu motornya melaju pergi. Dia merasa langit semakin mendung. Warna hitamnya tadi hanya berupa baris-garis tipis. Sekarang melebar hingga menyebabkan awan berubah warna. Kelabu. Juga tanpa langit biru seperti tadi. Jerry tahu, sebentar lagi hujan bisa saja turun dengan deras.
Jerry menepikan motornya di pinggir jalan. Dia dan Julia tetap di atas motor. Mesinnya dimatikan. Sungai yang sering mereka lihat beberapa waktu yang lalu kini beraliran lebih deras. Batu-batu yang dulunya banyak kelihatan sekarang tertutup air berwarna kecoklatan. Dan tak ada anak-anak kecil yang biasa mereka lihat bermain di sana.
Julia diam saja. Dia masih bersandar di punggung Jerry. Tangannya melingkar memeluk tubuh Jerry. Jerry melepaskan tangannya dari setang motor dan menyentuh tangan Julia. Dia mengelusnya dengan lembut. Dan itu mendapat tanggapan mesra dari Julia. Kini mereka saling bergenggaman tangan.
“Kamu mau kemana lagi, Lia?”
“Kemana kamu mau saja.”
“Aku tak tau mau ke mana.”
“Kalau begitu kita di sini saja,” kata Julia
“Sebentar lagi sudah mau hujan,” ujar Jerry.
“Tapi ...,” ujar Julia seperti ingin protes.
Tapi kata-kata Jerry ada benarnya. Hujan rintik-rintik sehalus pasir mulai kelihatan. Kemudian perlahan berubah menjadi seukuran jarum.
Jerry kembali menghidupkan mesin motornya. Dia menarik gas tapi motornya sulit bergerak. Suara motornya meraung-raung tapi bannya hanya berputar di tempat. Gerimis mulai bertambah deras. Dia akhirnya menarik gasnya dalam-dalam dan motornya bergerak meninggalkan jejak pasir yang terkikis ban belakangnya.
Dia memacu motornya cukup kencang. Angin hujan seolah membidik wajahnya yang tak ditutupi helm. Air hujan membuatnya sulit membuka mata. Membatasi jarak pandangnya.
“Kita ke rumahku dulu,” ujarnya sedikit menoleh ke belakang.
Kemudian motornya sedikit mengurangi kecepatannya. Hanya sedikit saja. Dan mungkin itulah yang membuat Jerry mendadak panik ketika dilihatnya sebuah mobil box juga muncul dari tikungan. Dengan kecepatannya sekarang, dia sulit menghindar. Dia membunyikan klakson motornya tapi sepertinya tak didengar supir mobil box itu. Akhirnya dia terburu-buru menarik rem depan. Mobil box di depannya sepertinya sudah menyadari ada motor di depannya, kecepatannya menurun dan arahnya berbelok drastis ke kiri. Menghantam pinggiran trotoar. Tapi ternyata itu terlambat. Jerry sudah hilang keseimbangan. Motornya meluncur terus dan menghantam trotoar satu lagi. Tubuhnya melayang ringan. Dia terlepas dari motornya. Seluruh tubuhnya terasa remuk saat dia terhempas dan memantul di tanah beberapa kali. Hujan sekarang sudah deras. Dia semakin sulit melihat pemandangan di sekitarnya. Tubuhnya pun tak bisa bergerak. Kemudian matanya terpejam juga. Hanya telinganya yang sempat mendengar suara pintu mobil dibanting. Teriakan-terikan orang yang mengerumuninya. Guntur menyambar. Lalu tubuhnya seperti diangkat. Kemudian semuanya senyap.
*****
Semua yang dapat dilihatnya cuma hitam. Di depan hitam, di kiri kanan hitam, di belakang juga hitam. Saat menatap ke bawah pun hitam. Kemudian dia menengadah. Ada titik putih kecil jauh di atas. Mungkin bintang. Tapi lama-kelamaan titik putih itu semakin besar. Semakin silau. Jerry buta sementara karenanya.
“Jer ....”
Ada suara yang didengarnya. Tapi dia tak tahu dari mana. Dia mencoba lagi menatap ke atas. Masih silau. Tapi ditahankannya rasa sakit yang ditimbulkannya.
“Jerry ....”
Terdengar lagi suara itu. Sekarang terasa lebih dekat. Perlahan dia merasa dua tirai membuka ke atas dan gambar-gambar abstrak bisa dilihatnya. Perih sekali ternyata. Dan itu membuatnya menutup kembali tirai matanya. Tiba-tiba dia memaksanya terbuka. Seolah tersadar akan sesuatu. Kedua matanya begitu merah. Urat-uratnya bertonjolan. Tapi dia sulit melihat pemandangan di depannya. Bayangan terdekat yang dilihatnya adalah Ibunya. Lalu beberapa guru dan temannya.
“Mana Julia?” jerit Jerry.
Semua mata menatap padanya. Dia mengulang lagi pertanyaannya. Baru disadarinya suaranya tak terdengar jelas. Kerongkongannya bagai tersekat. Dan sakit. Ibunya kemudian menyodorkan gelas padanya. Susah payah dia meneguk air dari gelas yang disodorkan di depan mulutnya. Kedua tangannya, juga seluruh tubuhnya tak berdaya.
“Mana Julia?” ujarnya lagi.
Kali ini semua orang di ruangan itu bisa mendengar apa yang dikatakannya. Meskipun suaranya masih kecil dan serak. Hanya saja reaksinya tak sesuai harapan Jerry. Mereka saling tatap. Malah ada yang mengalihkan pandangan darinya.
“Kamu istirahat dulu, Jer,” ujar Ibunya mencoba mengalihkan pertanyaan Jerry.
Tiba-tiba mata Jerry berubah liar. Ditatapnya satu persatu muka orang di ruangan itu. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Kedua tangannya yang tadinya sulit digerakkannya kini sudah menyibak selimutnya. Cepat sekali dan di sudah turun dari ranjangnya. Tapi ternyata dia terjatuh. Tubuhnya sungguh tak berguna saat ini. Jarum infus di tangannya terlepas karena terjatuh tadi. Darah mengucuri lantai dan beberapa orang menjerit ngeri. Jerry segera dipapah dan di paksa berbaring lagi di ranjang. Rontaannya saat dipapah tadi membuat lukanya kembali terbuka dan dia menjerit kesakitan. Orang lain bingung. Sebenarnya dia menjerit karena Julia atau karena lukanya sakit lagi. Mulutnya terus menyebut-nyebut nama Julia sebelum obat bius berhasil mengendalikannya.
*****
Jerry tersadar dari tidurnya sekitar jam empat subuh. Dia hanya menatap langit-langit kamarnya dalam gelap. Total satu minggu dia habiskan waktu tak bergunanya di rumah sakit. Tiga hari tak sadarkan diri. Dan sisa empat hari menanggung pedih.
Kembali dia merasakan suatu beban ringan di selaput matanya. Air mata yang menggenang tipis senantiasa mengikuti gerakan bola matanya. Kemudian saat dia memejamkan matanya, mengalir turun seperti rembesan air hujan di musim panas. Terasa hangat dan perih.
“Ma, Julia mana?” tiba-tiba percakapan dengan Ibunya beberapa hari yang lalu kembali terbayang.
Ibunya mendengarkan sambil merapikan sisa makanan di atas meja. Lalu menatapnya lembut. Dan ibunya satu-satunya orang yang kini masih senantiasa tersenyum begitu tulus padanya.
“Orangtuanya membawanya ke Medan. Kondisinya lebih buruk dari kamu. Dokter di sini tak sanggup. Semoga di Medan lebih baik.”
“Kapan dia kembali?” pertanyaan ini muncul saja dari mulut Jerry.
Ibunya tak menatapnya. Pura-pura memasukkan barang ke dalam lemari di ruangan kamar rumah sakit itu.
“Mama tak tau. Seperti Mama bilang, kondisinya buruk. Dan belum tentu dia bisa selamat.”
Jerry tersentak. Tak bisa menerima apa yang baru dikatakan Ibunya.
“Mama bohong. Kalaupun benar, Mama tak mungkin mengatakannya padaku.”
“Itu benar, Jerry. Mama tak mau mencoba memberi penghiburan buatmu. Juga supaya kamu tak bertanya-tanya lagi. Apa kamu tau? Mama sungguh merasa tidak enak karena kejadian ini. Bagaimana Mama bisa terus-terusan bertanya pada orangtuanya?”
Tentang ini Jerry tidak memikirkannya. Dia baru saja disadarkan. Kalau dialah penyebab semua ini. Dia benar-benar ingin tahu keadaan orang yang dicintainya. Tapi ternyata para orangtua punya pandangannya sendiri. Mereka sama sekali tak tahu beban dan sakit di hatinya.
Air mata Jerry tiba-tiba mengalir begitu deras. Mengingat semua yang telah terjadi. Kenapa hal-hal menyedihkan muncul silih berganti? Dia baru sebentar bersama Julia. Kenapa sekarang harus berpisah? Dan untuk berapa lama? Jangan katakan untuk selamanya. Pikiran terakhir yang melintas dalam benak Jerry membuatnya bergidik sendiri. Seluruh tubuhnya mendadak menjadi tegang. Hanya air mata yang lancar mengalir dari kedua matanya.
Siang malam Julia selalu dirindukannya. Tak pernah lengah sedikitpun dia berdoa supaya Julia selalu baik-baik saja. Dan supaya mereka bahagia selamanya.
Tapi rupanya itu tak cukup semuanya. Percuma belaka. Kenyataannya dia hanya bisa membiarkan air matanya mengalir. Air mata untuk orang yang begitu dicintainya. Orang yang menimbulkan kesan begitu dalam di hatinya. Yang sering memberinya semangat dikala masa suntuknya.
Apa dia harus pasrah dan menerima semuanya? Tidak. Tidak seenak mengucapkannya. Bisa saja bagi orang yang tidak mengalaminya. Tapi baginya, ini seperti mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dilupakannya. Juga tak akan sanggup diterimanya. Mengingat masa-masa bersama Julia. Suka duka bersama. Dia tak akan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Kalau masih ada hal yang ingin dilakukannya, hanyalah kembali bertemu dengan Julia. Memastikan semuanya akan baik-baik saja.
*****
Dia harus tertatih-tatih sekarang. Menaiki anak-anak tangga satu persatu. Tidak tiga sekaligus seperti yang sering dilakukannya. Semuanya seolah melambat. Bel sekolah, langkah-langkah murid lainnya dan tatapan mata mereka begitu lambat berganti arah. Semua seolah berebut melihat dirinya. Menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Ekspresi mereka diam tapi penuh prasangka. ‘Jadi ini orang yang membuat Julia celaka?’ begitu Jerry mencoba menebak isi kepala mereka.
Dia melihat Wandy dan Andre berada di dalam kelas. Kemudian membantunya ke tempat duduknya.
“Kamu sudah baikan?”
Jerry mengangguk dan semakin merasa berat hatinya. Dia bertanya mengenai Julia. Karena dia tak bisa sering bertanya pada Ibunya.
“Dia .... sangat parah! Tengkorak belakangnya retak. Dia langsung dibawa ke Medan malam itu juga.”
Mungkin Wandy hanya sekedar memberi informasi. Tapi di telinga Jerry, itu terdengar seperti tuduhan menyalahkan. Dia mengangguk kecil dan tak bisa bicara. Matanya memerah dan kilauan air mata terlihat cukup jelas oleh teman-teman sekelas lainnya yang kini juga ikut memperhatikannya.
“Sekarang, bagaimana kondisinya?” ujar Jerry setelah berhasil menguasai dirinya.
Kediaman teman-temannya membuat Jerry risau. Ternyata sama seperti yang baru diketahui Ibunya; tak ada seorang pun yang mendengar perkembangan keadaan Julia.
Sepanjang pelajaran, Jerry menatap kosong ke arah tempat duduk Julia. Ingatannya membuatnya melihat Julia sedang menyimak pelajaran. Rambut hitam panjangnya yang tergerai menyembunyikan wajah cantiknya. Sesekali kepalanya mengangguk karena mengerti.
Setiap kali bel berbunyi, dia selalu tersentak kaget. Bayangan Julia pun menghilang. Padahal, biasanya setiap bel berbunyi, Julia menoleh padanya. Kini dia hanya merasa dadanya sesak. Saling adu sakit dengan bahu kirinya yang sulit digerakkannya.
Begitu murid-murid lain hampir semuanya keluar kelas, dia menyadari sepasang mata yang sedang menatapnya. Lini tersenyum singkat padanya. Tidak berkata apa-apa. Agaknya dia pun menyalahkannya. Adrian tiba-tiba muncul di depan pintu kelas. Dia bicara sebentar dengan Lini lalu berjalan menghampiri Jerry. Jerry sedikit terharu. Pada saat seperti ini, temannya yang satu ini tetap mendukungnya. Adrian juga yang paling sering menjenguknya sewaktu dia masih rumah sakit.
Begitu becak bergerak semakin menjauh dari sekolah, dia meminta tukang becaknya agar ke jalan Imam Bonjol saja. Dia frustasi tak mendapatkan berita apa-apa dari orang-orang terdekat. Akhirnya dia memutuskan memakai caranya sendiri.
Dia melangkah perlahan masuk ke halaman rumah. Sepi, meski pintu terbuka. Jerry melangkah hingga ke depan pintu. Di situ dilihatnya orang yang selama ini belum pernah dilihatnya. Seorang wanita paruh baya. Sebelum dia sempat bicara, orang itu sudah bertanya dulu.
“Cari siapa?”
“Eh... kemana orang di rumah ini?”
“Oh, kamu kenal dengan mereka? Mereka sudah pindah ke Medan. Tiga hari yang lalu.”
Jerry sulit mempercayai pendengarannya. Selama dia berada di rumah sakit, semua telah berubah begitu cepat. Tanpa pernah diduganya.
“Kasihan anaknya. Katanya sulit tertolong. Orangtuanya sampai frustasi,” lanjut wanita itu.
Semua orang bicara seperti mengutuknya. Dan itu membuatnya semakin bersalah. Tubuhnya mulai goyah dan dia segera membalikkan badannya.
“Permisi. Aku pulang dulu.”
Tak terdengar kalimat balasan. Dia kembali naik ke atas becak. Di sana dia menumpahkan segala gejolak di dadanya. Dia mengangis dengan suara tertahan. Tubuhnya begetar, hatinya terguncang. Tampak seluruh dunia memusuhinya.
*****
“Jerry .... Mama baru dapat kabar dari orangtua Julia. Mama akan memberitaumu. Tapi, setelah itu kamu jangan bertanya apa-apa lagi,” ujar Ibunya saat mereka selesai makan siang.
Jerry mendadak gelisah. Kepalanya berputar mengamati ruangan itu. Jantungnya berdetak cukup kuat hingga dia bisa mendengarnya. Kemudian dia menatap Ibunya. Dan mengangguk dengan lemah.
“Julia sudah tak ada lagi. Maaf! Tapi hanya itu yang bisa Mama sampaikan.”
Seluruh tubuhnya mendadak lemas. Tenggorokannya tercekat dan hatinya hancur berantakan. Ekspresinya yang paling bisa ditebak hanya lewat air mata yang langsung mengalir tak terbendung. Dia kesulitan menarik napas hingga harus menggunakan mulutnya.
Ibunya terlihat tak tega juga. Matanya juga memerah karena menahan tangis.
“Mulai sekarang, uruslah hidup kamu dengan baik,” ujar Ibunya sebelum meninggalkannya sendiri.
Kenapa Julia? Kenapa bukan dia saja yang mati? Sepanjang sore yang bisa dilakukannya hanya menyesali diri. Dirinya sudah cukup terguncang saat mengetahui Julia sulit diselamatkan. Tadi, setelah mendengar Ibunya mengatakan Julia sudah tak ada lagi, hatinya hancur tak terselamatkan lagi.
Ini salahnya, salahnya! Kalau saja dia tak menuruti kata Julia hari itu, semua tak akan terjadi. Dia lebih baik melihat Julia cemberut seharian daripada harus kehilangannya selamanya.
Seolah tak cukup menyalahkan diri terus-menerus, Jerry bahkan membenturkan kepalanya beberapa kali ke dinding. Berharap dia tiba-tiba mati. Kalau perlu, dia ingin menukar nyawanya agar Julia bisa hidup kembali.
Suara telepon membuatnya melupakan sejenak penyesalannya. Dia terpaksa mengangkatnya karena yakin cuma dia satu-satunya orang di rumahnya saat ini.
“Halo, cari siapa?”
“Ini aku, Jer. Rian.”
Jerry menoleh ke arah luar. Rupanya sudah sore. Dia terlalu larut dalam kesedihannya sehingga tak menyadarinya.
“Kamu tak masuk tadi?”
“Julia, Rian ...,” ujar Jerry dan tangisnya tiba-tiba meledak. “Julia sudah tak ada. Aku ... rasanya aku ingin mati.”
“Ya, aku tau. Jerry, tunggu sebentar. Aku ke rumahmu sekarang.”
Jerry menjambak rambutnya. Lalu menutupi wajahnya. Dia kembali lagi bersedih seperti tadi. Hingga Adrian datang dia masih menangis pilu.
“Kau tenanglah, Jer. Semua sudah terjadi.”
“Tapi kenapa? Kenapa Julia? Kenapa bukan aku yang mati?”
Adrian terdiam mendengar keluh kesah Jerry. Hatinya trenyuh juga melihat kesedihan temannya. Seperti bukan Jerry yang dulu, ujarnya dalam hati. Kalau Jerry yang dulu, dia akan tertawa sinis melihat orang seperti ini. Tapi kini, justru dia yang begitu menyedihkan. Entah bagaimana pendapatnya melihat keadaannya sendiri. Memang benar kata orang, kalau tak merasakan sendiri maka tak akan mengerti.
“Aku rela mati mengantikan dia, Rian. Supaya dia bisa hidup lagi.”
Kata-katanya terdengar ngawur dan begitu bodoh. Jelas-jelas dia tahu itu tak mungkin. Tapi pada saat frustasi, orang memang bisa menjadi tidak rasional sama sekali. Adrian ingin menenangkannya, tapi tak tahu harus menggunakan cara apa.
“Aku tak mau hidup tapi menderita, Rian,” ujar Jerry terus dari tadi.
Kemudian akhirnya Jerry tediam juga. Mungkin capek dari tadi menyalahkan diri terus.
“Tenanglah. Kau tau sendiri apa yang baru kau katakan tak mungkin terjadi. Kau pikir, kalau Julia menjadi kau, apa yang akan dilakukannya? Kalau dia mau berkorban demi kau, apa kau akan senang? Tidak kan? Jadi coba kau pikir, apa Julia senang melihat kau yang sekarang.”
Perkataan Adrian seperti kejutan listrik. Membuat Jerry tertegun dan mulai menggunakan logikanya. Jika Julia jadi dirinya, apa yang akan dia lakukan? Apa Julia akan senang melihat dirinya yang sekarang? Benar juga kata Adrian. Menyalahkan diri terus menerus sungguh bodoh dan tak berguna. Tidak mengubah apa-apa kecuali rasa bersalah yang semakin bertambah. Lagipula hanya membuat orang lain khawatir.
Perlahan Jerry mengusap wajahnya. Kesedihan sudah tidak terlalu kelihatan di matanya meskipun masih terlihat merah. Dia menghirup napas seperti biasa, lalu menatap berkeliling. Matanya dipejamkan agak lama. Lalu terbuka lagi.
“Rian, terima kasih!”
Adrian memperlihatkan senyum khasnya. Mengangguk lalu menepuk pundak Jerry.
“Hadapilah kenyataan. Lakukan sesuatu dengan baik supaya penyesalan tak datang lagi.”
Jerry membalas senyumnya. Kemudian dia bangkit berdiri. Membuka pintu lalu berjalan ke tempat jemuran. Langit berwarna kejinggaan di ufuk barat. Sebentar lagi malam akan menjelang. Setelah itu pagi baru menyingsing. Lalu siang. Kemudian sore. Dan malam lagi.
Dia menutup matanya. Merasakan ketenangan yang ada. Semua kenangan indah bersama Julia berkelabat dalam kepalanya. Hanya dia sudah tidak lagi terlalu bersedih. Dia akan menghargai masa lalu yang yang indah sebagai hartanya. Dan akan mengenang Julia selamanya.
Bersambung ke: 2XLove (II) 1: Kota Kembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H