Sambungan dari: San Pek Eng Tay
Kejadiannya begitu cepat. Hingga sulit mempercayainya. Padahal mereka sudah begitu dekat. Bahkan bergandengan tangan. Jerry juga sempat memeluknya saat ombak menerjang mereka. Tapi ternyata ombak pun bisa mempermainkan mereka. Setelah membuat mereka begitu mesra, selanjutnya dengan terjangannya yang tak terduga, membuat jarak yang tak kasat mata.
Mereka semuanya sudah berada di atas kapal. Tinggal melepaskan tali penambat maka kapal segera melaju. Dan dia sama sekali tidak menyangka ada benturan yang begitu kuat. Buku yang sebelumnya dia pinjam dari Jerry dia letakkan di pinggiran kapal dan tercebur ke dalam laut. Tidak ada yang melompat mengambilnya karena buku itu jatuh dalam posisi yang membuatnya langsung tenggelam.
Julia melihat ke arah Jerry. Dia tampak panik tapi tak tahu harus berbuat apa.
“Jer, maaf!”
Jerry menoleh padanya, tersenyum. Tapi Julia tahu, itu pertama kalinya Jerry tersenyum terpaksa padanya.
“Tak apa-apa,” ujar Jerry padanya.
Kemudian Jerry berjalan menjauh. Menuju anjungan kapal yang sudah tidak panas seperti tadi pagi. Dia berbaur dengan beberapa teman laki-lakinya. Terdiam. Mungkin melamun, mungkin juga marah.
Julia kembali dari lamunannya dan menyadari matanya berkaca-kaca. Memikirkan Jerry menjauh darinya membuatnya hampir meneteskan air mata. Tapi segera diusapnya. Dia berusaha tegar. Menarik napas sekuat tenaga dan keluar dari kamarnya. Dia tak boleh di dalam kamar terus. Sendirian hanya membuatnya melamun sedih. Kehilangan orang yang disayangi dia masih bisa menerima. Tapi dijauhi, sungguh dia tak ingin ini terjadi.
*****
“Masih seperti tadi, Ma!” ujar Willy menghampiri Ibunya.
“Ya sudah, tak usah diganggu kalau begitu.”
Willy kembali ke atas. Sementara Ibunya kembali menatap layar televisi. Sebenarnya hatinya sedikit risau mengenai Jerry. Terkadang dia tidak mengerti anak remajanya ini. Tapi sudahlah. Jerry mungkin sedang dalam masa pertumbuhannya. Sebagai Ibu dia tidak bisa terlalu banyak mencampuri. Hanya bisa tetap mengawasi.
Willy yang datang dan pergi sebenarnya dia sadari. Tapi dia diam saja. Langit malam ini mirip dengan beberapa malam yang pernah dilihatnya. Gelap dan berselimutkan awan-awan putih yang bermencaran. Di beberapa sisi, sinar bintang tampak redup dan jauh. Tidak benderang seperti beberapa langit malam yang pernah dilihatnya. Langit malam memang bervariasi. Tergantung revolusi dan rotasi Bumi. Juga cuaca.
Langit malam ini pun seolah tahu perasaan di dadanya saat ini. Begitu rumit dengan gejolak yang berbenturan. Rasa senangnya seperti bintang yang bersinar redup. Kegundahan seperti awan yang menebar luas di angkasa. Dan ketidaktahuannya bagaimana mengatasi kedua perasaan yang berlawanan ini seperti langit malam yang gelap.
Awan pun diam-diam bergerak dan menghilang perlahan. Sinar bulan sabit mulai cerah. Di belakangnya muncul bintang-bintang kecil yang menyala. Jerry terkejut saat mendongakkan kepalanya. Bukankah sebelumnya langit begitu pasrah? Ah, ternyata itu kondisi sementara. Bukankah semunya bisa berubah? Seperti mungkin perasaannya.
Biarlah dia kehilangan bukunya. Tapi tidak orang yang disukainya. Seumur hidup, dia baru pertama kalinya menyukai perempuan. Jika dia tidak jadi menyukai Julia, kapan lagi ada perempuan yang akan disukainya? Rasa-rasanya juga tak mungkin. Sebab dia menyukai Julia karena suatu hal yang sulit dimengertinya.
*****
“Jer, bangun! Sudah jam enam lebih.”
Bayangan hitam di depan matanya perlahan membentuk wajah. Sedikit bulat mirip melon. Jerry tahu itu Willy. Dan begitu dia berdiri, Willy meninggalkan kamarnya.
Saat dia turun ke bawah, Willy sudah selesai sarapan. Kemudian dia duduk dan memakan semangkuk mie yang sudah mulai mengembang. Dia masih merasa mengantuk meski baru saja mandi. Kemarin malam dia berguling entah berapa kali sebelum akhirnya tertidur.
Ibunya menarik kursi di sampingnya. Meletakkan uang jajan di atas meja. Willy meraih bagiannya sambil meneguk susu terakhir di gelasnya. Sesudah itu dia berjalan keluar dan membuka pintu. Jerry melihat jam dinding dan buru-buru menghabiskan susunya.
“Pelan-pelan saja. Masih sempat kan.”
Jerry tidak menjawab. Mulutnya penuh dan kerongkongannya bergerak turun naik.
“Pergi dulu, Ma”
“Ya, hati-hati!”
Jerry segera berjalan keluar. Tas ranselnya digantung di pundak kanannya. Dia kemudian meraih kunci motornya yang digantung di dinding dekat pintu masuk. Willy tampaknya sudah siap di depan pintu pagar. Dia menyapa beberapa murid perempuan yang lewat. Jerry bisa melihat mereka cengar-cengir.
“Ma, pergi dulu,” ujar Willy.
Motor segera melaju pergi. Di belakang, Ibu mereka menutup pintu pagar. Mereka membelok ke kiri. Banyak becak, sepeda dan motor. Kebanyakan menuju sekolah di ujung jalan rumahnya. Waktu SD dia sekolah di sini. Karena dekat dengan rumah. Tapi kemudian orang tuanya khawatir karena sekolah ini banyak berandalan. Dia akhirnya pindah ke sekolah yang sekarang. Secara umum, sekolah ini adalah sekolah saingan mereka. Murid-muridnya bahkan banyak yang tak akur.
Bel berbunyi kira-kira tiga meter setelah motornya memasuki gerbang. Tapi dia tak terburu-buru. Hari ini Senin, jadi mereka harus upacara bendera. Kemudian bersama beberapa murid lainnya dia menaiki tangga. Hal pertama yang dilihatnya di dalam kelas adalah tempat duduk Julia masih kosong. Dia tidak peduli apakah teman-teman lainnya datang atau tidak. Begitu dia meletakkan tasnya dan berpaling, Julia masuk ke dalam. Kemudian teman-teman sekelasnya segera keluar setelah mengenakan topi di kepala mereka. Julia juga keluar bersama mereka.
Aduh! Ujarnya pada diri sendiri. Dia lupa bawa topi. Pasti dia lupa memasukkannya lagi ke dalam tas. Kemarin dia mengeluarkan semua barangnya sewaktu membawa tas ranselnya ke pulau Poncan. Dia melangkah keluar kelasnya dengan lunglai. Lalu berbaur bersama teman sekelasnya mengikuti upacara bendera. Tak lama kemudian seorang guru menegurnya dari belakang.
“Mana topimu? Tempatmu bukan di sini. Sana!”
Jerry berjalan menuju tempat yang ditunjuk guru tadi. Sudah ada beberapa murid di situ. Hampir semuanya tak pakai topi. Hanya dua orang saja yang tak pakai dasi. Justru sebaliknya mereka pakai topi. Ini aneh, pikir Jerry. Harusnya yang tak mereka bawa itu topi, bukan dasi. Bukankah dari Senin hingga Sabtu, sekolah mereka mewajibkan murid-muridnya mengenakan dasi?
Senior kelas tiga paling mendominasi dalam barisan ini. Memang setiap minggu selalu seperti ini. Mereka bahkan masih bisa tertawa-tawa dan berbicara seolah tidak ada masalah. Dan, lihatlah rambut mereka. Cukup panjang untuk mengganggu pandangan mata. Terkadang perlakuan di sekolah ini tidak merata. Padahal jelas-jelas rambut murid laki-laki panjangnya tak boleh lebih dari tiga sentimeter. Ini kan pilih kasih namanya.
“Eh, kudengar kemarin kau ke rumah Julia ya?”
Kuping Jerry sangatlah sensitif pada nama yang baru disebutkan mereka. Diam-diam dia menajamkan pendengarannya.
“Ya. Tapi cuma sebentar.”
“Kenapa? Kau tak jadi menembaknya?”
“Aku ditolak.”
“Hah! Kau tak tanya alasannya?”
“Ya. Dia bilang cuma anggap aku teman.”
“Cuma begitu?”
“Katanya dia suka orang lain. Sesudah itu dia bilang mau buat tugas. Jadi aku pulang.”
Jerry sedikit lega mendengar hasil akhirnya. Dia lalu melongok ke arah barisan kelasnya. Tapi dia tak bisa melihat Julia. Terhalang begitu banyaknya murid yang lain.
Jerry hanya bisa melihat barisan demi barisan bubar meninggalkan lapangan begitu upacara bendera selesai. Seorang guru datang menghampiri mereka. Ini guru BP yang beberapa hari lalu ditemui Jerry.
“Kenapa kalian tak pakai topi? Atau dasi?”
Tak ada yang menjawab. Semuanya menunduk merasa bersalah.
“Kenapa tak menjawab? Agus, kau kenapa tak pakai topi?”
“Hilang, Bu. Lupa beli lagi.”
“Terus kau kenapa lagi Ricky? Minggu lalu juga begini kan?”
“Lupa bawa lagi, Bu.”
“Kau pasti tak susun jadwal ya. Awas kalau minggu depan begini lagi. Kau Jerry?”
“Ketinggalan.”
“Kepalamu kenapa tak ketinggalan?”
Jerry lupa jawabannya pasti menjadi bumerang. Guru manapun pasti bertanya balik seperti ini kalau ada murid yang menjawab ‘ketinggalan’. Jerry bisa melihat murid-murid lain tersenyum geli mendengarnya. Senior kelas tiga malah ada yang tertawa.
“Siapa suruh tertawa?! Kalian ini ... Hey! Rambutmu bagus ya, Roby. Tapi lebih bagus lagi kalau pendek. Jerry, pergi ambil gunting di kantor Ibu!”
Jerry berlari secepatnya. Mampus! Makinya dalam hati. Kena juga senior yang sok jago itu. Enak saja dia memanjangkan rambut seperti itu. Dia mengetuk pintu beberapa kali. Tapi tak ada jawaban. Rupanya di kantor tidak ada satu pun guru. Pasti mereka sudah di kelas. Jerry mengambil gunting yang tergantung di dinding ruang guru BP. Beberapa hari yang lalu, dia sudah melihatnya saat harus diinterogasi karena bermasalah dengan Vera.
Dia segera berlari lagi begitu gunting berada dalam genggamannya.
“Kau masuklah ke kelas. Minggu depan jangan terulang lagi. Mengerti?!”
“Iya, Bu.”
Jerry segera berlari menuju tangga murid laki-laki. Dia terus melangkahi tiga anak tangga sekaligus karena yakin dia sudah terlalu terlambat. Akhirnya dia tiba di lantai kelasnya dengan nafas tersengal-sengal. Lalu menyandarkan dirinya sejenak di dinding.
Dia mengetuk pintu dan semua mata menoleh padanya. Guru yang sedang mengajar dengan buku di tangannya tidak beranjak dari tempatnya.
“Kenapa lagi kau? Sudahlah. Berdiri saja di luar,” ujar guru itu lalu kembali memandang murid-murid. Matanya berhenti sebentar pada Julia.
“Kamu sudah punya buku pelajarannya belum?” ujar guru itu kemudian.
Terlalu terkejut Julia hampir saja menggelengkan kepala. Tapi dia teringat sewaktu di sekolah lamanya, beberapa temannya kena marah karena menggeleng dan mengangguk saat ditanya guru.
“Belum, Pak.”
“Jerry, kau pinjamkan bukumu. Setelah itu, berdiri di luar dengan benar.”
Jerry segera masuk ke dalam kelas. Lalu mengeluarkan bukunya dan menyerahkannya pada Julia. Jerry memperlihatkan senyum hangat padanya. Kemudian melangkahkan kaki keluar kelas, berdiri di samping pintu masuk. Sementara Julia masih terkejut dengan senyum Jerry tadi. Jerry bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal dia berpikir Jerry masih marah padanya karena menjatuhkan bukunya ke laut.
*****
Julia bisa melihat Jerry yang sedang berdiri di dekat pintu. Wajahnya tampak samping tetap tampan dan menggetarkan hati. Kemudian dia melihat buku di mejanya. Ini buku Jerry. Kemarin sore, Jerry juga meminjamkan buku padanya. Tapi dasar sial, buku itu jatuh bahkan sebelum dia sempat membaca satu kata pun di dalamnya. Tapi kemarin setelah berbicara dengan orang tuanya, lega hatinya.
Saat dia sedang menonton tv, ibu dan ayahnya tiba-tiba datang menghampiri. Dia sedikit terkejut untuk bereaksi. Dia memang jarang bicara bertiga dengan orangtuanya. Saat di Bandung, saat orangtuanya berkunjung dari Jakarta, biasanya orangtuanya lebih banyak bicara dengan Neneknya.
“Julia. Mama mengganggu tidak?”
“Tidak, Ma. Ada apa?”
Ibunya tersenyum, sementara ayahnya telah duduk di kursi sofa sebelahnya.
“Sekolah barumu bagaimana?”
“Baik-baik saja, Ma.”
“Kamu betah kan di kota ini? Teman-teman kamu bagaimana?”
“Iya. Kota ini menyenangkan. Hanya sedikit panas. Teman-teman di sini juga baik.”
“Baguslah kalau begitu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja. Mama dan Papa tak bisa bantu kalau kamu tak bicara.”
Julia mengangguk saja. Dia tak tahu saat ini menginginkan apa. Tapi tiba-tiba dia teringat buku Jerry yang jatuh ke laut.
“Ma, ....” ujar Julia tampak ragu sejenak.
“Ada apa? Ayo, katakan saja.”
“Tadi sore tak sengaja Julia menjatuhkan buku teman. Katanya di kota ini buku-buku tak lengkap. Jadi Julia tak tahu harus bagaimana.”
Tiba-tiba ayahnya mengubah posisinya. Rupanya dari tadi dia tidak hanya duduk saja. Diam-diam dia ternyata mendengarkan pembicaraan mereka.
“Papa punya kenalan yang buka toko buku di Jakarta. Kamu kasih tahu Papa judulnya, besok Papa tanyakan.”
“Judulnya San Pek Eng Tay, Pa.” Ujar Julia tak berani menatap langsung padanya.
“Ya sudah. Kamu butuh buku apa lagi? Nanti sekalian Papa tanyakan.”
“Itu saja. Terima kasih, Pa.”
“Hmm,” gumam Ayahnya.
Setelah itu mereka diam saja. Sama-sama menatap layar tv. Tapi Julia tidak benar-benar menonton. Dia merasa beku di tengah-tengah orang tuanya. Tapi dia tak berani meninggalkan orang tuanya. Mereka sangat jarang punya waktu bersama. Dulu karena dia tinggal bersama Neneknya sejak kecil. Sekarang karena ayahnya cukup sibuk dengan pekerjaannya. Juga karena Julia menghindari mereka. Rupanya tumbuh jauh dari orangtua membuat hubungan mereka cukup berjarak. Dia bahkan tak tahu berapa kali memanggil ayahnya. Dari kecil hingga sekarang, mungkin bisa dihitung dengan jari.
Bel berbunyi menyadarkan Julia dari lamunannya. Dia melihat Jerry kini tertunduk mendengarkan teguran gurunya. Tapi dia tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Seluruh kelas sudah mulai berisik dan beberapa murid mulai berjalan keluar kelas. Karena itu juga, saat Jerry berjalan masuk, mereka tidak bisa saling menatap. Dia kembali menatap buku di atas mejanya. Dia bimbang harus berbuat apa. Akhirnya dia berdiri juga. Kemudian berjalan menuju tempat Jerry. Jerry sedang bicara dengan Wennendy. Tapi Wennendy melihat Julia menghampiri Jerry lalu menganggukkan kepala ke arah belakang Jerry.
“Jer, ini bukunya. Terima kasih ya.”
“Hmm. Kamu belum punya buku pelajaran?”
“Belum,” ujar Julia tersenyum.
“Aku tau tempat jualnya. Mau ditemani?”
“Eh, ya. Kapan?”
“Kapan kamu bisa saja.”
“Ok. Aku kabari nanti.”
“Hmm.”
Julia tersenyum sekali lagi. Lalu menjauh. Baru kali ini dia seperti ini. Dengan pria lain dia tak pernah segrogi ini. Jantungnya pun berdebar tak karuan. Dia pikir mungkin Jerry bisa mendengarnya. Tapi untunglah. Jerry tersenyum padanya. Senyum khasnya yang begitu ... ah, susah dijelaskan. Julia, kembali menemukan senyum dalam hatinya. Dan dia merasa begitu gembira.
*****
Telepon berdering namun Jerry membiarkannya saja. Dia sedang asyik bermain game. Rumah mereka seperti kebanyakan rumah bertingkat lainnya, memasang telepon pararel. Ibunya ada di lantai bawah jadi pasti mendengarnya juga. Tak lama kemudian, terdengar suara Ibunya memanggil.
“Jerry! Jer ....”
“Apa, ma?!”
“Ada telepon buat kamu.”
Jerry segera beringsut dari tempatnya. Dia mengangkat telepon di ujung meja, di sebelah lemari televisi.
“Ya, halo....”
“Jerry!? Ini Julia.”
“Hai, Jul ..., ada apa?”
“Ehm, besok sore kita tak ada ekstrakurikuler. Kamu bisa temani aku pergi beli buku?”
“Tentu saja bisa. Aku sudah janji kan.”
“Iya ya. Eh, kamu sudah buat tugas Akuntansi? Kalau sudah aku mau pinjam bukunya.”
“Hah? Ada tugas? Kumpulnya kapan? Besok?”
“Ya, besok. Kamu belum bikin?”
“Hah?! Aku malah baru tau. Eh, kerjakan bersama yuk?!”
“Ok. Tapi aku tak terlalu bisa. Nanti kamu ajari ya.”
“Hahaha. Aku? Ajari kamu? Kamu tak becanda kan?”
“Tidak. Memangnya kenapa?”
“Aku tak yakin bisa. Justru aku mau minta kamu ajari.”
“Oh, begitu. Ya sudah.”
“Aku ke rumah kamu sekarang.”
“Ok. Bye!
“Bye!”
Willy muncul saat Jerry meletakkan gagang telepon. Jerry melihatnya sekilas.
“Wil, kau save dulu ya. Aku mau pergi,” ujar Jerry menunjuk layar tv lalu segera masuk ke kamarnya.
Suara televisi terdengar cukup jelas saat Jerry tiba di ruang tamu. Ibunya kemudian menoleh padanya.
“Mau pergi ke mana, Jer?”
“Ke rumah teman. Buat tugas.”
“Oh... hati-hati ya!”
“Hmm.”
Jerry menyelipkan bukunya di punggung lalu perlahan motornya bergerak menjauhi rumahnya. Motornya bergerak cukup cepat hingga hanya puluhan detik, simpang jalan rumah Julia sudah kelihatan. Dia baru menurunkan kecepatan sesudah jarak rumah Julia tersisa sekitar tiga puluh meter. Ada orang yang sedang duduk di teras rumahnya. Ibu dan ayah Julia. Jerry segera mengangguk hormat. Ibu Julia membalas sambil tersenyum sementara ayah Julia hanya mengangguk pelan saja.
“Julia-nya ada, Tante?”
“Ada. Tunggu sebentar, ya!” ujar Ibu Julia sambil berdiri dari tempat duduknya. “Julia...!” serunya beberapa kali.
Tak lama kemudian seorang gadis cantik keluar. Dia tersenyum pada Jerry. Jerry merasa senang sekaligus lega.
“Pa, Ma, kami belajar dulu,” pamit Julia pada ayah ibunya. Jerry berdiri di belakangnya sambil tersenyum.
“Ya, sayang,” jawab Ibunya.
Jerry berjalan mengikuti di belakang Julia.
“Duduk dulu, Jer. Aku ambil buku dulu.”
“Hmm.”
Jerry duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Segalanya tampak baru. Bahkan aroma furniture baru masih cukup kental. Bau cat di dinding, lemari yang memisahkan ruang tamu dengan ruang entah apa di baliknya, hingga meja kayu di hadapannya. Semuanya memancarkan kilauan baru yang begitu indah. Tapi begitu Julia muncul di hadapannya, semua furniture baru tampak tak menarik lagi. Senyumnya mengalahkan semua hal yang ingin dilihat Jerry.
Jerry bisa menebak Julia baru saja keramas. Rambutnya masih tampak sedikit basah dan aroma shampoo begitu semerbak di ruang tamu itu. Apalagi jarak mereka yang begitu dekat karena mereka duduk bersebelahan. Di sisi wajahnya yang menghadap Jerry, Julia menyisipkan rambutnya ke telinga. Sementara sebelah lainnya dibiarkan tergerai. Jerry curi-curi pandang beberapa kali ke arahnya. Karena itu juga dia jadi sulit konsentrasi. Kemudian saat Julia menoleh padanya dia jadi salah tingkah.
“Coba lihat punyamu,” ujar Julia. “Lho, kenapa cuma sepuluh kolom? Harusnya sebelas.”
“Eh? Masa sih? Padahal aku lihat punya kamu.”
“Enggak. Punyaku ada sebelas. Satu, dua, tiga, lima, tujuh ..., nah kan! Ada sebelas.”
“Wah, masa buat ulang lagi. Ah....”
“Ya sudah, sini aku buatkan. Kamu buatnya tak rapi. Kan bisa pengaruhi nilai.”
“Tak apa-apalah. Cuma sedikit. Eh, terus aku buat apa?”
“Ehm..., kamu cari jawabannya saja. Bisa kan?”
“Kalau satu sampai tiga masih bisa. Eh, tapi tulisanku jelek. Mau kutulis langsung di bukumu atau bagaimana?”
“Tak apa-apa. Langsung tulis saja.”
Jerry tak berkata apa-apa lagi. Dilihatnya Julia mulai sibuk menggaris dan menggaris di bukunya. Tangannya begitu cekatan. Jari-jarinya lentik dan kecil. Dia semakin terpesona pada Julia. Pertama karena Julia begitu baik. Kedua, Julia tidak banyak menuntut. Ketiga, Julia percaya padanya. Terus yang terakhir, Julia, semakin dilihat semakin cantik.
*****
Ternyata beritanya tersebar begitu cepat. Memang benar-benar kota gosip. Mulai dari murid kelas satu hingga kelas tiga mungkin semuanya sudah tahu. Mungkin karena ini soal asmara yang memang lekat dengan usia sekolah, makanya kabar ini begitu hangat berhembus. Julia mulai jengah dengan tingkah laku teman-teman sekelasnya yang menggodanya. Banyak yang mulai bertanya hal yang bukan urusan mereka. Untung Lini datang membantunya.
“Sudah, sudah! Buat apa kalian tanya ini itu? “ usai berkata begitu, mereka segera keluar kelas.
Jerry masih belum beranjak dari tempat duduknya. Hatinya gerah juga melihat teman-temannya. Kenapa begitu suka campur urusan orang?
“Jer!”
Jerry menoleh dan dilihatnya Wandy dan Andre menatapnya. Di sudut belakang kelas kini tinggal mereka bertiga. Wennendy dan Hendrik sudah pergi dari tadi.
“Kenapa?”
“Kau sudah tau?”
“Apa?”
“Julia menolak Jimmy. Anak IPA.”
“Hmm,” gumam Jerry sambil mengangguk.
Wandy dan Andre saling tatap. Lalu tersenyum padanya.
“Kenapa kalian?”
“Oh, tak apa-apa. Kemarin malam kami jalan-jalan. Beberapa kali lewat jalan Imam Bonjol. Dan, motor kamu ada di sana.”
Jerry terdiam sejenak. Sedikit terkejut mendengar perkataan Wandy barusan. Namun dia pura-pura tak peduli.
“Kalian seperti orang kurang kerjaan. Memata-matai orang.”
“Enak saja. Kebetulan kita lewat situ. Lagipula kenapa kau masih pura-pura? Aku, Andre sama Lini sudah tau kok.”
Jerry tak segera menjawab. Dia tampak sedikit gelisah sekarang.
“Ehm, siapa saja yang tahu?”
“Untuk sementara mungkin masih empat orang.”
“Empat? Siapa satu lagi?”
“Pacar Lini, Adrian, teman baik kau.”
Jerry sedikit lega mendengarnya.
“Kau tak mau menembak Julia?”
“Taruhan. Potong leher kalau kau ditolaknya,” sahut Andre.
“Sudahlah. Tak usah dibahas. Kalian masih ingat kejadian tahun lalu? Aku tak mau sampai tak bicara lagi sama Julia gara-gara gosip sembarangan. Tolong kalian jangan kasih tau yang lain. Ok? Kalian temanku. Semoga kalian bisa jaga rahasia.”
Wandy mengangkat bahunya sementara Andre menggaruk belakang lehernya. Mereka teringat lagi masalah tahun lalu. Waktu itu mereka kelas satu. Ada murid perempuan baru di kelas mereka. Gadis yang manis. Waktu itu Jerry sempat mengajaknya bicara. Kemudian mereka dijodohkan murid-murid yang lain. Memang dasar gadis itu suka, jadi dia tak masalah. Masalah justru pada Jerry. Dia merasa di antara mereka tak ada apa-apa. Karena itu dia kesal dengan teman-teman yang mengganggunya. Dia tidak bicara lagi dengan gadis itu. Malah selalu menjauh setiap kali bertemu dengannya. Dan Jerry betul-betul tidak memikirkan perasaan gadis itu. Hingga akhirnya gadis itu menangis di depannya. Minggu berikutnya gadis itu sudah pindah sekolah.
Jerry berjalan keluar kelas meninggalkan Wandy dan Andre. Seperti biasa, dia berdiri di sudut gedung menikmati hembusan angin laut bersama murid-murid lainnya.
“Hei! Sedang apa?”
Jerry menoleh dan dilihatnya Vera sudah berada di sampingnya. Tak jauh di sampingnya, Melvi dan Yenni berlagak tak melihatnya. Jerry benar-benar tak menyadari kehadiran mereka.
“Biasa. Lihat-lihat laut.”
Sebenarnya bagi beberapa murid tak ada menariknya melihat laut. Kebanyakan murid berdiri di sini hanya untuk mengusir rasa bosan selama di kelas. Atau mungkin melamun dalam buaian angin laut yang mengelus. Dan Jerry tahu Vera kurang tertarik memandang laut. Tapi tetap dia menjawabnya begitu. Itu jawaban yang umum dan wajar. Sebenarnya dia sedang memperhatikan laut. Menurutnya laut setiap hari tampak sama tapi juga berbeda.
“Oh. Seru juga di sini. Anginnya cukup kencang ya.”
“Hmm,” gumam Jerry sambil mengangguk.
“Eh, kemarin malam kau pergi?”
“Ya. Kenapa?”
“Enggak. Kemarin aku telpon. Kata Mamamu kau lagi pergi. Memangnya kau ke mana?”
“Buat tugas.”
“Oh. Di mana?”
“Di rumah Julia.”
Bibir yang tadinya tampak melengkung di wajah Vera perlahan mulai datar kembali. Air mukanya begitu cepat berubah seperti cuaca cerah yang tiba-tiba gelap tertutup awan. Pandangan matanya pun membuang ke lain arah. Dan Jerry sadar sudah ceroboh bercerita. Bukannya dia menyesal karena melihat ekspresi Vera yang segera berubah. Tapi karena dia tahu dia sudah menambah jumlah orang yang tahu rahasia kedekatannya dengan Julia.
“Ya sudah. Aku ke kelas dulu ya.”
Jerry mengangguk. Vera tidak menatapnya. Sepertinya dia menyesal berada di sini. Diam-diam Jerry berharap Vera tidak cerita pada yang lain.
Sepanjang siang Jerry hanya diam saja. Julia tidak menunjukkan reaksi yang berbeda. Dia masih suka menoleh ke belakang dan tersenyum padanya. Dan ekspresinya seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal kabar dia menolak senior kelas tiga sudah diketahui hampir satu sekolah. Kemarin saat mendengar langsung dari senior kelas tiganya, Jerry merasa begitu senang dan puas. Tapi entah kenapa hari ini, terutama saat begitu banyak yang membicarakannya, dia jadi berpikir kembali. Dan semakin dipikir, dia semakin berkecil hati. Seandainya dia yang ditolak, bagaimana kira-kira reaksinya? Ya, meski teman-temannya mengatakan Julia memperhatikannya, tapi tak ada jaminan kalau Julia tak akan menolaknya. Bukankah perempuan begitu susah ditebak?
Bel berbunyi dan Jerry segera merapikan buku-bukunya. Setelah selesai penghormatan, guru di kelas segera berjalan keluar. Julia mengangkat tangannya setinggi dagu dan melipat jari jempolnya sehingga memperlihatkan empat jemari tangannya yang lentik. Jerry tersenyum dan mengangguk singkat sebelum akhirnya murid-murid yang lain menghalangi pandangannya ke arah Julia. Saat Jerry menoleh lagi ke arahnya, Julia sudah hilang. Dia mungkin sudah jalan turun bersama Lini. Biasanya mereka pulang bersama. Rumah mereka cukup dekat. Kira-kira dari ujung ke ujung jalan yang jaraknya tak lebih dari dua ratus meter.
*****
Saat jam empat, matahari sudah mulai bersembunyi di balik gunung-gunung. Dengan motor, sebentar saja mereka sudah sampai di sebuah rumah toko. Terlihat dari jalan cukup sepi. Hanya ada tulisan di spanduk yang dibentangkan sekenanya, ‘Di sini jual buku pelajaran terbitan Erlangga, Intan Pariwara dan Tiga serangkai’. Semuanya buku pelajaran. Tak ada novel atau komik satu pun di toko ini.
Kemudian mereka mampir di warung minuman di pinggir jalan.
“Kamu sudah pernah minum ini?” tanya Jerry.
“Belum. Apa ini?”
“Air tebu.”
“Hmm..., enak juga,” ujar Julia setelah tenggakan pertamanya.
“Di Bandung tak ada?”
“Engga tau. Belum pernah lihat. Berapa?” ujar Julia pada penjualnya.
“E-eh ...,” ujar Jerry menggelengkan kepalanya. Kemudian dia menyodorkan uangnya pada penjualnya.
“Tak apa-apa. Kamu sudah temani aku beli buku. Jadi ...”
“Tak usah. Lain kali saja. Yuk!”
Si penjual hanya tersenyum saja. Sementara Julia tak tahu harus bagaimana lagi. Dia segera mengikuti Jerry naik ke atas motor. Mereka melaju dengan pelan sekali. Apalagi jarak rumahnya hanya sedikit lagi. Tiba-tiba suara klakson motor dari belakang mengagetkan mereka.
“Ayo, kalian sedang apa?”
Jerry dan Julia menoleh. Teman-teman mereka kini sudah berjejer di samping mereka. Wandy dan Andre berada di satu motor. Di sampingnya ada Wennendy.
“Oii! Barusan pergi beli buku,” sahut Jerry.
“Oh, begitu!?” mereka bertiga serentak menjawab dan tersenyum menggoda.
“Terus, sekarang mau kemana?” ujar Andre.
“Mau antar Julia pulang.”
Julia hanya tersenyum saja. Tidak menyangka ada yang menghampiri mereka.
“Eh, buat apa cepat-cepat pulang? Ayolah, Jul. Kita jalan-jalan dulu sebentar,” ujar Wandy.
Julia masih tersenyum dan tak menjawab.
“Oi, Jer. Kenapa diam saja?” tanya Andre.
“Tanya Julia saja.”
“Jul, bagaimana?” tanya Wandy.
“Terserah kamu saja, Jer.”
“Ya sudah. Rumah kamu sudah dekat. Kamu simpan bukunya dulu. Repot kalau dibawa-bawa.”
“Nah, begitu baru benar!” sahut Andre.
Mereka berhenti sebentar di depan rumah Julia, lalu segera berangkat lagi begitu Julia naik kembali ke boncengan. Wennendy memimpin di depan. Sementara motor Wandy dan Andre menempel cukup rapat dengan motor Jerry. Mereka tersenyum-senyum usil. Dan ini membuat Jerry gerah. Dia lalu menarik gas motor lebih dalam dan dalam sekejap menyusul Wennendy di depan. Tapi itu hanya sementara. Begitu Wandy memperdalam tarikan gasnya, dia kembali menempel di sisi Jerry. Akhirnya Jerry menyerah. Dia pura-pura tak melihat senyum-senyum tolol kedua temannya. Mereka juga menggoda Julia. Tapi Jerry tak bisa melihat reaksinya.
*****
Meski tak seramai hari sebelumnya, kabar Julia menolak senior kelas tiga masih dibahas beberapa orang murid. Tapi teman-teman sekelasnya sudah tidak lagi. Mereka ternyata kompak juga. Begitu tahu Julia terganggu dengan kabar seperti itu, mereka pun diam. Selama ini Julia ramah dan baik terhadap teman-teman sekelasnya. Jadi tak ada lagi yang tega mengusiknya.
Setelah hampir sepagian mendung, sekitar jam sebelas siang akhirnya turun hujan juga. Cuma sebentar saja. Sisanya gerimis yang cukup lama. Tapi di atas jam tiga, saat masuk ekstrakurikuler, sinar matahari kembali perkasa. Membawa suasana gerah di dalam kelas.
Tapi secara keseluruhan, hari ini waktu cepat berlalu. Tak ada kejadian seru kecuali Hendrik yang dimarahi guru. Ini gara-gara dia menulis pesan di secarik kertas dan dioper ke meja Susi oleh teman-temannya. Ternyata Susi enggan menerimanya. Dan kebetulan saat itu mata guru yang mengajar cukup jeli. Hendrik disuruh membacakan isi pesan di kertas itu. Semua murid yang mendengarnya tertawa mengolok-oloknya. Susi menunduk dan mukanya merah padam. Entah besok Hendrik masih akan dihiraukannya atau tidak.
Jerry segera turun ke bawah begitu selesai mandi. Ibunya sedang menyiapkan makan malam.
“Willy ke mana, Ma?”
“Lagi ke tetangga sebelah.”
Jerry cuma mengangguk dan menyapukan pandangannya di ruangan itu.
“Kamu juga sekali-kali main ke sana donk. Sudah lama kamu tak ke sana. Padahal waktu kecil kamu akrab dengan mereka.”
Jerry masih diam saja. Tidak terlalu mendengarkan perkataan Ibunya. Baginya itu masa lalu. Sekarang semua sudah berbeda. Apalagi mereka sudah tak satu sekolah. Beda usia, juga beda jenis kelamin. Seingatnya sejak SLTP dia sudah tak bicara padanya. Dan itu bertahan sampai kini.
Tiba-tiba telepon berbunyi. Jerry segera berjalan menghampiri. Tapi begitu dia sampai, teleponnya mendadak berhenti berbunyi. Dia kemudian duduk di sofa. Menunggu. Tak lama kemudian teleponnya berbunyi lagi.
“Halo! Cari siapa?”
“Lisa ada?”
“Ada. Tunggu sebentar ya.”
Jerry segera berjalan menuju dapur. Dilihatnya Ibunya hampir selesai menyiapkan makan malam.
“Ma, ada telpon buat Mama.”
“Dari siapa?”
“Tak tau.”
Ibunya lalu berjalan menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Willy kembali. Dia langsung menuju dapur. Dan segera meletakkan komik di atas meja makan. Jerry sedikit penasaran dan mengambil satu buku.
Hah! Apa ini? Serial cantik! Jerry memberenggut kesal ke arah adiknya. Apa karena terlalu banyak bergaul dengan perempuan, maka bacaannya jadi berbau perempuan?
“Ceritanya bagus,” ujar Willy sambil lalu.
Jerry hanya mendengus mengejek.
“Tak percaya? Ini kisah pria yang disukai banyak gadis cantik. Tapi pria itu menyukai gadis yang baru dikenalnya.”
Jerry tertegun mendengarnya. Ada ketertarikan yang timbul di hatinya setelah mendengar cerita Willy.
“Terus akhirnya bagaimana?”
“Baca saja sendiri!”
Jerry tetap diam saja. Kemudian Ibunya menghampiri mereka. Setelah seluruh makanan terhidang, mereka mulai makan. Jerry masih melirik beberapa kali ke arah komik itu. Hanya gengsi saja yang mencegahnya membolak-balik halaman demi halaman di komik itu.
*****
Wandy mengajak mereka jalan-jalan lagi sore ini. Kali ini ditambah Adrian dan Lini. Jerry mengangguk saja dan Julia menjawab dengan senyum. Setelah itu mereka turun ke kantin bersama. Yang laki-laki biasanya jarang makan di meja, tapi karena ada Lini dan Julia, mereka bersedia juga. Beberapa murid laki-laki lewat dan menyapa Julia. Dan semua sapaan mereka dibalas Julia. Jerry memang diam saja. Tapi sebenarnya dia merasa sedikit cemburu.
“Eh, teringatnya, kenapa kau punya ide jalan-jalan?” tanya Lini pada Wandy.
“Aku memang sering mutar-mutar sama Andre. Tapi hari Selasa, Eh ketemu mereka berdua,” sahut Wandy sambil mengangguk ke arah Julia dan Jerry.
Jerry tersenyum sambil menatap arah lain sementara Julia menunduk dengan senyum dikulum.
“Bilangnya sih habis beli buku,” tambah Andre. “tapi memang benar,” lanjutnya kemudian.
“Makanya sekalian saja kita jalan-jalan. Lumayan kan kalau lagi tak ada kerjaan.”
“Ah, kau memang selalu tak ada kerjaan,” canda Lini.
Mereka sama-sama tertawa. Tak peduli apakah mengganggu orang yang makan di meja sebelah. Tak lama kemudian Vera dan temannya datang menghampiri.
“Halo, ada apa kumpul-kumpul di sini?”
Makan! Itu kan tak perlu ditanya lagi. Jelas-jelas ada piring dan gelas minuman di atas meja. Wandy terlihat paling tak menghiraukan kehadiran mereka. Adrian dan Jerry hanya diam dan saling tatap sekilas.
“Begini, Ver. Nanti sore mau jalan-jalan naik motor.”
“Oh, jam berapa? Eh, boleh ikut tidak?”
“Jam lima. Ikut saja. Ya, Dre?”
“Terserah. Tapi motornya sudah pas.”
“Tak apa. Aku sama Melvi saja.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Ok. Sampai ketemu nanti. Jer, pergi dulu ya!”
“Eh?! Hmm ....”
Semua mata kini menatap pada Jerry. Padahal dia sendiri tak mengerti kenapa Vera pamit padanya. Dia hanya menggaruk kepalanya dan tak tahu harus berkata apa. Julia juga menatapnya sekilas. Sekarang gilirannya yang diresapi perasaan cemburu.
“Payah si Lini ini!” ujar Wandy kesal.
“Tau tuh,” sambung Wennendy.
“Eh, kenapa?” tanya orang yang disebut namanya.
“Harusnya kau tak cerita sama Vera,” ujar Adrian menjelaskan. Dia juga tampak kurang senang.
“Aduh, sori! Aku lupa kalian tak suka sama mereka. Terus bagaimana sekarang?”
“Mau bagaimana lagi?” Ujar Wandy balik bertanya.
“Sudahlah. Biarkan saja dia ikut,” ujar Andre yang memang paling netral. Dia sebenarnya cukup dekat juga dengan Vera.
Mereka kembali terdiam. Mencoba menikmati makanan mereka kembali. Dan tak lama kemudian bel tanda masuk pun berbunyi.
*****
Begitu turun dari becak, Julia cepat-cepat masuk ke dalam rumahnya. Matahari begitu terik dan sebentar saja, panasnya terasa begitu menyengat. Dia meletakkan sepatunya di rak dan segera berjalan masuk ke dalam kamarnya. Begitu keluar dia sudah mengganti baju seragamnya dengan baju biasa. Dia tertegun sejenak ketika baru menyadari ada sebuah bungkusan di atas meja. Untuk ayahnya. Dia kemudian berjalan ke arah dapur.
Beberapa lama kemudian dia kembali ke ruang tamu. Matanya spontan menatap kembali bungkusan di atas meja. Dia penasaran apa isinya.
Dia masuk lagi ke kamar. Hawa siang hari terasa gerah di dalam kamarnya. Lalu dia menyalakan ac dan mulai berbaring. Tapi kemudian dia berdiri lagi. Diambilnya jam weker dan disetelnya jam empat tepat. Setelah itu dia merebahkan dirinya dan memulai memejamkan mata. Dia tertidur tak lama setelah itu.
*****
Jerry dan Adrian sedang sibuk bermain game saat telepon di ruangan itu tiba-tiba berbunyi. Ibunya masih di toko dan Willy sedang les. Jadi cuma dia yang tersisa di rumah untuk mengangkat telepon.
“Ya! Halo!”
“Halo! Ini Jerry?”
“Hmm. Ini siapa?”
“Vera. Eh, nanti sore jadi jalan-jalannya?”
“Jadi. Kenapa?”
“Ehm, kamu sama siapa?”
“Mungkin sama Julia.”
“Oh. Ya sudah kalau begitu. Bye!”
“Bye!”
Jerry kembali duduk di samping Adrian. Begitu tombol start di tekan, permainan mereka dilanjutkan kembali.
“Dari siapa?”
“Vera.”
“Oh. Dia tanya soal jalan-jalan nanti?”
“Hmm.”
Mereka kembali sibuk dalam pertandingan mereka. Sibuk mengoper bola dari satu pemain ke pemain lain untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Dan ketika sepuluh menit menjelang jam lima, suara motor terdengar dari depan rumahnya.
“Mereka sudah datang,” ujar Jerry.
Serta merta mereka bangkit berdiri dan berjalan turun ke bawah. Adrian membuka pintu dan terlihat Wandy yang berbadan paling besar membonceng Yuni. Dan Wennendy membonceng Andre.
Begitu Jerry dan Adrian menghidupkan motor, mereka segera berangkat lagi. Kata Andre Vera menunggu di rumah Lini bersama Melvi. Jadi mereka lebih dulu singgah di rumah Julia. Mereka cuma singgah sebentar karena Julia sudah siap dari tadi.
“Wow, cantik sekali. Mau ke mana nih?” goda Andre.
Yang lain ikut tertawa menggodanya. Dan Jerry tersenyum padanya. Karena itu Julia segera naik keboncengannya.
“Hmm-ehm,” guman Wandy dan lagi-lagi mengundang tawa yang lain.
Jerry mulai jengah dengan tingkah teman-temannya. Wajahnya tampak memerah. Tapi Julia tak bisa melihat wajah Jerry yang memerah. Sebaliknya Jerry tak bisa melihat Julia yang tersipu malu.
Motor mereka kembali melaju. Cuma sebentar mereka sudah tiba di depan rumah Lini. Rupanya mereka bertiga sudah menunggu. Lini segera naik ke boncengan Adrian dan mereka segera berangkat. Wennendy dan Andre berjalan paling depan. Di susul berurutan Wandy dan Yuni. Jerry dan Julia bersebelahan dengan Adrian dan Lini. Melvi dan Vera berada paling belakang.
Mereka sempat bercanda dan saling mengejek beberapa saat, lalu berhenti sebentar di warung. Kemudian mereka melanjutkan lagi ke arah lapangan balai kota. Banyak yang sedang berolah raga di sana. Mulai sepak bola, sepak takraw, volley hingga ber-jogging ria. Mereka juga melewati jembatan dan terlihat sungai dengan batu-batu cukup besar di pinggir dan tengahnya. Airnya yang berwarna coklat paling dalam mungkin hanya sepinggang orang dewasa. Ada anak-anak kecil yang sedang mandi di sana. Mereka telanjang bulat dan dijadikan lelucon oleh teman-teman Jerry.
Mereka akhirnya bubar sekitar jam setengah tujuh. Langit masih cukup terang di kota ini. Jerry mengantar Julia hingga di depan rumahnya. Tiba-tiba Ibunya memanggil sebelum dia sempat mengucapkan salam perpisahan.
“Tunggu sebentar ya, Jer.”
Jerry mengangguk dan segera mematikan mesin motornya. Kemudian dia melihat Julia keluar dengan wajah berseri-seri, tangannya dilipat kebelakang dan dia terus tersenyum. Jerry sama sekali tidak mengerti dengan keceriaan di wajah Julia.
“Ada apa?”
Julia masih tersenyum. Lalu dia menatap Jerry dalam-dalam.
“Nanti malam kamu ada kerjaan tidak?”
“Tak ada. Kenapa?”
“Ehm, aku dengar mie goreng di rumah makan Juwita enak ya?”
“Hmm. Enak. Tapi paling enak nasi gorengnya. Sebelumnya kan aku mengajakmu makan di sana.”
Julia mengangguk dengan senyum dikulum.
“Kamu mau makan sana lagi?” ujarnya kemudian.
“Mau sekali. Aku jemput kamu jam tujuh. Bagaimana?”
Julia mengangguk cepat. Kali ini dia tersenyum lepas dan begitu berseri.
“Ya sudah, sampai ketemu nanti,” ujar Jerry.
“Ok!”
Julia menatap punggung Jerry yang semakin lama semakin terlihat menjauh dan akhirnya hilang. Dia segera berlari ke dalam dan membuka bungkusan yang menjadi sumber kegembiraannya. Tulisan San Pek Eng Tay yang berwarna merah tampak begitu jelas di sampulnya yang berwarna gading. Dia lalu membawanya masuk ke kamarnya. Dan mulai sibuk mencari kertas pembungkus sebelum akhirnya dia memilih warna biru muda. Kemudian dengan hati-hati, dia menuliskan sesuatu di atas kertas warna biru muda itu. Just for Jerry. Dia menjadi semakin berseri lagi begitu meletakkan penanya. Berulang-kali dia menatap bungkusan yang sengaja dibuatnya serapi mungkin. Dia lalu keluar lagi dari kamarnya. Ayahnya kebetulan lewat dan dia sedikit kaget.
“Pa, terima kasih bukunya,” ujarnya masih sedikit berkesan segan.
“Hmm!” gumam Ayahnya.
Dia kemudian melanjutkan langkahnya menuju belakang rumahnya.
“Ma, aku pergi makan dengan temanku ya,” ujarnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
“Jam berapa?”
“Sebentar lagi. Kalau dia datang, suruh tunggu saja.”
“Ya sudah.”
*****
Jerry segera mematikan mesin motornya begitu tiba di depan rumah Julia. Julia terlihat sedang duduk menunggunya sambil membelakangi jalan. Jerry berjalan dengan langkah sehalus mungkin. Karena itu Julia tidak menyadari ada orang di belakangnya.
“Hmm, lagi melamun ya?”
Julia tampak kaget begitu dia menoleh ke arah suara yang menegurnya.
“Oh, enggak kok,” jawab Julia tersipu.
“Hmm, yang benar?”
“Iya. Memangnya aku melamun apa?”
“Mana ku tau. Yang melamun kan kamu ….”
“Tapi aku tidak melamun ….”
Jerry terus menatap Julia dengan senyum yang ditahan. Perlahan wajah Julia bersemu merah dan dia menundukkan kepalanya. Meski senyum Jerry begitu manis, tapi terkadang terasa begitu menjengkelkan karena dengan senyum itu juga dia menggoda Julia habis-habisan. Tapi meski begitu, Julia tidak bisa tidak membalas senyum itu.
“Ya sudah. Kamu sudah lapar kan?”
Julia mengangguk dan Jerry segera mengajaknya menuju motornya. Mereka pergi ke rumah makan yang sama dengan sebelumnya. Dan kebanyakan remaja memang suka makan di sini. Tapi kali ini seluruh meja penuh. Jadi terpaksa mereka menunggu dulu. Rumah Wandy tak jauh dari sini. Mungkin sekitar lima puluh meter. Jerry was-was juga kalau tiba-tiba Wandy muncul dan menggodanya.
Jerry segera mengajak Julia pindah begitu ada tempat kosong.
“Kamu mau mie goreng kan?”
“Ya. Kamu?”
“Sama. Biar lebih cepat. Mie goreng dua ya,” ujarnya pada pelayan yang berdiri di samping meja mereka.
Mereka kembali terdiam. Julia meletakkan kedua tangannya di bawah meja. Dan pandangan matanya tampak begitu tertarik pada meja kayu pesegi di hadapannya. Kemudian saat dia menatap lurus ke depan, Jerry tersenyum padanya.
“Kamu lihat apa?”
Julia tersenyum dan menggeleng.
“Mama dan Papa kamu tak marah kalau kamu sering keluar makan? Sepertinya Papa kamu galak ya?”
“Enggak. Aku juga baru keluar makan dua kali.”
Jerry tertegun mendengarnya. Kalau dua kali, berarti selama ini Julia hanya keluar dengannya. Pembicaraannya beberapa waktu yang lalu dengan Wandy dan Andre kembali berputar di kepalanya. Dia selama ini berpikir kedua temannya hanya asal bicara saja.
“Ehm, katanya Papa kamu kerja di bank. Dari Jakarta kenapa bisa ke kota kecil ini?”
“Kata Mama, sebenarnya Papa mau dipindahkan ke cabang Medan atau Surabaya. Waktu itu Papa ingin di Surabaya. Tapi katanya di Sumatera Utara lebih butuh bantuannya. Kemudian Papa menghubungi mantan teman-teman kuliahnya yang berada di Sumatera Utara. Eh, tau ada yang di Sibolga, dia malah minta dipindahkan di Sibolga. Atasan Papa awalnya tak bersedia. Tapi Papa bersikeras. Kalau dia mau dipindahkan di Sumatera Utara, dia cuma mau di Sibolga. Kalau tidak, ya Surabaya.”
“Oh, begitu. Ternyata Papamu keras juga ya.”
Julia hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Jerry. Sepertinya ada yang kurang tepat kedengarannya.
“Ini, silakan!”
Perhatian mereka segera teralihkan saat pelayan meletakkan dua piring mie goreng yang masih panas. Aromanya memancing derasnya air ludah.
“Yuk, makan!” ujar Jerry.
Julia mengangguk dan mengangkat sumpit dari piringnya.
“Kenyang tidak?” tanya Jerry saat Julia sudah naik ke boncengan.
“Ya. Mienya benar-benar enak. Di Bandung tak ada yang seperti ini.”
“Hmm, kamu belum makan di tempat satu lagi. Kalau sudah, kamu pasti ketagihan.”
“Oh ya? di mana?”
“Persis di depan Juwita. Tapi kalau malam tutup.”
“Oh begitu.”
“Mau ke sana? Lain kali, kalau siang kita ke sana.”
“Mau!”
“Kamu ternyata suka makan juga. Tak takut gendut?”
“Hah?! Aku kelihatan gendut ya?”
“Tidak. Cuma tanya saja. Bisanya perempuan takut gendut”
“Memang iya.”
Julia tersenyum-senyum sendiri. Dan untung Jerry tak bisa melihatnya. Kalau tidak dia akan malu sekali. Motor Jerry mulai melambat dan berhenti di depan rumahnya.
“Jer! Tunggu sebentar ya,” ujar Julia saat turun dari motor dan segera melangkah masuk. Tapi kemudian dia berbalik lagi. “Ehm, kamu mau masuk? Atau duduk di teras?” katanya kemudian.
Jerry turun dari motornya dan mengikuti langkah Julia. Kemudian dia duduk di kursi kayu di samping pintu masuk. Tak berapa lama kemudian Julia keluar.
“Jer! Ini buat kamu.”
Jerry tertegun menatap gadis di depannya. Dia tak tahu kenapa Julia tiba-tiba menyodorkan sesuatu padanya. Tapi tangannya refleks menerima bungkusan itu dari tangan Julia. Dia masih tampak bingung. Saat dia menatap kembali wajah Julia, hanya anggukan dan senyuman yang dilihatnya di wajah gadis itu.
Just for Jerry! Jerry mengenali tulisan ini. Rapi dan indah. Kemudian tangannya perlahan meraba sudut bungkusan dan melepaskan selotip yang menempel di atas kertas. Dia sedikit grogi karena Julia tampak mengawasinya. Kemudian setelah muncul tulisan merah pada kertas berwarna gading, dia menatap lagi pada Julia. Sekarang Julia tersenyum penuh arti. Senyum yang bisa dilihatnya dalam hitungan jari. Sebenarnya Jerry ingin menghambur berdiri dan mendekap gadis cantik di hadapannya kini. Tapi dia tak seberani itu. Karena itu, dia juga tersenyum. Senyum yang melebihi untaian makna kata-kata. Senyum yang sepadan dengan makna-makna tak kasat mata yang baru diperlihatkan Julia.
“Kamu sudah baca?” tanya Jerry akhirnya.
Julia bergerak duduk di kursi sebelahnya. Dia menggeleng dan tersenyum.
“Kalau begitu aku pinjamkan lagi padamu,” ujar Jerry menyodorkan buku itu kepada Julia. “Eh, tunggu sebentar. Aku pinjam pulpen kamu sebentar,” ujarnya kemudian.
Julia segera masuk ke dalam dan keluar lagi membawa pulpen. Dia kini berdiri di samping Jerry. Penasaran apa yang ingin dituliskan Jerry.
Hal yang paling sulit dijaga adalah kesetiaan. Apalagi tidak diketahui hasil akhirnya. Karena itu jangan terburu-buru mengikat janji setia. Sebab, hanya segelintir orang saja yang mengerti apa itu setia.
Herry Limawan
Jerry menutup pulpennya dan menyerahkannya bersama buku itu pada Julia. Julia membacanya penuh perhatian.
“Wah, dalam sekali maknanya. Eh, Siapa Herry Limawan?”
“Almarhum Papaku. Itu tulisannya. Dan aku sudah hapal luar kepala.”
Julia kembali mengangguk dan tersenyum. Dia mendekap buku itu di dadanya.
Langit malam terasa sepi. Bintang-bintang hanya ada beberapa saja. Dan rembulan mengintip melalui tirai awan putih. Hanya ada suara jangkrik yang yang merayakan indahnya suasana hati mereka berdua.
Bersambung ke: Kekalutan Hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H