Mohon tunggu...
Hugo Hardianto
Hugo Hardianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terkadang ketiak yang masih basah menanti untuk diangin-anginkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Kereta Cepat yang Sering Kita Naiki, Kutemukan Gugusanmu

6 Mei 2015   06:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kau tahu bahwa aku tidak percaya Tuhan sejak hari pertama kau datang padaku, dan kamu menyukainya.”

Kekasih, kau datang bak hujan di siang bolong. Kau datang padaku tanpa pemberitahuan, dan dari sekian banyak waktu baik yang kumiliki, kau memilih masa terkelam dalam perjalanan hidupku. Kau hadir bak bidadari. Sedangkan aku bau tahi. Kau menyembah Tuhan yang pasti, sedangkan aku hanya ingin cepat mati.

Kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki waktu itu. Di kereta itu kau menatapku pertama kali, dan aku memutuskan untuk menjadi pengantinmu. Kau masih berada dalam balutan seragam sekolah, sekolah menengah tampaknya. Kau tersenyum kecil saat kukedipkan kelopak mataku ke arahmu. Tanpa basa-basi kau langsung duduk di sampingku dan menguarkan aura bidadari yang kau miliki.

“Aku tahu kau tidak bisa bicara, bukan karena apa-apa, tapi sedari tadi kau tidak pernah berdoa,” tembakmu ketika pantatmu yang mengkal menyentuh kursi kereta di sampingku. Kau sangat lihai, kekasih. Kau gemar menyerangku dengan kata-kata, bahkan semenjak pertama kita bertemu. Padahal kau tahu, kata-kata adalah kelemahan terbesarku. Memang saat itu di dalam kereta semua orang berdoa, karena mereka takut pada Tuhan, yang sewaktu-waktu bisa saja mengambil nyawa mereka. Tapi kau tahu aku berbeda, karena itulah kau datang padaku waktu itu. Aku yakin.

Kekasih, tak sadarkah kau bahwa waktu berjalan begitu cepat bagi kita? Pernyataanmu waktu di kereta itu membawamu melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam hidupku yang kelam. Kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki waktu itu. Kita jadi lebih sering bertemu di kereta untuk berdialog. Bermonolog sebenarnya menurutku, karena kau akan banyak bercerita tentang Tuhanmu dan aku mendengarkan. Tapi kau suka menyebutnya dialog, dan aku suka kau.

Oleh karena itu setiap Jumat sore kau akan naik kereta ke barat. Pada stasiun ketiga kereta akan berhenti dan membiarkan aku memagut kecantikanmu di gerbong keenam. Kita akan berkendara hingga kereta sampai di stasiun terakhir. Setelah itu dengan sabar kau akan menungguku bicara selama semalam, lantas mengambil kereta pertama di pagi hari dan berangkat pulang.

Kau tahu aku sangat suka ketika kau bicara tentang Tuhanmu. Padahal di sisi lain kau tahu bahwa aku tidak pernah percaya Tuhan. “Kenapa sih kamu ga percaya Tuhan? Belum ketemu konsep Tuhan yang pas?” cercamu suatu kali. Mungkin kau bosan bercerita, atau sebenarnya sudah sejak lama kau mencoba untuk mempengaruhiku agar percaya pada Tuhan. Tapi pun selama ini kau tak pernah mendapat jawab dariku. Kau tentu tahu bahwa selama pertemuan kita aku tak pernah bicara. Aku tak pernah menanggapi cerita tentang Tuhanmu, karena aku memang tak pernah bicara, dan tak pernah percaya Tuhan. Maka, ketika kau melihat bahwa aku hanya bisa menggeleng saat itu, kau marah besar. Kau kemudian mengumpat, “Anjing,” meludahi mukaku, dan turun di stasiun kelima.

Kekasih, mungkin kau tidak tahu betapa aku sedih saat itu. Kau meninggalkanku di stasiun kelima, padahal hingga stasiun terakhir, masih ada sembilan stasiun yang harus kutempuh. Andai saja kau tahu, di stasiun kesembilan aku tak kuat lagi menahan kesedihan. Aku terjatuh dan terantuk bantalan rel ketika hendak keluar dari kereta. Inilah kali ketiga aku jatuh dari kereta. Setelah itu tentu kau tahu ceritanya. Dua bulan aku terdiam di rumah sakit, tak sanggup berangkat naik kereta cepat demi bertemu denganmu.

Kekasih, kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki itu. Dua tahun sejak pertemuan pertama kita membawaku pada kedalaman hatimu. Ingatkah kau, di Jumat sore ke-103 kita tidak menunggu kereta berhenti di stasiun terakhir? Di stasiun ketiga, di tempat biasa aku menunggu kedatanganmu dalam kereta, kau langsung bergegas turun. Sembari memelukku erat, kau berbisik nakal di telingaku, “Setubuhi aku.”

Kau lihat aku mengernyit senang saat itu. Sebenarnya aku bertanya-tanya, di manakah Tuhanmu yang melindungi engkau, yang menjaga apa yang orang bilang keperawanan. Tapi matamu adalah mata yang sakral, mata bidadari yang tak bercela. Maka saat itu kau tahu bahwa aku percaya Tuhanmu ada padamu, dan Ia tidak akan membiarkan kau ternoda. Cintamu mutlak adanya, dan keperawananmu tetaplah suci melekat di tempatnya.

Kau bergegas menarikku keluar dari stasiun. Tidak jauh, kau hanya membawaku memutar ke semak di belakang. Setelah memastikan tak ada orang yang curiga, kau memagutku dalam. Kau menyentuh pipiku, meremas tanganku dengan gemas. Kukumu yang panjang menujam punggungku, kakimu yang semampai mengait erat pada selangkanganku. Maka teringatlah aku pada kidung yang kau ceritakan tempo dulu, kidung dari Tuhanmu yang Maha Romantis.

Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau! Bagaikan merpati matamu di balik telekungmu. Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead. Bagaikan seutas pita kirmizi bibirmu, dan elok mulutmu. Bagaikan belahan buah delima pelipisku di balik telekungmu. Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung.

Kau bergerak begitu cepat. Kau melepas bajumu, celanamu, kutangmu, dan cawatmu yang tipis. Tapi sangat cepat kau melepas semuanya, secepat itu pula kau menutupi tubuhmu dan berbalik daripadaku. “Aku takut, aku malu. Aku belum pernah setelanjang ini di depan laki-laki,” ucapmu sambil menangis. Ah kekasih, bukankah kau yang menginginkan persetubuhan ini? Jika kau takut, baiklah kita pulang saja dan minum sirup. Aku sungguh tak ingin membuatmu bercela.

Sebentar kemudian kau berbalik, kau memelukku erat. Masih sambil menangis kau berbisik padaku, “Bersetubuhlah denganku, pelan-pelan.” Maka kulakukan apa yang kau minta. Aku bersetubuh denganmu, bukan menyetubuhimu. Aku melakukannya sangat pelan, agar kau dapat melakukannya dengan pelan juga. Pada titik itu aku tahu kemurnianmu mutlak adanya.

Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disengangi. Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya. Kataku: “Aku ingin memanjat pohon korma itu dan memegang gugusan-gugusannya. Kiranya buah dadamu seperti gugusan anggur dan nafas hidungmu seperti buah apel. Kata-katamu manis bagaikan anggur!” kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju.

Kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki waktu itu kekasih. Di kereta tersebut, pada tahun keenam kita bersama, kau mendengar kabar yang menyesakkan hatimu. Saat itu Jumat sore ke-315, kita sedang menunggu fajar merekah di ufuk timur. Kau membawa televisi saku yang kau temukan di negeri orang. Kita menghabiskan malam sembari menonton gambar yang disajikan kotak itu pada mata kita yang lelah. Aku hampir tertidur ketika kau sontak berteriak histeris.

“Ada apa?” tanyaku penasaran. Mungkin saat itu jadi saat pertama aku bicara padamu. Tapi kau terlalu histeris saat itu, sehingga kau pasti tidak sadar bahwa aku telah bicara padamu. “Ada peristiwa bom bunuh diri di negeri kita, ratusan orang mati karenanya,” kau menjawab cepat saja. Bola matamu yang indah bergerak lebih cepat dari biasanya. Telingamu yang mungil berkonsentrasi mendengarkan apa yang diucapkan oleh pembawa berita dalam televisi saku tersebut.

Teroris kini telah hadir di negeri kita. Ratusan orang tak bersalah kehilangan nyawa karena ledakan bom yang dipasang di tubuh anggota teroris itu. Bom bunuh diri, orang banyak menyebutnya demikian. Kau terdiam, lantas menangis.

Aku tahu hatimu yang murni tidak sanggup melihat orang lain terluka. Engkau tidak akan membiarkan kejahatan berkembang di dunia. Engkau akan selalu berusaha menghadirkan kasih Tuhanmu, yang begitu kau percayai, di dunia yang semakin gila. Tapi malam itu matamu yang indah tak lagi memancarkan Tuhan di kedalamannya. Kau tak lagi bicara setelah itu. Paginya, ketika kita mengambil kereta pertama untuk kembali ke rumah, kau menamparku dan tidak pernah kembali lagi.

Kekasih, apa yang sebenarnya kau rasakan? Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Mengapa kau tinggalkan daku? Bukankah selama ini kau selalu bersamaku? Lantas kenapa kini kau pergi dariku?

Kekasih, kutemukan jawabnya di kereta cepat yang sering kita naiki. Dua bulan setelah engkau menampar dan meninggalkanku seharusnya masih bisa kau temukan aku duduk diam di kereta kita. Andai kau tahu aku tidak ingin meninggalkan kebiasaan berkereta setiap Jumat sore, menyusuri empat belas stasiun dan berhenti demi memandangi malam. Pagi hari, seperti kau tahu, aku akan mengambil kereta pertama dan kembali ke rumah.

Selama hidup denganmu aku belajar mendengar dan mendengarkan. Telingaku terlatih dengan baik dalam menyerap informasi dari kata-kata yang mengambang di udara. Andai kau tahu, selama dua bulan setelah peristiwa bom bunuh diri di negeri kita, para penumpang kereta kita tak pernah berhenti berdiskusi tentang teroris. Mereka selalu bercerita dengan berapi-api, kadang dengan emosi. Beberapa dari mereka berkelahi, kebanyakan lebih sering makan hati.

Kau mau tahu apa yang mereka perdebatkan? Mereka berkata bahwa peristiwa bom bunuh diri itu didalangi oleh para aktivis agama yang berjuang demi Tuhan mereka. Mereka adalah pembela agama yang tidak takut mati demi kebenaran. Para teroris adalah orang suci yang mati demi Tuhan dan agama. Tapi ada juga orang yang menolak. “Teroris itu hanya sekumpulan keparat tak tahu diri. Mereka hanya sekumpulan orang tak beragama. Apanya yang membela agama? Aku berani bersumpah demi Tuhanku, tak ada agama yang meminta umatnya membunuh orang lain,” tegas seorang muda suatu kali. Paginya, ketika aku kembali ke rumah, kutemukan pemuda itu mati di stasiun kedua belas.

Kekasih, aku tahu apa yang sebenarnya kau rasakan saat kau mendengar berita teroris itu. Pemikiranmu tentang teroris tentu lebih jauh dari para penumpang kereta kita. Kau tentu tidak akan setuju dengan mereka yang percaya bahwa teroris itu suci. Kau tentu juga akan berpikir lebih jauh dari sekadar menganggap teroris adalah kumpulan orang tak beragama. Kau menamparku, karena kau percaya bahwa para teroris sebenarnya bukan sekadar orang tak beragama. Lebih dari itu, kau pasti menganggap teroris adalah sekumpulan orang yang tak percaya pada Tuhan, sama seperti diriku. Kau tidak pernah kembali lagi, karena kau tahu Tuhanmu tidak pernah menyakiti manusia. Oleh karena itu, kebencianmu pada orang yang tak percaya Tuhan kau limpahkan padaku.

Tidak mengapa kekasih. Kau tidak harus datang lagi padaku. Kau tak harus takut merasa bersalah padaku. Seharusnya kau tahu, aku mengampunimu, karena kau sebenarnya tidak tahu apa yang kau lakukan padaku. Kau cintaku, gugusanmu yang menjadi gairah cintaku.

Kekasih, tentunya kau ingat kereta cepat yang sering kita naiki. Saat ini aku sedang berada di dalamnya, pada Jumat sore ke-363 sejak pertemuan pertama kita. Aku tidak lagi menunggu malam, dan pagi, dan cinta yang tidak akan mati. Aku pun tidak bisa terus-terusan menunggu engkau yang tak akan pernah kembali. Saat ini, aku hanya akan menunggu panggilan Tuhan di sore hari, agar segera selesai tugasku di dunia sebagai orang yang tak percaya Tuhan,  agar lengkap anggapanmu tentang orang yang tak bertuhan, agar segera selesai ketidakpercayaanku pada Tuhanmu, Tuhan mereka, Tuhan kita.

***

Berita Jumat tengah malam: Sebuah ledakan terjadi di kereta cepat Lepas Bebas pada Jumat sore tadi. Diduga kuat ledakan berasal dari bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang penumpang kereta cepat. Peristiwa ini masih diselidiki lebih jauh oleh polisi apakah memiliki kaitan dengan jaringan teroris yang beraksi di seluruh negeri. Ledakan tersebut mengakibatkan 27 orang meninggal dunia dan 15 lainnya luka-luka. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun