Apa kabar para pembaca Kompasiana seluruh Indonesia?
Dalam tulisan kali ini, saya kembali pada kaidah kritis dan ringan. Tentunya kalau Anda semua membaca tulisan ini, maka saya berharap ada bisikan dalam benak masing-masing yang berkata, "iya, juga ya!". Seperti halnya tulisan saya yang lain, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan sesuatu, tetapi cukuplah menggelitik kesadaran masing-masing dari Anda.Â
Dalam dunia edukasi yang terhimpit pandemik selama 2 tahun terakhir ini, pilihan daring menjadi menu utama. Para pendidik se-Indonesia kalau boleh dikatakan begitu, mencoba meluaskan pengetahuan, pengalaman dan relasinya dengan mengikuti pelatihan daring. Tidak hanya pelatihan. daring, tetapi juga grup-grup media sosial yang fokus pada pendidikan. Termasuk saya yang diundang ke sebuah grup besar beranggotakan para pendidik dari Indonesia barat hingga timur.
Sekian lama mengamati, maka daya sampai pada kesimpulan "kasar" bahwa pelatihan daring yang banyak diikuti para pendidik bermuara pada dua hal. Dua hal itu adalah pelatihan yang dibutuhkan dan pelatihan yang menjadi trend. Pelatihan yang menjadi trend ini tampaknya adalah pelatihan yang menjadikan pesertanya sampai kepada "pengakuan" melek teknologi. Sementara pelatihan yang dibutuhkan, membuat peserta menjadi makin terbuka pandangan dan tentu saja kreatifitasnya. Nah, apakah salah satu lebih unggul dari yang lain? Tidak juga. Keduanya menjadi semacam saling melengkapi. Namun kurang seru kalau tidak ditambahkan, "hanya saja" dalam tulisan ini, bukan?
Di sini saya akan tambahkan si "hanya saja". Hanya saja, kedua model pelatihan daring tadi menjadi pilihan para pendidik. Para pendidik mempunyai pilihan untuk mengambil yang bisa berguna bagi pembelajaran bersama anak didik, atau separuh-separuh alias fifty-fifty, orang London bilang. Mengerti mana pelatihan yang dibutuhkan, tentunya berawal dari judul atau tema pelatihan dan keterangan yang berkaitan dengan pelatihan itu sendiri. Pelatihan yang dibutuhkan, tentunya juga disaring oleh calon peserta dalam hal ini pendidik untuk melihat kecocokan dengan karakter tempat pendidik mengajar. Di sini ada letak skala prioritas yang harus didahulukan.Â
Sementara itu, bagaimana dengan ikut pelatihan yang menjadi trend? Apakah salah? Tidak juga. Hal yang perlu diingat adalah apakah pendidik melihat pelatihan itu nantinya akan berguna secara instan atau masih dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, banyak pendidik yang melihat masa depan dan reward lainnya. Apa itu? Sertifikat pelatihan. Dengan sertifikat pelatihan, pendidik bisa mendapatkan semacam pengakuan keahlian tertentu, bukan?Â
Semoga Anda yang membaca tidak mengerenyitkan dahi untuk mulai berpikir. Karena saya akan tutup tulisan singkat ini dengan memberikan satu pemikiran kepada Anda semua. Pemikiran itu sederhana saja. Saya menuangkannya dalam sebuah pertanyaan sederhana. Pertanyaannya: Bagaimana pendidik menempatkan dirinya dalam menyikapi kebutuhan pelatihan sebagai wujud pengembangan diri dan pembelajar sepanjang hayat?Â
Tentunya, Anda bisa menjawabnya sembari nyeruput teh atau kopi Anda di pagi atau sore hari. Boleh ditemani singkong goreng atau sekedar kacang rebus. Kalau sedikit millennial, bolehlah french fries!Â
salam gelitik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H