Mohon tunggu...
Hugo Gian Siswodarmodjo
Hugo Gian Siswodarmodjo Mohon Tunggu... -

hanya sebatas ingin menambah informasi bagi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hujan, Tayangan Gosip, Kerjabakti dan Komunikasi Lingkungan

16 Februari 2015   20:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14240681211523563078

Hujan lebat sedang menimpa bumi. Halaman menjadi basah. Itu karena hujan mengandung banyak air. Untung saja ada teknologi bernama genteng. Darman jadi tetap bisa memandang mbak-mbak cantik pemandu acara gosip selebriti di televisi. Langsung saja imajinasi Darman menerawang mengenai mbak tersebut. Menerawang sangat jauh sekali. Tentang apa merk pasta gigi yang digunakan si Mbak? Habis giginya putih bersih, beda dengan gigi Darman.

Saya yang baru bangun tidur langsung menuju ke ruang televisi. Badan saya basah kuyup. Itu karena rumah saya beda dengan rumah Darman. Bahasa kekiniannya, saya itu tetangganya. Jadi terpaksa harus hujan-hujanan dulu.

“Eh ngapain kamu kesini? Ngapain juga masuk? Bajumu itu masih basah,” Darman menyelak.

“Oh iya, tentu saja basah. Soalnya di luar hujan.”

“Anak SD juga tahu soal itu,” Darman galak juga. Itu karena ibadahnya terganggu. “Mau apa kemari?” katanya sambil mengambil pisau. Rasanya dia mau mengupas mangga.

“Sekarang kan waktunya kerja bakti Man. Musim hujan seperti ini biasanya rawan longsor. Instruksi Pak Dukuh kemarin ngomong,  hari ini kita akan buat gorong-gorong.”

“Ah gila kamu. Lihat di luar itu sedang hujan.”

Saya melihat ke luar jendela. Tiba-tiba hujan berhenti. Ini sering terjadi di Indonesia juga. Hujan dikala terik matahari. Serta mendadak terang dikala hujan. Hal ini sering terjadi di kota-kota besar dan sedang eksis di pinggiran-pinggiran kota.

“Tuh Mas Darman, hujannya sudah berhenti.”

“Ah tak lah. Saya sedang asyik ini. Tuh Mbaknya di TV bilang jangan ke mana- mana dulu setelah pariwara berikut ini. Eh ngomong-ngomong mau mangga tidak?”

“Tidak Mas Darman. Lebih baik simpan mangga itu. Saya tidak terima sogokan. Lagian Mas Darman apa tidak tahu bahwa daerah kita sekarang statusnya sudah siaga terhadap bencana longsor?”

“Tahu dari mana kamu? Jangan sok tahu!”

“Eh Mas Darman, kemarin Mbak Sulasih yang jadi penyiar radio mengatakan hal tersebut. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah, daerah kita memang rawan longsor.”

“Oh begitu ya?” Darman tetap mengupas buah mangga. Tentu saja dengan menggunakan telinga. Maksudnya dia menggunakan telinga untuk mendengarkan apa yang saya katakan.

“Iya Mas Darman, nah makanya kurangi nonton berita gosip. Ikutilah berita soal apa yang menimpa daerah kita sendiri. Terutama isu soal lingkungan. Kata Anwar yang sekarang sedang kuliah di kota, sekarang itu sedang eksis mata kuliah yang namanya environmental communication atau komunikasi lingkungan.”

“Apa itu?”

“Nah begini Mas Darman, kalau saya tidak lupa apa yang dikatakan oleh Anwar. Waktu itu dia menceritakan soal Robert Cox, salah satu Profesor Emeritus di Universitas North Carolina yang mempunyai konsen di bidang komunikasi lingkungan ini. Dia menyatakan bahwa komunikasi lingkungan itu mengenai penyampaian informasi yang berkaitan dengan isu-isu seputar lingkungan. Seperti misalnya pemanasan global atau habitat dari mahluk hidup (Cox, 2010; hal 20).

Contoh dari komunikasi lingkungan itu sendiri meliputi kajian retorika dan wacana mengenai lingkungan. Lebih spesifik lagi itu seperti kampanye soal lingkungan. Kalau yang kemarin itu misalnya kampanye mengenai 3M untuk mencegah merebaknya nyamuk malaria. Nah, ada juga seperti pemberitaan soal lingkungan. Seperti yang saya dengar di radio yang penyiarnya Mbak Sulasih itu. Berita soal daerah kita yang rawan longsor. Ada juga mengenai partisipasi publik dalam aspek lingkungan. Misalnya jajak pendapat yang dilakukan WWF mengenai tanggapan masyarakat terhadap para calon legislatif tentang bagaimana cara caleg menyikapi soal isu lingkungan.

Sejauh ini fungsi dari komunikasi lingkungan bisa dilihat sebagai fungsi secara pragmatic dan constitutive (Cox, 2010; hal 20). Secara pragmatic komunikasi lingkungan memberikan edukasi, peringatan, persuasi, dan juga membantu untuk memecahkan permasalahan soal lingkungan. Misalnya Mbak Sulasih mengabarkan kita melalui radio. Nah, itu peringatan kepada kita untuk kemudian lebih waspada terhadap bencana longsor.

Kalau secara constitutive, lingkungan ditempatkan sebagai sebuah subjek yang kemudian dijabarkan kembali permasalahannya. Kemudian dari permasalahan tersebut nantinya akan ditarik sebuah pemahaman bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap lingkungan. Misalnya isu soal fenomena penambangan pasir ilegal di bantaran sungai. Nah, nanti komunikasi lingkungan akan membahas fenomena tersebut dan mengkaji sebuah solusi. Jadi memang komunikasi lingkungan tidak bisa dilepaskan dari unsur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hal itu dikarenakan unsur-unsur tersebut yang memberikan motivasi bagaimana manusia berlaku terhadap lingkungannya.

Cox juga menambahkan tiga tema mendasar dari bukunya “Environmental Communication and The Public Sphere” yaitu 1) komunikasi sebagai sebuah bentuk dari aksi simbolik, 2) sistem kepercayaan, perilaku, dan kebiasaan terkait dengan alam dan permasalahan lingkungan termediasi dengan komunikasi, 3) ruang publik merupakan sebuah tempat di mana terdapat lahan untuk berkomunikasi mengenai lingkungan (Cox, 2010; hal 23).

Sebenarnya Mas Darman berada di rumah sambil lihat acara gosip ini juga merupakan salah satu permasalahan yang dikaji di komunikasi lingkungan. “

Darman berdiri. Dia ambil pisau. Dipegangnya pisau tersebut erat-erat. Dia menunjuk ke arah saya dengan pisaunya, “tolong donk ambilin mangga lagi di piring dalam rak”.

Saya menuruti secara otomatis. Mangga saya dapatkan. Saya serahkan kepada Darman. Dia menerimanya. Kemudian duduk dan asyik lagi mengupas kulit mangga.

“Memangnya benar saya lihat acara gosip itu termasuk dalam komunikasi lingkungan? Jangan-jangan kamu ngelantur karena syaraf otakmu luntur kena air hujan?”

“Eh tidak Mas Darman. Sekarang saya tanya sehari-hari Mas Darman lihat televisi tidak?”

“Jelas lihat. Sekarang bintangnya semakin cantik-cantik.”

“Nah, Mas Darman apakah juga mengikuti perkembangan soal informasi lingkungan?”

Darman seperti berpikir keras. “Rasanya cuma waktu di berita, soal Jakarta banjir. Itu saja.”

“Begitu Mas Darman, acara di televisi yang dilihat oleh Mas Darman dianggap masih kurang untuk menyampaikan informasi seputar lingkungan. Paling minim hanya muncul di berita. Maklum sekarang program televisi sedang berebut ruang. Rata-rata yang muncul adalah tayangan yang kurang informatif. Acara hiburan yang tidak jelas. Mas Darman saja tidak tahu kan kalau daerah kita sekarang sedang status siaga rawan bencana longsor?”

“Iya sih, kebanyakan update informasi soal Jakarta melulu. Lalu dampaknya apalagi?”

“Dampaknya adalah Mas Darman menjadi tidak tergerak untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Lebih memilih nonton acara gosip daripada ikut kerja bakti.”

“Heh, itu karena di luar kan hujan.”

“Tapi sekarang sudah terang lho Mas Darman.”

Darman hanya tersenyum kecut. Mungkin tertular oleh rasa mangga yang habis dimakannya. Kemudian dia mematikan televisi. Dia yang gantian mengajak saya untuk kerja bakti. Saya hanya menurut, soalnya Darman membawa cangkul. Arit yang saya bawa pun hanya kepunyaan Darman. Jadi tak enak juga kalau menolak ajakannya.

Sebenarnya saya agak tidak enak juga dengan Darman. Ini adalah hari Sabtu, padahal saya baru ingat barusan bahwa kerja bakti diadakan di hari Minggu. Aduh, saya sudah salah hari dan tanggal. Lihat, Darman sudah menunggu di perempatan jalan desa. Dia menunggu penduduk yang lainnya. Aduh, maafkan saya Darman. Saya akhirnya memilih diam saja, tak enak membicarakannya. Akhirnya kita menunggu terus dan terus hingga suara adzan menyuruh kami secara halus untuk pulang.

“Mas Darman rasanya kerja bakti baru diadakan besok,” akhirnya saya memberanikan diri untuk bicara.

“Oalah, asyuuww juga kamu. Kalau gitu sekarang kita datangi rumah penduduk satu-satu,” kata Mas Darman sambil membawa cangkul.

“Untuk apa?”

“Kita ajak semuanya untuk kerja bakti besok pagi. Saya yakin besok banyak yang tidak datang. Habisnya ada pertandingan tinju di televisi.”

Saya hanya mengangguk. Tanda setuju.

Daftar Pustaka

Cox, Robert. 2010. Environmental Communication and the Public Sphere. Sage Publication, California.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun