Generasi Z, sebagai penerus Generasi Milenial, menjadi subjek perbincangan intens terkait etika dan adab. Pew Research Center menetapkan bahwa generasi Milenial lahir antara tahun 1981 dan 1996, sedangkan Generasi Z mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 dan pertengahan 2010. Artikel-artikel kompasiana yang dimuat sejak tahun 2023 telah menyoroti kekhawatiran terhadap etika Generasi Z. Pada artikel Retizen, dikatakan kelunturan beretika dari Generasi Z disebabkan karena digitalisasi.
Sebagai seorang penulis, saya agak kurang setuju jika dikatakan bahwa seluruh Generasi Z kekurangan etika. Di sisi lain, saya merasa setuju dengan pernyataan tersebut setelah mengamati perilaku teman-teman sebaya di sekolah dan membaca komentar-komentar di media sosial. Teknologi, khususnya gadget, sering dianggap sebagai penyebab potensial ketidakmoralan Generasi Z. Meskipun begitu, perlu diakui bahwa teknologi juga dapat berfungsi sebagai alat edukasi yang memperluas pengetahuan mereka.
Ketidakmoralan Generasi Z tampaknya disebabkan oleh kurangnya interaksi tatap muka, di mana gadget telah menjadi teman setia mereka sejak kecil. Oleh karena itu, pengenalan teknologi dan dunia maya ini secara otomatis berpengaruh signifikan pada perkembangan kehidupan dan kepribadian mereka. Namun, penting untuk menyadari bahwa tidak selamanya kedekatan Generasi Z dengan teknologi memberikan manfaat. Kondisi ini terlihat jelas dalam lingkungan sekitar, di mana masih banyak terjadi krisis norma moral dan etika dari Generasi Z terhadap manusia lainnya.
Selain itu, peran orang tua dan pendidik memiliki dampak signifikan dalam membentuk nilai-nilai dan etika anak-anak. Sementara beberapa Generasi Z mungkin terlalu terpapar teknologi, tanggung jawab mendidik mereka tetap menjadi tugas utama orang tua dan masyarakat pendidikan. Terlepas dari pandangan negatif, ada aspek positif yang perlu dicatat. Banyak Generasi Z aktif di media sosial, tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk menyuarakan isu-isu sosial dan mempromosikan nilai-nilai positif.
Menurut jurnal filsafat yang ditulis oleh Ribka Priskilla Magan, Martin, dan Vincent Anggara, Generasi Z merupakan kaum yang paling familiar dengan gawai atau gadget. Â Berdasarkan studi yang dilakukan, ditemukan bahwa Generasi Z sadar terhadap etika komunikasi yang berlaku dalam penggunaan media sosial. Terdapat tiga jenis etika yang berhubungan erat dengan etika komunikasi, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan etika kefilsafatan. Penggunaan etika komunikasi oleh Generasi Z terhadap media sosial bergantung pada lawan bicara dilakukan oleh banyak individu dalam kelompok ini.
Dari pengamatan saya, terlihat bahwa warga Generasi Z cenderung mengalami FOMO atau takut ketinggalan, yang sering kali menyebabkan mereka ikut-ikutan. Ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki sisi positif dan negatif. Sifat ikut-ikutan bisa mendorong mereka untuk mengikuti hal-hal baik dan buruk. Sebagai contoh, di platform seperti Instagram, jika seseorang memberikan pujian atau penilaian positif terhadap suatu postingan, seringkali orang lain juga akan ikut memberikan pujian karena merasa tertarik oleh respons positif tersebut dan tidak ingin ketinggalan. Namun, hal yang sama berlaku juga untuk komentar negatif. Jika satu orang memberikan komentar negatif, kemungkinan besar akan diikuti oleh orang lain, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan stereotip bahwa Generasi Z kurang memiliki moralitas karena mereka cenderung tidak memikirkan etika dan moralitas ketika memberikan komentar.
Refleksi saya sebagai penulis adalah, saya merasa sudah memiliki etika yang standar untuk berkomunikasi dalam masyarakat, hal ini dikarenakan orang tua saya mengajarkan hal yang baik sedari saya kecil dan lingkungan sekolah telah memberikan kebebasan untuk belajar. Apalagi di Kolese Kanisius, mereka mengajarkan diskresi, yaitu pemilihan mana yang baik dan buruk. Menurut saya, lingkungan juga akan memengaruhi diri seseorang. Sebagai seorang Generasi Z, saya harus memiliki pendirian dan tidak mudah terbawa arus orang lain. Menurut saya, memiliki sifat FOMO itu tidak apa-apa, tetapi harus memahami situasi dari segi waktu dan tempat. Apabila seluruh Generasi Z bisa mengatasi sifat ikut-ikutan mereka, kemungkinan besar, penilaian buruk terhadap generasi ini bisa dihapuskan. Maka dari itu, kita sebagai Generasi Z harus membuat orang percaya bahwa mayoritas dari kita adalah orang beretika dan bisa melakukan perubahan signifikan dalam dunia ini.Â
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tidak semua anggota Generasi Z dapat dipandang sebagai kurang memiliki etika. Namun, karena penilaian seringkali didasarkan pada contoh-contoh yang mencolok, pandangan umum mungkin cenderung menggeneralisasi bahwa seluruh generasi ini kurang memiliki etika. Saran yang ditawarkan oleh penulis adalah bahwa perubahan harus dimulai dari orang tua, yang bertanggung jawab untuk memantau penggunaan teknologi oleh anak-anak mereka. Karena nilai etika dan karakter cenderung terbentuk sejak usia dini, orang tua memiliki peran penting dalam membentuk dasar moral bagi anak-anak mereka. Ketika seorang anak terlibat dalam perilaku yang kurang etis, orang tua seringkali menjadi sasaran pertama yang disalahkan. Intinya, Generasi Z perlu belajar untuk menyaring informasi, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mengembangkan kemampuan untuk tidak mudah dipengaruhi atau mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Hal ini akan membantu mereka membangun citra positif terhadap generasi mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H