Mohon tunggu...
Teguh Widodo
Teguh Widodo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

keep the ball rolling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diperlukan Revolusi Mental untuk Bertindak Etis

14 Mei 2014   21:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramainya perbincangan tentang revolusi mental ala salah satu capres, membuat saya tiba-tiba teringat dengan buku Auditing-nya Arens khusus bab etika profesional. Arens bilang bahwa seseorang melakukan tindakan yang tidak etis dengan rasionalisasi sebagai berikut: semua orang melakukannya; jika itu legal, maka itu etis; atau kemungkinan tindakan tidak etis tersebut tidak diketahui orang serta kemungkinan konsekuensinya. Karena sebagian nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat diwujudkan dalam bentuk hukum, maka rasionalisasi ini juga sering dipakai seseorang dalam hal tindakan yang melanggar hukum, bukan melulu tindakan tidak etis.

Banyak contoh mengenai hal ini di kehidupan sehari-hari yang sepertinya remeh tetapi dampaknya cukup besar dan memerlukan revolusi mental dari kita masing-masing.

Contoh paling gampang tentu dari pengalaman saya pribadi. Ketika masih bersekolah di SMP dan SMA, saya sering melewati terminal Cililitan. Karena lapar, saya dan teman-teman kadang membeli berbagai gorengan yang dijajakan di sepanjang jalan dekat terminal tersebut dan memakannya sambil berdiri di dekat gerobak. Karena ukuran gorengan yang dijajakan sangat mini, maka saya dan teman-teman bisa habis belasan gorengan. Tapi ketika membayar, sering kami tidak jujur kepada abang penjual gorengan, misalnya kami bilang hanya makan 11 potong padahal makan 16 potong. Abang penjual kadang juga tidak memperhatikan si pembeli makan berapa karena banyaknya pembeli yang bergerombol. Rasionalisasi saya dan teman-teman waktu itu : semua orang melakukannya, maka kita juga boleh..…dan nyatanya sering tidak ketahuan kok. Apalagi katanya para penjual juga sudah memperkirakan para pembeli akan berlalu begitu, maka dia menjual gorengan dengan potongan yang mini seperti itu. (Kita bisa bayangkan betapa besar dampaknya jika banyak pembeli dan penjual saling tidak etis seperti itu).

Di bus kota PPD, metromini, atau kopaja juga begitu. Banyak cerita bahwa kadang sang kondektur lupa atau terlewat menagih ongkos kepada seorang penumpang. Dan sebagian penumpang itupun tidak membayar ongkos, karena merasa bukan salahnya jika tidak ditagih oleh si kondektur. Bahkan kadang mereka bangga jika ada kesempatan untuk tidak membayar. Di KRL Jabodetabek malah lebih parah lagi, dulu banyak orang hanya bilang “abo” (“abo” adalah kependekan dari abonemen/karcis berlangganan bulanan) jika ditanya tiket oleh kondektur tanpa menunjukkannya. Padahal penumpang tersebut tidak punya “abo” atau punya “abo” tapi sudah kadaluwarsa. Rasionalisasi para perilaku ini: semua orang melakukannya. Konsekuensi untuk ketahuan kemudian kena denda juga rendah. Tapi ini dulu lho, mudah-mudahan saat ini tidak ada lagi yang seperti itu.

Godaan melakukan tindak tidak etis ini terus menghantui kita semisal penggunaan software, film, dan produk-produk bajakan, masuk jalur jalan khusus bus transJakarta atau pengendara motor berjalan melawan arus.

Orang sering bilang bahwa sistem di Indonesia lah yang membuat orang-orang tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak etis tersebut. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di negara maju seperti UK misalnya. Masyarakat British terkenal dengan ketaatannya menjaga nilai-nilai etis. Namun ternyata sistem yang berlaku di sini tidak selalu bisa mencegah jika ada tindakan yang tidak etis. Misalnya: ada peraturan bahwa naik bus kota atau kereta di UK gratis untuk anak-anak di bawah umur 5 tahun. Jika seseorang punya anak yang berumur lebih dari 5 tahun dan berbadan relatif mungil seperti anak kami, maka godaan untuk berlaku tidak etis dengan tidak membeli tiket mungkin akan terjadi. Terlebih dengan mepetnya kondisi finansial keluarga seperti kami, godaan tersebut akan bertambah besar. Atau, jika seseorang membeli tiket kereta off-peak yang harganya lebih murah tetapi digunakan pada saat peak time, juga merupakan perilaku yang tidak etis. Rasionalisasinya: jarang ada petugas yang mengecek tiket atau menanyakan umur anak. Konsekuensi ketahuannya sangat kecil.

Jadi, sebuah sistem, bagaimanapun baiknya, perlu didukung dengan mental yang baik dari para pelaku yang terlibat, salah satunya dengan bertindak etis.

Cat: tulisan ini sudah dimuat di laman fb penulis hari Selasa, 13 Mei 2014 BST.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun