Gambaran Umum,
Perbincangan terkait "eksistensi diri" merupakan sebuah pernyataan akan keberadaan diri seseorang. Jika dilihat dari segi akar kata eksistensi, maka akan diperoleh kata "eksis" yang mempunyai arti tampak, terlihat, muncul, dan sebagainya. Kebanyakan manusia dalam satu kondisi atau situasi tertentu pasti akan memempertanyakan akan eksistensi dirinya, baik eksistensi dirinya sendiri, eksistensi dalam lingkup keluarganya, atau eksistensi di tengah-tengah masyarakat yang ditinggalinya, bahkan eksistensi sebagai warga negara di sebuah bangsa tertentu. Maka dari itu, tidak terlalu berlebihan jika mempunyai asumsi bahwa perihal eksistensi diri seseorang sampai kapan pun akan menjadi pertanyaan atau pernyataan bagi masing-masing orang. Ironinya, eksistensi juga tidak akan terlepas dari "pengelolaan kesan". Pengelolaan kesan merupakan salah satu serpihan dari great theory Erving Goffman yakni teori dramaturgi. Erving Goffman adalah salah satu tokoh sosiolog yang berasal dari Amerika. Pemisalan dari teori pengelolaan kesan yakni apabila seseorang sudah mengetahui eksistensi dirinya, langkah selanjutnya adalah bagaimana dia dapat mengelola kesan diri terhadap eksistensi diri. Artinya, jika dipahami secara sederhana, eksistensi diri berada pada tataran pertama, dan pengelolaan kesan terletak pada tataran kedua. Keduanya saling berkesinambungan dan keterkaitan. Sebab, sebuah tindakan yang dimunculkan oleh seseorang, harus melalui kedua tataran tersebut terlebih dahulu. Akan tetapi, tidak jarang pula dalam practical reality-nya dapat dilakukan tanpa ada pertimbangan apapun. Realita membuktikan bahwa kesan yang ditampilkan oleh seseorang kebanyakan mempunyai semacam "kepentingan-kepentingan" yang terkandung, baik perihal menjaga perasaan orang lain, penyesuaian diri, bahkan yang paling terparah adalah kehilangan identitas diri. Identitas diri dalam hal ini, bukan identitas berupa KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau kartu anggota lainnya, tetapi lebih pada rasa tidak lagi mengenal dirinya. Setidaknya ada dua pendapat dalam memahami "identitas diri". Pertama, identitas diri seseorang terkadang sangat dipengaruhi oleh orang lain, demi memunculkan kesan yang "baik", seseorang rela untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Kedua, identitas diri adalah proyeksi diri secara gamblang. Artinya, pendapat ini lebih menekankan pada ketidak-peduliannya terhadap penampilan kesan diri. Juga dapat diartikan sebagai pengejawantahan citra diri yang sebenar-benarnya. Mari kita telaah bersama.
Penerapan Teori,
Teori pengelolaan kesan (dramaturgi) Erving Goffman adalah teori yang muncul akibat pentingnya sebuah kesan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang namanya kategori "baik" atau "buruk" selalu menjadi sekat-sekat atau batasan-batasan untuk menilai sesuatu, begitu juga dengan kesan. Kesan baik yang disematkan oleh seseorang akan berimplikasi pada tindakan simpati atau empati orang lain. Sebaliknya, kesan buruk yang dimunculkan oleh seseorang dan diterima oleh seseorang yang lain, akan berdampak pada justice or image yang buruk juga, jauh dari kata empati atau simpati dari seseorang. Inilah pentingnya pengelolaan kesan. Pengelolaan kesan sangat erat kaitannya dengan persepsi seseorang. Sebab, keduanya sama-sama menunjukkan relasi antara seseorang dengan seseorang yang lain. Kesan atau persepsi orang, dipengaruhi oleh sikap atau tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut. Misalnya, jika ada seseorang yang memunculkan kesan suka membantu orang lain, dan tindakan suka membantu tersebut adalah salah satu tindakan yang masuk dalam kategori "baik", maka kesan atau persepsi orang lain terhadap orang tersebut juga akan baik, begitu juga sebaliknya. Tetapi, entah disadari atau tidak jika memang aslinya orang tersebut tidak suka membantu, dan dia mencoba untuk membuat kesan baik kepada dirinya terhadap kesan orang lain, lama-kelamaan orang tersebut akan merasa lelah sendiri. Sebab, tindakan yang dilakukannya bukan atas dasar kemauan dirinya sendiri, melainkan ada kepentingan yang coba untuk ditampilkan.
Perkembangan yang begitu dahsyat di era sekarang membuat banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Hal inilah yang menginisiasi salah satu ungkapan yang mengatakan, yang abadi adalah perubahan. Sependapat atau tidak, perubahan memang pasti adanya. Dibuktikan dengan perubahan masyarakat yang dikategorikan primitif sampai masyarakat yang dikategorikan modern, juga perubahan dari era ke era, dari era surfacing sampai era elevating, bahkan jika dilihat lebih sederhana pertumbuhan dan perkembangan manusia dari bayi, anak-anak, remaja, sampai dewasa, dan terakhir tua. Hal itu menunjukkan adanya sebuah perubahan. Dari sekian banyak perubahan di atas, perubahan yang dapat dikatakan fundamental adalah perubahan pola pikir seseorang. Pola pikir seseorang sangat mempengaruhi sikap, perilaku, atau tindakan yang dimunculkan. Pola pikir menempati taraf awal sebelum eksistensi diri dan pengelolaan kesan. Pola pikir yang "benar" akan mengantarkan pada kebijaksanaan sikap, perilaku, dan tindakan.
Pada akhirnya,
Kontemplasi Diri VS Multi-Face
Dalam pembahasan teori pengelolaan kesan ala Erving Goffman, setidaknya ada dua tawaran yang dapat disodorkan. Pertama, kontemplasi diri (introspeksi diri). Kedua, multi-face. Sebelum merambah pada bagian kontemplasi diri, pada bagian multi-face agaknya harus dibahas terlebih dahulu. Sebab, bagian ini adalah bagian yang hampir dilakukan oleh setiap orang. Di samping paling mudah, bagian ini mempunyai daya "magis" tersendiri untuk mengelola kesan agar terhindar dari kesan atau persepsi buruk orang lain. Multi-face atau bisa disebuf juga dengan banyak muka, banyak topeng, merupakan sebuah sikap yang dibentuk atas dasar penyesuaian diri terhadap lingkungan. Mudahnya, kebiasaan-kebiasaan di luar rumah terkadang berbanding-terbalik dengan kebiasaan-kebiasaan di rumah, inilah pemisalan umumnya. Jadi, jika ingin tahu watak atau kepribadian seseorang, amatilah sikap, perilaku, atau tindakannya di saat berada di rumah, atau di saat berada di luar rumah. Nantinya, dengan pengamatan tersebut kita dapat sedikit mengidentifikasi sebenar-benarnya kepribadian orang tersebur. Lain halnya dengan kontemplasi diri. Kontemplasi diri atau introspeksi diri adalah sebuah sikap yang berwujud pada memperbaiki diri. Sebelum mengaktualisasikan perbaikan diri, tentu sebelumnya sudah menyadari akan keburukan-keburukan yang ada di dalam dirinya. Setelah mengetahui keburukan tersebut, orang yang masuk dalam kategori ini, sesegera mungkin memperbaiki diri secara bertahap. Kebanyakan orang yang memilih sikap ini, lebih fokus terhadap dirinya, daripada fokus terhadap orang lain. Bukan karena sifat individualistis, tetapi lebih pada sikap yang tidak terlalu peduli dengan sikap, kesan, persepsi yang diberikan oleh orang lain terhadap dia. Adakalanya, hal-hal yang berada di luar dirinya "masukan, nasihat, atau ajakan" yang baik atau buruk, diterima dengan seksama. Artinya, pada proses menerima orang yang masuk dalam kategori ini, tidak menerima secara "mentah-mentah", tetapi sudah di "godok atau goreng dahulu", "disaring terlebih dahulu", dan lain sebagainya. Mungkin ini adalah sekelumit gambaran untuk kita, terserah mau memilih yang mana dalam kaitannya dengan pengelolaan kesan. Intinya, apapun yang kita lakukan, lakukanlah dengan sepenuh hati, sepenuh keyakinan, dan yang terakhir adalah kenyamanan. Sebab, dalam konteks ini, tidak ada kata terindah di dunia ini, selain kata nyaman. Ketika sudah nyaman dengan sesuatu apapun, kebahagian adalah hal mutlak yang akan tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H