Mohon tunggu...
Sholahuddin Al Madjid
Sholahuddin Al Madjid Mohon Tunggu... -

lelaki kampung, tinggal di Gresik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksodukasi Taman Pintar (3); Siapa Giat, Pasti Dapat

16 September 2011   01:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:55 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

JARUM jam di handphone menunjukkan pukul 11.30. Jika merujuk jadwal kedatangan yang tertulis di tiket, KA Sancaka tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta setengah jam lagi. Athan, si bungsu, terlihat tidur dalam pangkuan. Lelap sekali. Kakinya selonjor, tangan bersedekap. Bunyi dan goyangan kecil kereta tak mampu membangunkannya. Tidak terasa, Agustus lalu tiga tahun sudah usianya. Waktu bergulir begitu cepat, tanpa ada yang kuasa menghentikan. Sang waktu tentu tak seperti kereta, sewaktu-waktu lajunya bisa berhenti atau diberhentikan.

Melihat si Bungsu itu, teringat bayangannya saat berada dalam kandungan. Kala itu, nyaris saja ia tidak terlahir ke dunia. Seorang dokter di salah satu rumah sakit (RS) milik BUMN, mendiagnosa janinnya tak berkembang. Jika dalam pemeriksaan lanjutan tetap tidak ada perkembangan, maka solusinya mesti dikiret. Janin dalam rahim itu dibersihkan melalui operasi kecil. Tentu saja, kabar itu membuat kami gundah-gulana. Maklum, selama empat tahun menantikan anak kedua itu. Karenanya, saya dan istri memutuskan untuk beralih ke dokter lain. Pilihannya ke dokter yang kali pertama menangani si Sulung. Dan, Alhamdulillah, dokter SpOG itu memastikan tidak ada masalah.

Pengalaman tersebut setidaknya menjadi satu bukti bahwa sungguh tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu yang dimiliki manusia. Semua hanya menyangkut pilihan ini dan itu. Kalau memutuskan pilihan ini, peluang resikonya begini. Memilih keputusan itu, maka kemungkinan resikonya begitu dan seterusnya. Hidup tidak lebih sekadar pilihan-pilihan. Arahnya pun cuma sebatas mendekati kebenaran. Sifatnya semu. Soal kepastian kebenaran itu hanya menjadi milik Tuhan.

Sepanjang perjalanan, sejak berangkat dari stasiun pemberangkatan, si Sulung kerap berseteru dengan si Bungsu itu. Saling berebut mainan, saling beradu omongan, saling meminta jatah makanan atau minuman. Rupanya, dia tidak kalah dangan kakaknya. Di sinilah ujian keadilan dan kesabaran sebagai orang tua. Karena itu, bisa jadi ia kecapekan sendiri lantas melampiaskan dengan tidur tersebut. Kami tidak tahu dan tak ada yang tahu, uji kesabaran dan keadilan dalam membesarkan titipan Tuhan itu sampai kapan.Yang pasti, semua orang tua pasti mengharapkan bisa lulus mendekati kesempurnaan seperti yang digariskan.

Si Sulung tiba-tiba melonjak kegirangan begitu matanya membaca tulisan Jogjakarta. ‘’Sudah sampai,’’ teriaknya. Persis lima jam dalam kereta, rasanya sudah sangat lama. Berarti, tidak lama lagi kereta bakal berhenti. Berarti, tidak lama lagi bisa melihat dan menikmati Taman Pintar. Berarti, tidak lama pengalaman petulangan baru didapatkanya. Berarti, setelah itu bisa bercerita ke teman-teman kampung maupun sekolahnya. Iklan dari mulut ke mulut tentang Taman Pintar pun terus menyebar cepat seperti penyakit kanker. Satu bercerita pada sekumpulan orang, mesti ada beberapa yang penasaran untuk mengunjungi. Siklus itu terus berjalan.

Menyaksikan kegirangan si Sulung begitu tiba di Stasiun Tugu itu, saya tertawa kecil. 15 tahun lalu, ketika masih menyandang status mahasiswa, saya juga melihat pemandangan serupa. Yakni, saat kali pertama saya dan teman-teman datang ke Kota Jogjakarta. Salah seorang di antara kami, namanya Prigi Arisandi, langsung mencium lantai stasiun. Sujud syukur, bergembira! Betapa tidak. Bermodal nekat, uang saku pas-pasan, serta tujuan tak jelas, akhirnya sampai juga di salah satu kota yang banyak disebut-sebut orang itu. Universitas Gadjah Mada (UGM), Parang Tritis, Keraton, Masjid Kota Gede, Beringin Kembar, hingga Malioboro, lunas kami kunjungi. Walaupun perjalanan itu dengan berjalan kaki dan ngandol sana-sini.

Sungguh, tidak ada yang bisa memastikan nasib seorang manusia kelak. Prigi Arisandi, teman kami yang kala itu sepintas tampak kampungan, ternyata menorehkan sejarah istimewa. Beberapa bulan silam, ia mendapat kehormatan bisa bertemu dan berdialog dengan Presiden Barack Obama. Dia bisa bertemu dengan presiden negara adidaya Amerika Serikat karena konsistensinya mengawal isu lingkungan hidup. Terutama menyangkut sumber daya air. Tentu, sebuah kesempatan langka.

Tidak hanya itu. Prigi yang memang tinggal di sebuah kampung Gresik tersebut juga mendapatkan hadiah menggiurkan. Yakni, sebesar USD 150 ribu. Atau, tidak selisih banyak dengan uang suap berbungkus kardus durian di institusi yang dipimpin Muhaimin Iskandar, Kemenakertrans. Dan, sebelum ke Amerika itu, Prigi Arisandi juga sudah beberapa kali melancong ke luar negeri. Dan, kalau tidak salah, bepergian paling jauh pertamanya, ya ke Jogjakarta itu. Mungkin inilah salah satu contoh pitutur seorang guru madrasah dulu. Siapa giat pasti dapat. Kalau ingin dapat, giatlah! Bersungguh-sungguhlah!

Kami belum memutuskan bakal menginap di mana saat berada di Jogjakarta. Sejak dari rumah, memang sudah banyak referensi tempat penginapan. Termasuk harga per malamnya. Entah ke berapa kedatangan saya ke Jogjakarta Minggu (13/9) bersama keluarga itu. Lupa. Selain bersama teman-teman mahasiswa itu, saya pernah datang saat terjadi peristiwa gempa di Jogjakarta dan Jawa Tengah 2006 lalu. Pernah juga diundang Pertamina, mendapat undangan dari UGM. Semuanya menyimpan banyak ilmu dan pengetahuan berharga.

Setelah berunding singkat dengan istri, kami putuskan saja untuk menginap di Hotel Ibis. Pertimbangannya banyak. Di antaranya, tidak jauh dari stasiun. Tidak jauh dengan Taman Pintar. Tarifnya kala itu Rp 700 ribu per malam untuk sebuah kamar kelas superior dengan tempat tidur twin berukursan sedang. Angka ini bukan tarif weekend (Jumat – Sabtu), katanya. Kalau weekend lebih mahal lagi. Jadi, dua malam berarti Rp 1,4 juta. Ditambah lagi uang deposit Rp 300 ribu sehingga total sebesar Rp 1,7 juta. Makin bertambah riang anak-anak karena tempat penginapan itu bisa langsung nyambung dengan mall Malioboro. Kebahagiaan sebagai orang tua adalah melihat anak-anaknya tidak berduka. (Bagian Ketiga/Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun