Mohon tunggu...
Sholahuddin Al Madjid
Sholahuddin Al Madjid Mohon Tunggu... -

lelaki kampung, tinggal di Gresik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Licik Berkedok Statistik

26 September 2011   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU menyuruh anakku membeli sebungkus korek api kayu. Aku beri uang Rp 500. Aku berpesan, agar membeli korek api yang kualitasnya baik, tidak busung. Tidak lama, anakku kembali dengan wajah berseri-seri. Dia menyerahkan kotak korek api kosong dan berkata, “Korek api ini benar-benar bagus, Pak. Semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala.”

Tidak seorang pun, saya kira, yang bisa menyalahkan proses penarikan kesimpulan seperti dalam ilustrasi anakku itu. Demikian pula aku. Bahwa, untuk membuktikan korek api itu tidak melempem maka tentu harus dicoba satu per satu bukan? Namun, bila semua pengujian dilakukan demikian, lalu bagaimana dengan orang yang sudah kecanduan judi lotre? Apakah karena bernafsu memenangkan lotre lantas diborong saja kupon-kupon lotre yang ada? Wah, bisa-bisa jebol modalnya. Di sinilah peranan ilmu statistik.

***
Hari ini, 26 September 2011, merupakan Hari Statistik ke-26. Sesuai khitah, statistika adalah sebuah jalan keluar. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Jadi, untuk mengetahui bahwa korek api tidak melempem, anakku seharusnya cukup menguji beberapa batang korek saja. Dan, tidak perlu menghabiskan semuanya.


Dalam penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, arah teori keilmuan memang tidak ditujukan ke arah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut. Benar sebenar-benarnya atau teliti seteliti-telitinya. Asal penelaan kegiatan kelimuan itu dapat dipertanggungjawabkan, sudah cukup memenuhi syarat. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT. Sehebat-hebatnya manusia, panca indera dan kekuasaan mereka pasti terbatas.

Dalam perkembangan perjalanan sejarah statistika, sering mendapatkan tempat yang kurang layak. Statistika sebagai suatu displin keilmuan, kerap dikacaukan dengan statistika yang berupa data yang dikumpulkan. Hal itu disebabkan data asal-asalan atau bersifat bimsalabim, data yang dapat disulap. Karenanya lalu kurang dapat dipercaya alias bohong.

Maka, tumbuhlah secara sosiologis kata-kata bersayap seperti yang diucapkan Benjamin Disraeli. Bahwa, ada tiga jenis kedustaan. Yakni, kizib (dusta), kizib akbar (dusta besar), dan statistik. Artinya, statistika sebagai ilmu dan statistik sebagai ukuran bisa dipakai untuk berbohong atau membantu tindakan kebohongan. Secara implisit menunjukkan, statistika bisa dipakai sebagai alat bantu penipuan paling jahanam dan berbahaya.

Diakui atau tidak, selama ini kita sering melihat data statistik lebih sering ditampilkan sepotong-sepotong. Bahkan sengaja dikaburkan. Statistik dipakai sebagai alat propaganda belaka. Dan propaganda itu bisa meracuni masyarakat. Ujung-ujungnya ’’sang penipu-penipu” itu mendapatkan keuntungan. Sebuah contoh, lama kita dibohongi dengan kemajuan pembangunan dan kemakmuran negeri ini lewat data-data statistika. Ternyata, banyak yang semu dan palsu. Kemiskinan dan pengangguran turun, ternyata data itu abal-abal. Jika negara dibangun dengan data-data bohong maka apa jadinya?

Di panggung politik pun begitu. Berapa banyak orang atau lembaga ’’melacurkan” statistika. Berdalih telah melakukan survei lalu memprediksikan bahwa yang menang si Anu dan seterusnya, namun mereka tidak lebih sebagai makelar-makelar berkedok ilmuwan. Alih-alih memberikan pembelajaran dan pencerdasan masyarakat, mereka hanya berharap ’’nasi bungkus’’. Tapi, saya tetap masih ingat pada banyolan Alexander Dumas. ’’Awas-awas lho, semua generalisasi adalah berbahaya.’’ Maksudnya, kita masih meyakini masih ada yang menggunakan statistika tersebut pada tempatnya.

Yang jelas, statistika harus kembali ke khitah. Kesalahpahaman ini harus segera dihilangkan agar siklus berfikir ilmiah dapat dilakukan dengan lengkap. Kita juga jangan gampang terkelabui. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali dengan penguasaan statistika yang cukup. Dengan begitu, kesimpulan yang ditariknya benar-benar merupakan kesimpulan ilmiah yang sah. Statistika harus mendapatkan tempat yang mulia, sejajar dengan matematika. Dengan memasyaratkan berfikir ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan bahwa suatu hari nanti berfikir statistik akan merupakan keharusan, seperti juga membaca dan menulis. Selamat Hari Statistik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun