Mohon tunggu...
hubaybah bafadhal
hubaybah bafadhal Mohon Tunggu... -

mahasiswi s2 FKM UI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pelayanan Prima JKN

31 Oktober 2014   00:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelayanan prima, saat pertama mendengar kalimat ini rasanya asing sekali. Apa itu layanan prima? pertanyaan yang pertama kali dilontarkan saat prajabatan beberapa tahun yang lalu, dan tidak ada satu pun dari peserta yang bisa menjawab dengan tepat. Pelayanan prima adalah pelayanan yang diberikan lebih dari yang diharapkan, dan kita harus bisa memberikan layanan prima kepada masyarakat karena itulah tugas kita sebagai abdi negara. Bayangkan saja memberikan pelayanan melebihi yang diharapkan, sedangkan harapan masyarakat itu kan setinggi langit, memberikan sesuai harapan saja susahnya minta ampun, apalagi melebihi harapan, benar-benar tak terbayangkan.

Ternyata berat juga tugas seorang PNS. Sebagian besar masyarakat berbondong-bondong ingin bekerja sebagai PNS bukan karena ingin melayani masyarakat, bahkan mungkin belum tahu apa tugas PNS sebenarnya. Hanya yang terlihat enaknya jadi seorang PNS, datang dan pulang bisa semaunya, bekerja berat atau ringan tetap di gaji, pensiun yang ditanggung dan masih banyak lagi gambaran enaknya jadi seorang PNS. Padahal sebenarnya tugas PNS adalah MELAYANI. Sayangnya sebagian besar PNS belum pernah jadi pelayan sebelumnya, alhasil masyarakat pun sengsara, karena yang melayani mereka gayanyamirip boss semua.

Pernah suatu kali saya pergi ke salah satu rumah sakit pemerintah untuk memeriksakan anak saya yang sedang sakit. Saya menerima pelayanan yang benar-benar jauh dari prima. Dimulai dari antrian yang super panjang, pegawai administrasi, perawat sampai ke dokter yang sangat tidak ramah, sampai pelayanannya yang lama sekali. Setelah dari dokter saya diminta untuk ke ruang rontgen karena anak saya perlu di rontgen. Sampai di ruang rontgen tidak ada petugas sama sekali, yang antri pun tidak ada, tanya kesana sini dan jawaban nya tetap sama “ditunggu aja dulu bu”. Akhirnya setelah menunggu, sekitar 1 jam kemudian datanglah petugas dan barulah kami dilayani.

Saya pun mulai berpikir, sebenarnya salahnya dimana sih? apa ekspektasi saya ketinggian terhadap pelayanan disana? atau apa karena ini rumah sakit pemerintah? apa petugas administrasi, perawat atau bahkan dokter tidak tau cara nya melayani? saya hanya menerka-nerka sampai saat ini, apa mereka tidak tahu kalau bersikap ramah saja ke pasien itu sudah merupakan obat yang bisa mengurangi rasa kesal dan lelah karena antrian yang panjang.

Baru-baru ini juga saya pernah menengok adik ipar saya yang baru melahirkan di salah satu rumah sakit swasta di kota Jambi dan kebetulan rekanan BPJS. Pelayanannya agak lumayan, lebih cepat, tapi tetap sayang sekaliperawatnya tidak ramah, bahkan untuk 1 senyuman pun susah didapat. Kata dosen saya walau di rumah sakit swasta, tetapi karena pasien BPJS tetap tidak mendapatkan pelayanan seperti pasien biasa. Saya langsung teringat,kalau biasanya kita melihat ada anak yang nakal langsung terbersit pertanyaan dalam hati “ini anak siapa sih, gak diajarin apa ya sama orang tua nya”. Sepertiitulah yang terbersit dalam hati saya, “ni perawat sekolah dimana si, apa gak diajarin waktu sekolah gimana cara melayani orang”. Kebetulan pula saya bekerja di salah satu perguruan tinggi di Jambi yang di dalamnya memberikan pendidikanantara lain kepada mahasiswa kedokteran dan keperawatan. Jadi saya merasa diberi kesempatan untuk melihat bagaimana sebenarnya mereka menerima pelajaran sebelum benar-benar terjun ke lapangan. Meskipunsaya melihatnya dari jauh, tidak benar-benar melihat dari dekat, tetapi cukup membuat saya mengambil kesimpulan sendiri. Menurut saya, mahasiswa memang kurang mendapat pendidikan tentang bagaimana cara melayani yang baik, karena mata kuliah kompetensi dianggap paling penting.

Saya tidak mengatakan kalau mata kuliah kompetensi tidak penting, tapi ada satu hal yaitu Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional yang lebih penting. Mengutip kalimat dari dosen manajemen SDM saya, jaman beliau jadi dokter, hanya orang-orang terpintar di kelas yang bisa kuliah kedokteran, dan karena itu rata-ratamemang IQ dokter tinggi, tetapi sayangnyaEQ mereka kurang, walau tidak semua begitu.

Kecerdasan Emosional menurut para pakar adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosi sendiri dan emosi orang lain, memotivasi diri, serta menjalin hubungan dengan orang lain. Ada juga yang mengatakan konsep Kecerdasan Emosional berarti memilki kesadaran diri yang memungkinkan anda untuk mengenali perasaan–perasaan dan mengelola emosi anda sendiri,dan itu melibatkan motivasi diri dan mampu untuk fokus pada sebuah tujuan daripada menuntut pemenuhan segera. Seseorang dengan EQ yang tinggi juga mampu untuk memahami perasaan orang lain dalam menangani hubungan.

Artikel “On The Road on Chairman Lou” (The New York Times 26/6/1994), menyebutkan bahwa IQ ternyata sesungguhnya tidak cukup untuk menerangkan kesuksesan seseorang. Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingkat kinerja dalam karier mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya peran selisih IQ terhadap kinerja hanyalah sekitar 25%, bahkan untuk analisis yang lebih seksama yang dilakukan American Psycological Press (1997) angka yang lebih tepat bahkan tidak lebih dari 10%  atau bahkan hanya 4%. Hal ini berarti bahwa IQ paling sedikit tidak mampu 75%, atau bahkan 96% untuk menerangkan pengaruhnya terhadap kinerja atau keberhasilan seseorang.   Serta   menurut   penelitian yang dilakukan Goleman menyebutkan pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain   termasuk di dalamnya EQ. Sehingga   dengan kata   lain IQ dapat dikatakan  gagal  dalam  menerangkan   atau     berpengaruh  terhadap  kesuksesan seseorang (Goleman, 2000).

Seperti kita ketahui, Pelayanan Prima bukan hanya menuntut kualitas dari sisi intelejensia (Knowledge dan Skill) seseorang, akan tetapi dari sisi mental emosional (Attitude) juga. Attitude yang baik lahir dari kemampuan mengendalikan emosi yang baik. Pada pengalaman di atas, bila saja petugas pelayanan rumah sakit memiliki EQ yang baik, tentu tidak akan mengecewakan pasien. Permasalahannya EQ bukan sesuatu yang bisa dipelajari begitu saja, akan tetapi diperoleh dari pengalaman, budaya, pandangan hidup seseorang dan kebanyak diperoleh dari pendidikan non formal. Berbeda dengan Skill dan Knowledge yang bisa dipelajari melalui pendidikan formal. Itulah sebabnya sangat sulit mendapatkan SDM kesehatan dengan IQ tinggi sekaligus EQ tinggi.

Dari keseluruhan tulisan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) bukanlah satu-satunya hal penting dalam memberikan pelayanan prima, tapi hendaknya diseimbangkan dengan Kecerdasan Emosional (EQ). Tantangan bagi kalangan pendidik tenaga kesehatan, baik itu perguruan tinggi maupun sekolah menengah, untuk memasukkan muatan EQ sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Salah satu kendala adalah tingkat EQ lebih sulit diukur dibanding tingkat IQ.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun