Sinar dua lampu LED terangnya menghampiri rumah saya. Terlihat sepasang perempuan bergaya memeragakan baju di depan kamera. Mereka mulai menawarkan produk baju mereka.
"Bunda, ini ada baju tidur import anak. Murah loh bunda. Gercep ya. Harganya 30 ribu saja," ucap salah satu model sembari menunjukan baju anak yang dimaksud.
Sejenak saya berpikir tentang pandemi ini mulai bermunculan bisnis-bisnis baru. Salah satunya trend berjualan pakaian bekas. Bagaikan mutiara tersembunyi di dalam limbah. Bisnis ini mampu meraup untung berkali lipat.
Tetapi dibalik ini semua ada usaha memperpanjang usia pakai dari fast fashion atau trend mode instan siap pakai dari emisi jejak karbon yang mengancam lingkungan.
***
Fast Fashion, Penyumbang Emisi Karbon Terbesar
Industri fashion menjadi perhatian misi reduksi karbon belakangan ini.
Tentu saja hal ini berasal dari fast fashion atau trend mode instan siap pakai yang bergerak cepat. Dimana umumnya mode cepat siap pakai ini menggunakan bahan murah, tak ramah lingkungan serta upah pekerja yang rendah.
Industri tekstil dan pakaian global bertanggung jawab atas konsumsi 79 miliar meter kubik air, produksi 1,7 ton emisi CO2 serta 92 juta ton limbah per tahun.
Konsumsi produk yang tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan permasalahan pada pelestarian ekosistem, serta kesehatan konsumen dalam jangka panjang.
Apalagi aktivitas manusia masih membutuhkan sumber energi yang
masih berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, batubara, dan ekstraksi sumber daya alam lainnya.