Allaahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihii wa'fu anhu
wa akrim nuzu lahu wa wassi' madkholahu waghsilhu bilmaai wats-tsalji walbarodi
Tole menyekat matanya yang sembab. Dia masih bersila di atas sajadah yang usang. Lampu kamarnya temaram, udara tengah malam memang menusuk hingga ke kulit.
"Pak, dingin kah? Sepikah? Semoga Tuhan telah menempatkanmu di surga yang paling indah."
Sejak perceraian kedua orang tua ketika umur 7 tahun, Tole diajak oleh ayahnya untuk tinggal bersama. Ayahnya hanya seorang buruh lepas, sedangkan ibunya sudah tidak jelas ke mana arah. Perpisahan mereka membuat Tole jadi lebih dekat dengan ayahnya.
Ayahnya menjadi tulang punggung untuk keperluan sehari-hari mereka hidup berdua. Gubuk sederhana beratap daun kelapa tempat mereka berlindung dari terik matahari dan hujan turun.
"Ayah, sarung tole sobek." seru Tole waktu melihat ayahnya saat sedang menggulung sarung.
"Sini, ayah tadi ada beli sarung baru."
Tole segera mengambil sarung miliknya. Sarung satu-satunya yang sering dipakai saat belajar sholat pertama kali. Boro-boro Tole mau memakai sarung, bisa dikatain oleh teman-temannya di sekolah. Namun ada satu momen yang membuat Tole mulai nyaman dengan menggunakan sarung yakni ketika ayahnya bilang kalau sarung adalah jati diri. Apalagi bagi muslim untuk memakai pakaian yang syar'i.
Hari itu Tole merasa tidak enak di hati. Ada rasa gelisah yang dia tidak tahu sebabnya. Sepulang sekolah dia mencari ayahnya di rumah, namun tidak seperti biasanya ayahnya belum pulang dari kerja. Pintu rumah Tole digedor pelan, Tole pun segera beranjak mendekati pintu untuk mengetahui siapa orang yang mengedor.
"Tole..."
"Ayah.. kenapa?"