Saya tahu merindukan Ramadan bukan hanya untuk umat muslim. Setiap tahun saya selalu mendengar kalian akan bilang semoga saja bisa dipertemukan Ramadan kembali, yang kalau saya artikan umur masih panjang dan bisa beribadah Ramadan kembali.
Tulisan pertama saya di #THRKompasiana adalah murni yang memang saya rindukan dari Ramadan. Suasana yang damai, tenang dan rukun antar warga. Faktanya, bulan Ramadan tahun ini bukanlah menjadi bulan yang saya rindukan lagi, mungkin.
Musibah Datang Tanpa Pemberitahuan
Selama Ramadan cuaca panas sekali, bagai ujian panas dunia bukan panas neraka. Bahkan tedmond air bisa saya gunakan sebagai shower air panas setiap harinya. Biasanya saya di rumah saja untuk menyelesaikan tulisan-tulisan di blog dan tantangan THRKompasiana. Untuk menyelesaikan satu tulisan lengkap siap baca saya butuh waktu bisa 6 hingga 8 jam karena harus menyeleksi foto dan mendesain kembali.Â
Teman-teman pasti tahu sendiri jam kerja seorang penulis lepas. Untung saja untuk tema Ramadan menulis di Kompasiana tidak sampai berat, jumlah kata yang banyak dan desain gambar yang wah. Saya sangat terbantu dengan kemudahan menulis opini di Kompasiana. Sehingga bisa saya selesaikan tulisan tema Kompasiana sekitar 2 atau 3 jam.
Sore itu, selesai saya menyelesaikan satu tulisan sampai jam 3 sore. Saya merasakan gerah dan penat. Biasanya saya menghubungi mbak Tika untuk bertanya dia sedang di mana, ya salah satunya untuk menghilangkan jenuh dengan bertemu teman supaya bisa sharing.Â
Selepas itu dapat energi kembali. Akhirnya saya pacukan motor untuk keluar ke mall sebentar, hanya untuk keliling, jajan Takoyaki dan menikmati sejuknya AC dalam mall. Selepas itu saya pulang ke rumah karena jalanan Palembang macetnya sudah diprediksi.
Ketika di pertengahan jalan mau pulang, ibu telepon minta saya panggilkan taksi online untuk pulang ke rumah juga selepas dia berdoa di vihara. Saya tiba duluan di rumah, namun alangkah kaget ketika melihat rumah saya ada 2 orang di dalamnya dengan ciri-ciri penjahat yang biasa kalian tonton di berita kriminal.
Masih di atas motor menyala, saya sadar rumah saya kemasukan dua orang asing, pemuda berandal, badan kurus, dan satunya keluar rumah sambil mengacungkan saya pistol. Saya kira pistol itu hanya ada di saku polisi ternyata orang sipil pun juga bisa dapat pistol.
"Diam kau, pergi!"
Saya melirik ke samping rumah saya ada motor mereka yang diparkir. Namun penjahat tetaplah penjahat mereka lebih pintar sebab niat awal mereka sudah merencanakan. Gigi motor segera saya injak, saya panik tapi berusaha tenang. Saya pacukan motor keluar komplek rumah. Inilah yang saya sesalkan sekarang, kenapa saya tidak langsung masuk ke halaman panti asuhan depan rumah saya. Saya justru berlawanan arah dan mencoba menghubungi kakak saya untuk memberi kabar namun dia tidak mengangkat telepon.