Bunyi klakson seolah tidak mau saling mengalah, disusul kemudian teriakan khas suara penjual dari sisi kiri dan kanan terus memanggil orang-orang yang melintas di depan mereka. Bagi pejalan kaki, dituntut untuk tetap waspada karena ruas jalan juga berbagi dengan kendaraan lain. Namun, ketika kalian sudah menginjakkan kaki ke kawasan pasar tradisional 16 ilir di Palembang dijamin kalian akan ketagihan.Â
"Masuk lah kak, cari apo kak.. mampir sini. Lihat-lihat dulu boleh!"
"Tigo sepuluh tigo sepuluh, ayuk mampir nah tigo sepuluh celano dalem."
"Manis.. jeruk manis.. ado mangga ado jeruk manis yuk. Idak manis balikin lagi. Tapi aku udah balik."
Berbagai macam nada teriakan khas penjual di kawasan pasar tradisional yang sudah ada sejak saya lahir ini memang unik. Panas terik seolah sudah kebal di kulit mereka. Kadang handuk kecil menjadi penutup kepala mereka dari sengatan matahari di kala siang.
Pasar 16 Ilir Palembang
Bukan hanya wisatawan saja yang datang berbelanja ke pasar 16 ilir, melainkan orang-orang daerah luar Palembang biasanya akan datang ke sini untuk membeli barang grosir. Pasar 16 ilir memang dikenal sebagai "Tanah Abang" sebab sebagian penjual memang mengambil barang dari Tanah Abang, kemudian dijual kembali untuk orang-orang daerah Palembang.
Keberadaannya sudah ada sejak tahun 1821 silam saat Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang Darussalam kemudian menjadikan kawasan perekonomian di kawasan ini dulunya. Maka, bagi kalian yang ingin pelesiran melihat sisa bangunan kolonial lama bisa melipir melihat bangunan pertokoan di sepanjang tepian Sungai Tengkuruk, sungai yang bermuara ke Sungai Musi.
Bangunan pasar terdiri dari 4 lantai, lantai dasar tempat menjual berbagai perhiasan, suvenir dan kain. Lantai kedua menjual bebagai produk fashion grosir mulai dari pakaian anak anak remaja dan pakain sekolah.Â
Lantai ketiga juga menjual grosir produk fashion seperti tas, sepatu, dompet aneka jilbab. Dan terakhir lantai keempat digunakan untuk menjual barang fashion bekas (BJ) atau burukan Jambi. Selain itu, di luar pasar juga sudah dipenuhi oleh para penjual kelontongan dan kebutuhan sehari hari seperti ikan dan sayuran. Salah satu ikon kota Palembang ini menjadi pasar terbesar dan teramai pertama setelah Pasar Cinde yang sekarang sudah tinggal kenangan karena dihancurkan.