Sebuah pesan Whatsapp masuk di waktu malam hari menjelang saya akan istirahat. Pesan dari salah satu teman saya. Badan saya terdistraksi untuk segera meraih ponsel di atas lemari.
"Ded, minta nama untuk undangan," bunyi pesan yang membuat saya mendelik. Otak saya langsung mengerti maksud pertanyaan dia.Â
"Udah, kirim lewat WA aja, supaya nggak repot. Zaman udah canggih gini," balasku. Saya tipikal orang yang praktis kalau untuk urusan undangan menikah.
Pertama saya tahu untuk mengurus pernikahan tidaklah mudah. Mereka yang akan menikah pasti sudah direpotkan untuk urusan segala macam mulai dari hantaran, memesan tempat sampai membuat list nama tamu undangan. Kemudian, saya masih mau membuat mereka repot dengan mengantar undangan ke rumah?Â
"Iya...sebelum puasa kan kawinnya?" tanyaku balik. Ada beberapa teman muslim saya yang melangsungkan acara pernikahan sebelum Ramadan. Alasannya sudah bisa ditebak supaya ada label Ramadan pertama bersama yang tersayang.
Ramadan Sekarang Tak Seperti DuluÂ
Sejak Ramadan hari pertama saya merasa semaraknya sudah mulai berkurang. Di sekitar rumah saya sudah tidak pernah lagi mendengar anak-anak berkumpul kemudian bersenjata alat-alat dapur di rumah seperti kuali, panci, kaleng susu dan batang kayu. Dulu masih bisa saya dengan pukulan acak disertai teriakan, "Sahuurr! Sahuurr..!"Â
Ya ampun dek, masih subuh ini jam 2 pagi sudah ada yang teriak-teriak di depan rumah. Niat hati ingin membangunkan orang berpuasa untuk sahur justru membangunkan seluruh warga yang mungkin tidak ikut berpuasa. Belum selesai mereka memukul kaleng susu dan perabotan masak, tidak lama kemudian terdengar suara nyanyian disertai cekikikan dari toa masjid. Tentunya kalian semua pernah merasakan kenangan Ramadan seperti itu ya? Atau untuk saat ini masih relevan terjadi?
Saya rasa ditiap daerah memiliki kebiasaan yang akhirnya menjadi semacam tradisi saat Ramadan.
Relevansi Membangunkan Orang Sahur